Malam kedelapan telah dilalui, hari telah menjelang pagi. Segala perlengkapan untuk berangkat pagi ini telah dipersiapkan sebelumnya, sama seperti keberangkatan yang gagal dua hari lalu. Namun kali ini membawa bubuk obat daun binohang
Raymond bisa dibilang telah sembuh dari cidera di betis, meskipun masih dibalut dengan kain, tapi cara berjalannya sudah normal kembali. Tidak lagi terasa perih.
"Kali ini kita harus lebih berhati-hati lagi jangan sampai terjadi seperti yang lalu." Raymond mewanti-wanti.
"Semalam, juga tadi pagi, Andin sudah makan ikan banyak. Mas, saja yang kelihatannya kurang napsu makan, memang kenapa?"
"Banyak pikiran semalam, ada rasa khawatir perjalanan ke dua ini akan gagal lagi."
"Kenapa harus begitu? Biasanya Mas, lebih semangat dari pada Andin, apa karena akibat cidera kemaren? Membuat Mas, kurang percaya diri."
"Tidak tahu juga, mungkin hanya perasaan saya saja. Tidak usah menjadi beban. Mas, sudah siap mental mengantar Mbak, pulang."
"Nah begitu dong, harus optimis. Kali ini jangan sampai kita kembali ke pondok lagi, banyak membuang waktu. Semisal ada halangan, kita buat pondok baru saja lagi."
"Ide bagus! Kok Mbak semakin cemerlang pikirannya."
Pagi ini perjalannan pulang diulang lembali, sama seperti yang pertama dulu.
Sudah sampai pada tanggul yang menjadi masalah. "Kita konsentrasi bagaimana bisa melewati tanggul ini. Apa tidak bisa dilewati dari pinggir tebing itu, Mas?"
"Tebing itu terlalu terjal, licin, sudah begitu, sulit kita menginjakkan kaki. Mau tidak mau, kita harus meraih puing bertumpuk ini, agar bisa sampai ke atas."
"Andin coba menggapainya dulu. Mas, jagain Andin di bawah."
Kali ini Andin yang mencoba pertama kali, merangkak sambil berpegangan pada tonjolan tajam.
Raymond perlahan menyusul dari bawah menjaga bahu Andin supaya tidak terjatuh.
"Naik sekali lagi, pegang kuat-kuat dahan itu. Tinggal sedikit lagi sampai di atas."
"Licin sekali Mas. Tahan Andin, satu lompatan sudah sampai ke puncak. Ups, berhasil, Mas!"
"Bagus! Berbaring saja di atasnya, Mas, menyusul!"
"Hati-hati Mas! lewat disamping Andin saja, pegang tangan Andin, tinggal selangkah lagi!"
Sekali melompat, Raymond berhasil menaklukkannya. Keduanya tertelungkup diatas tanggul, takut terjatuh kebawah lagi. Sekarang tinggal memikirkan turun dibalik tanggul ini. Kalau berhasil aman, di depan sudah terlihat sungai utama.
"Saya yang akan turun duluan, nanti Mbak, menyusul, Mas, tahan dari bawah."
Bagaikan cecak merayap Raymond menuruni tanggul. Berhasil sampai ke bawah, lebih mudah turunnya dari pada menaikinya. Andin kemudian meniru cara Raymond turun, merangkak seperti cecak.
Raymond waspada di bawah, takut Andin meluncur jatuh karena licin.
Keduanya berhasil melewati tanggul itu, tanggul tidak seberapa tinggi, tapi memang menyusahkan. Pernah menciderai Raymond.
"Itu di depan sudah kelihatan sungai utama kita cari. Bagaimana kita bisa berbelok ke sini ya, Mas, pada saat terbawa arus dulu?"
"Mungkin tumpukan puing-puing itu, sekarang menjadi tanggul yang membelokkan kita sampai jauh ke dalam."
"Jangan-jangan Olivia, Astrid dan lainnya mengalami seperti kita, Andaikan kita bisa menemukan."
"Bisa saja kita menemukannya, syukur-syukur bisa semuanya kita temukan dalam perjalanan nanti."
"Kita belok ke kiri, atau ke kanan, untuk bisa sampai di base camp kembali?
"Arus nya ada disebelah kanan kita, jadi kita ambil ke kiri. Nanti kita akan melawan arus, semoga saja arusnya tidak deras."
Mereka sekarang sudah berada di jalur utama sungai, dimana sungai ini telah menyeret ke tujuh anak muda ketika terjadi air bah. Saat ini akan diarungi kembali oleh Raymond, dan Andin.
"Saatnya kita melakukan perjalanan panjang. Mas, tidak tahu seberapa jauh kita nanti."
"Seandainya belum sampai-sampai juga tidak ada salahnya kita bermalam di pinggiran sungai ini, Mas."
"Semoga saja tidak sampai seperti itu."
Jalur dilewati sekarang cukup lebar, berkelok-kelok, banyak halangan pohon, balok-balok besar tumpang tindih.
Tali tambang mulai digunakan, Raymond mengaitkannya ke badan Andin agar tidak terseret arus. Sekarang air sudah setinggi dada, semakin kuat arus datang dari depan.
Raymond lebih dulu berenang menentang arus, Andin bertahan pada sebuah balok melintang. Setelah menemukan tambatan, Andin ditarik dengan tali tambang, berenang sebisanya. Bersatu lagi kembali.
Berkali melakukan seperti itu, belum sampai ketempat yang dangkal.
Terbatuk-batuk Andin dibuatnya, berapa kali sempat menelan air sungai.