Rumah mewah sebesar itu hanya ditinggali oleh tiga orang saja. Andin, dan kedua orang tuanya. Ada lima orang pembantu rumah tangga, satu sopir pribadi serta empat security.
"Rumah Adik besar sekali, layaknya seperti istana, berapa orang, yang tinggal disini?"
"Andin, sama kedua orang tua saja, Mas. Selebihnya pembantu, security, sama sopir."
Kedatangan Raymond disambut kedua orang tua Andin.
"Bagaimana, Nak, Raymond, betah bekerja di Jambi?" sapa Mama Andin.
"Begitulah Tante, namanya juga bekerja di proyek, harus dijalani dengan ikhlas."
"Proyek di Bukit Seluma, tidak dilanjutkan lagi, kita pindahkan ke selatan Bengkulu. Andaikan, Raymond ingin bergabung lagi, pintu terbuka lebar kapan saja mau."
"Terimakasih banyak, Om. Saya hanya akan menyusahkan saja, nantinya."
"Tidak usah dirisaukan kejadian masa lalu, kami berdua sudah menerima dengan lapang dada cobaan yang diberikan oleh, Yang Maha, Kuasa."
"Iya Nak, Raymond, Tante sama Om, merasa berhutang budi."
"Semua karena Dik, Andin, semangat dan kegigihannya untuk terus dapat bertahan hidup. Dapat merubah segalanya," ujar Raymond.
Ya sudah, bawa Nak, Raymond di kamarnya. Jangan lupa nanti kita makan malam bersama."
"Ayo, Mas, Andin tunjukkan kamarnya. Andin ke atas dulu, Ma."
Sementara Andin dan Raymond menuju kamar atas. Hermanto dan istrinya berbincang di ruang tamu.
"Pa, sepertinya anak kita sudah jatuh hati dengan Raymond, apa kita jadikan saja sebaiknya, Lagian anak kita sudah cukup dewasa untuk membina rumah tangga. Keduanya sudah pernah tinggal lama di pondok," saran Mama Andin.
"Meskipun belum lama saling mengenal, peristiwa di alaminya dapat menyatukan kedua hati mereka," tanggapan Hermanto.
"Mama masih teringat kejadian empat tahun lalu, dialami anak kita. Sempat membuatnya patah hati dengan Anto. Papa masih ingat? Jangan sampai mengalami hal sama dengan Raymond nantinya, Pa," mama Andin mengingatkan.
"Papa setuju saja, Raymond sudah menunjukkan sebagai sosok lelaki sejati, rela mengorbankan nyawanya untuk keselamatan anak kita."
"Nanti malam kita bicarakan dengan anak kita ya, Pa," pungkas Mama Andin.
Raymond, sudah berada dikamar akan ditempatinya malam nanti.
"Wah, kamarnya bagus sekali Dik, setara bintang lima, tidak seperti di pondok kita dulu."
"Tapi biar bagaimana pun, pondok teramat sederhana itu menyimpan sejuta kenangan diantara kita berdua, Mas. Andaikan bisa di bawa kemari? Andin mau meletakkan di taman samping rumah ini. Bagaimana kalau, Mas, buatkan lagi untuk Andin. Sama persis seperti aslinya, Please ... buatin, ya."
"Boleh juga ide itu. Adik kok, semakin ..."
Dipotong Andin. "Semakin apa, Mas?"
"Semakin menggemaskan saja."
"Iiih, Mas, ini." Mencubit manja.
Keduanya berpelukkan, saling mentautkan ke dua bibir dengan penuh perasaan, dibalut rasa cinta kasih yang mendalam. Serasa tidak ingin terpisahkan diantara keduanya.
"Mas, mau kan, mendampingi Andin, selamanya?"
"Andaikan Tuhan, mengijinkan. Mas, akan melamar, Adik."
Bagaikan sejuta kembang api menari-nari dikelopak mata, merasakan begitu bahagianya mendengar ucapan Raymond barusan tadi.
"Mas, serius?"
Dijawab dengan sentuhan bibir lagi, semakin menggelora, seakan dunia bukan milik siapa-siapa, selain mereka berdua saja.
Makan malam berlangsung di sebuah restoran mewah di kawasan Ibu Kota.
Andin mengenakan blus terusan warna cream, sedang Raymond mengenakan busana terbaik dimilikinya. Raymond merasa kikuk, baru pertama kali merasakan makan malam bersama kedua orang tua Andin.
"Ayo, Nak, Raymond, pesan mana yang disukai, jangan malu-malu."
"Besok Andin, berencana mengajak Mas, Raymond ke pulau seribu, Cassandra juga mau ikutan, Ma."
"Papa, sudah menghubungi Jatmiko, nahkoda kapal kita, akan mengurus segala sesuatunya untuk keberangkatan kalian besok."
"Nanti jangan sampai malam- malam pulangnya." Mamanya mengingatkan.
"Mas, Raymond, berencana akan membuatkan replika pondok pernah kita diami selama tinggal di hutan, Andin yang meminta, Ma."
"Menggunakan bahan apa nanti dibuatnya?" Hermanto penasaran.
"Sebisanya akan saya buatkan persis dengan yang aslinya, Om. Bahannya dari batang pohon, ranting serta daun-daunan untuk menutupi atap pondok itu. Sepertinya mudah dicari," ujar Raymond
"Jadi kepengen melihat seperti apa nanti jadinya. Foto pondok berhasil diambil oleh team penyelamat itulah, yang menyelamatkan kalian berdua. Rasanya pantas untuk dibuatkan replikanya. Mau ditaruh dimana, nantinya?" Mama Andin ikutan penasaran juga.
"Di dalam taman itu, Ma. Biar terlihat alami."
"Nanti Papa mintakan bantuan ahli dekorasi taman buat membantu Raymond, mewujudkannya."
"Seandainya sudah jadi, Papa bisa nyobain bagaimana rasanya tinggal di pondok itu, ikut merasakan penderitaan anak Mama, Papa, yang bandel ini."
"Tuh, Pa, dengar anakmu itu, bisa saja menyindir kita. Sini, sayang peluk Mama."
Kecerian, penuh dengan tawa kegembiraan menambah keakraban diantara mereka. Raymond pun sudah tidak merasa canggung lagi.
"Nak, Raymond, Andin, anak kesayangan Mama. Kalian berdua sudah beranjak dewasa semua. Mama, Papa berharap, mulai saatnya memikirkan hubungan yang lebih serius, tidak sekedar pertemanan saja. Kalian sudah merasakan hidup bersama selama berhari-hari di hutan balantara, tentunya sudah saling memahami watak masing-masing. Bagaimana, Nak, Raymond?"
Terlihat gugup Raymond mengutarakannya. "Saya sudah bicara dengan Dik, Andin, bila mana Tuhan mengijinkan, Om, juga Tante, merestuinya. Saya akan melamarnya."
"Bagaimana kamu sayang, Pangeranmu sudah mengutarakannya."
Tersipu malu Andin dibuatnya, mencubit Raymond disebelahnya.
"Andin bersedia, Ma. Menerima Mas, Raymond menjadi pendamping Andin kelak."
"Seandainya Nak, Raymond masih disibukkan dengan pekerjaanya, kalian bisa melangsungkan pertunangan dulu. Setelah itu baru kalian rundingkan rencana pernikahannya, bukan begitu, Pa?"
"Bagaimana baiknya saja menurut kalian. Mungkin rencana pertunangan bisa dilangsungkan dalam minggu ini, sebelum masa cuti Raymond berakhir."
Setelah makan malam bersama mereka kembali kerumah.
Saat ini Andin, dan Raymond bercengkerama di teras taman.
"Mas, kapan kembali lagi ke Jambi?"
"Dua minggu lagi, sudah harus kembali ke site."
"Kalau begitu minggu pertama saja kita bertunangannya, Mas. Lusa, sehabis dari pulau seribu kita pesan cincin. Andin maunya tidak usah rame-rame dulu, sederhana saja pada saat pertunangan kita nanti. Mas, setuju?"
"Setuju banget, nanti Mas, perlu berkonsultasi dulu sama kakak. Nanti Adik ikut, ya, kerumah. Nanti, Mas, kenalkan dengan saudara-saudara."
"Saudara, Mas, ada berapa memang?"
"Kakak perempuan dua, laki-laki tiga. Sedang adik, ada dua perempuan, dua laki-laki. Mas, nomer ke tujuh diantara sebelas bersaudara."
"Wah, banyak banget, pasti rame sekali kalau kumpul semua. Semuanya masih ada, Mas?"