Tidak seriuh hiruk-pikuk suasana di luar sana, ruangan UKS itu sepi. Bu Rini yang bertugas jaga harus ijin mendadak karena anak semata wayangnya masuk rumah sakit akibat demam berdarah.
Di UKS itu, di dipan terakhir yang berada dekat jendela, Aga terlihat sedang berbaring. Menikmati hembusan kipas angin di panasnya cuaca siang ini. Sebelah tangannya terjulur menutupi mata. Napasnya berhembus teratur mengikuti gerakan dadanya yang naik turun. Sesaat kemudian, telinganya mendengar langkah yang masuk ke ruangan itu. Langkah bimbang yang terdengar ingin mendekat. Langkah milik Caca, cewek yang menjadi alasan kenapa ia memilih kembali ke ruangan yang penuh bau obat-obatan itu.
Ada sesuatu yang ingin ia pastikan dari cewek itu. Sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan jawabannya. Sesuatu yang membuat hatinya berdarah selama ini tanpa pernah ia ketahui apa sebabnya. Caca menarik napas dalam-dalam. Diliriknya kedua telapak tangan Aga yang berbalut perban dan luka di ujung bibir cowok itu akibat mendapat pukulan di wajah. Rasa bersalah memenuhi hati Caca. Ia benar-benar merasa sikapnya selama ini benar-benar keterlaluan. Hanya aja ...
"Jangan terlalu lama ngeliatin kalo lo nggak suka gue. Bahaya kalo sampai terpesona."
Caca terkesiap. Aga menyingkirkan lengannya dari wajah dan memandang cewek galak itu . Sebenarnya ia ingin tetap pura-pura tidur. Ingin melihat apa yang dilakukan Caca. Apa tujuannya. Namun karena Caca tak mengatakan apapun selain memperhatikan tangannya, Aga menyerah.
Pemilik tatapan hangat itu, butuh lebih dari sekedar kebisuan di antara mereka. Ia butuh lebih dari sekedar rasa kasihan di sepasang mata cokelat itu. Bahkan sekalipun ia tidak menyadarinya. Sesuatu menarik rasa keingintahuan yang lebih jauh pada pertanyaan yang dibuatnya sendiri. Ia harus mendapatkan jawabannya. Jawaban kenapa... Caca juga menatapnya seperti itu?
"Apaan sih? Ge-er banget lo jadi orang," jawab Caca. "Gue ke sini karena kemarin lupa bilang... bilang... ,” Caca menghela napas berat. “Gue lupa bilang makasih,” ucapnya pasrah. Hatinya mengalahkan harga dirinya.
Aga terkekeh, memegang perutnya yang sakit karena menahan tawa. Tidak persis seperti yang ia inginkan. Namun ulu hatinya tiba-tiba saja terasa geli. Bibirnya yang lupa bagaimana rasanya tertawa secara nyata itu, tiba-tiba saja terasa seperti digelitik oleh kalimat Caca. Keputusannya untuk kembali ternyata memang tepat. Mendengar Caca tiba-tiba saja mencarinya ke kelas saja sudah membuat hati cowok itu dipenuhi gelembung-gelembung udara yang menyenangkan. Dan ketika mendengar cewek itu mengucapkan terima kasih, perutnya benar-benar geli sekali hingga ia tak mampu menahan tawa.
Anjirrr ....
"Lo tuh ya, gue ngomong baik-baik kok malah diketawa-"
Aga meringis ketika mencoba duduk. Kondisinya belum pulih benar. Tentu saja. Luka dan cidera seperti itu, tidak mungkin hilang dalam waktu satu malam bahkan sekalipun cowok itu kuat menahannya.