"Ca ... " panggil Ayu sekali. Namun si pemilik nama sama sekali tak menggubris. Sejak setengah jam yang lalu, cewek itu terus saja mengetuk-etukkan pulpennya pelan ke ujung bibir. Matanya kosong. Pikirannya sedang tertuju ke hal lain.
"Oi, Ca!" panggil Ayu lagi. Kali ini agak keras, meski tetap dalam bentuk bisikan.
Sontak Caca kaget. "Apa? Apa? Kenapa?"
"Lo kenapa sih, Ca? Hari ini kok tumben banyak diemnya. Kesambet lo, ya? Aneh banget."
Ayu menggeser tubuh semakin dekat, berbisik agar suaranya tidak kedengaran oleh Pak Ali. Bisa di strap di luar kelas kalau sampai ketahuan mereka bicara di pelajaran guru killer yang satu ini. Tapi mau bagaimana lagi? Ayu juga penasaran mendapati sejak awal masuk kelas, sahabatnya itu terlihat melamun sepanjang waktu, tidak fokus dan jadi super duper budek pula. Terang saja itu mengusik rasa ingin tahu Ayu. Karena apa yang Ayu tahu, seorang Caca tidak akan pernah melamun di sela-sela waktu luangnya yang berharga. Caca itu study-holic! Orang yang paling kesetanan kalau udah berhadapan dengan nilai rapor.
"Nggak apa-apa. Cuman kurang tidur doang," jawab Caca.
"Yakin? Tapi kenapa gue ngerasa kalo lo lagi ngelamunin seseorang yah?" selidik Ayu, matanya memincing curiga.
Caca menggeser kepala Ayu menjauh kemudian mengalihkan matanya pada papan tulis di depan. Mencatat poin-poin penting yang harus ia ingat untuk ulangan lusa daripada menjawab rasa penasaran Ayu yang tidak akan pernah habis. Cewek itu terlalu pandai membaca perasaan orang lain. Dan jelas, itu membuat bulu kuduk Caca meremang.
Meskipun Caca mulai mendengarkan Pak Ali yang sedang menjelaskan materi di depan lengkap dengan penggaris panjang dan cahaya matahari yang terpantul dari kepala sulahnya, pikiran cewek itu tetap saja tidak tenang.
Jari-jarinya berhenti bergerak. Matanya memandang sesuatu yang lebih jauh dari sekedar jendela kelas di samping. Teringat kejadian tadi malam. Lagi, terhanyut dalam bayangan yang membuatnya gusar sepanjang waktu.
Aga seakan lepas kendali. Cowok itu berkelahi seakan ingin membunuh siapapun yang ada di hadapannya. Caca sendiri bahkan tidak yakin, apakah preman-preman itu masih hidup atau sudah mati ketika Aga membawanya pergi dari sana.
Aga ingin mendekat, menanyakan keadaan Caca yang terlihat pucat. Namun, sedetik kemudian cowok itu menahan langkahnya. Ia mundur dan menelan ludah. Tak berani untuk menyentuh Caca. Aga menarik kembali tangannya yang penuh bercak darah itu. Sorot ketakutan di mata Caca seakan mencambuk kulitnya hingga daging-dagingnya ikut terlepas. Kemudian cowok itu mengalihkan matanya pada hal lain. Dalam sedetik, ia menyingkirkan perasaan terluka itu ke sudut terdalam hatinya.