Hatchiii!!!
Caca mengusap hidungnya yang gatal dengan punggung tangan. Hawa dingin yang menyelinap dibalik seragam, membuat gadis itu harus menahan gigil. Ia memanjangkan lehernya, melongok ke dalam kelas XII IPA 1, namun tidak ada siapa pun lagi di sana.
Dimas baru saja kembali dari toilet begitu mendapati Caca keluar dari kelasnya.Tumben. Sebelah alis cowok itu terangkat heran.
"Eh, Ca? Ngapain lo di sini?" tanya Dimas.
"Lo liat Dian nggak?" Caca balik bertanya.
Dimas menengok ke seluruh sudut kelas dan ke seluruh seantaro sekolah. Sepi. Memang masih ada beberapa murid yang belum pulang dan nongkrong di kantin Mbak Sekar yang masih buka meskipun jam pelajaran telah usai, mengingat ada beberapa kegiatan ekskul di lapangan yang masih berjalan sampai sore nanti.
Selain itu, di beberapa ruang kelas lain yang dilewati juga masih ada yang memilih tinggal untuk mengerjakan tugas atau sekedar menunggu jemputan. Tapi khusus kelas cowok XII IPA 1, bersih. Tidak ada siapa pun lagi di sana, kecuali dengungan heboh anak-anak cowok di kantin yang berada tepat di gedung samping kelasnya.
"Udah pulang kali. Lo nggak liat nih kelas udah pada kosong melompong?"
"Bukannya gitu. Anak-anak ada janji pulang sekolah langsung ke rumah Ami buat rapat susulan. Yang lain udah pada nunggu di depan, tapi si Dian nggak ngasi kabar jadi ikut apa nggak. Nomornya juga nggak aktif gue hubungin. Makanya gue susulin sekalian."
“Udah lo periksa ke toilet?”
“Udah.”
“Toilet yang mana?”
“Semuanya,” jawab Caca kesal mendelik ke arah cowok itu. "Lo juga, ngapain masih di sekolah jam segini?"
Dimas menundukkan kepala hingga wajahnya sejajar dengan cewek itu. Sontak kedua mata Caca melebar kaget mendapati mata elang Dimas berada sangat dekat dengannya. Terlalu dekat hingga ia bisa melihat gurat-gurat halus yang tercipta di sudut-sudut mata ketika cowok itu tersenyum.
"Tumben lo tertarik dengan urusan gue?" tanyanya.
Sedetik kemudian Dimas menarik tangan Caca dengan paksa; masuk ke dalam kelas.
"Lo ngapain?! Gue mau pergi bego! Anak-anak udah pada ngumpul di depan!"
"Suruh mereka duluan aja ke tempat temen lo itu. Repot amat," balas Dimas, memaksa Caca duduk di salah satu bangku.
"Duluan gimana? Gue nebeng Dian, Dim!"
"Udah, tenang aja. Gue anterin nanti. Pertama lo tolongin gue dulu," ucap Dimas tiba-tiba menarik ikat rambut Caca. Rambut cewek itu langsung tergerai bebas.
Ketika Caca berusaha mencoba mengambil ikat rambutnya kembali, benda itu justru telah terpasang di poni Dimas lebih dulu hingga poni laki-laki itu menyerupai pohon kelapa. Dan saat itu juga, mata Caca melebar. Ada luka memanjang sekitar satu satu setengah senti di dahi Dimas ketika poninya tersingkap.
"Itu ... kenapa bisa gitu? Lo habis berantem? Astaga! Lo habis ke mana lagi sih, Dim?"
"Nggak ke mana-mana. Berantem ama tangga aja tadi."
"Tangga ...” dengus Caca. “ Lo jalan nggak pake mata? Emang dasar tukang ngibul lo ya."
"Gue nggak ngibul, Caca. Gue jalan nggak liat-liat tadi. Yah, tau-tau udah kejedot aja. Bawel ah. Buruan bantuin gue pasang plester. Gue nggak bawa kaca."
“Pasang plester doang nggak perlu kaca kali, Dim!”
“Lo mau bantuin gue, ato nggak jadi gue tebengin ntar?”
“Issshhh!”
Dimas mengeluarkan plester dari saku lalu memberikannya ke Caca. “Pasangin cepet. Yang lembut, pake perasaan.”
Caca geram, ditempelkannya plester ke dahi Dimas kuat-kuat; cowok itu langsung menjerit kesakitan.
“Lo makan tuh perasaan,” gumam Caca.
“Jadi cewek lembut dikit napa sih, Ca? Sakit bego!”