Airlangga Romance in Highschool

Tari Oktavian
Chapter #14

Chapter#13 Do Not Hope Too Much, It Kills You

Caca menggigiti bibir. Tangannya terus menggenggam satu sama lain dan mencoba meredam getaran dari dalam tubuh. Sejak tadi ia terus mengetuk-ngetukkan ujung kakinya pada lantai, menunggu kabar Aga. Tidak boleh terjadi apa-apa dengan Aga. Ia mengangkat kepala begitu melihat Dimas dan Pak Nata keluar bersama Dokter yang berlalu pergi begitu saja. Ditatapnya Dimas.

"Dim, lo... kenapa lo diam?"

Dimas membisu. Ia bahkan mengalihkan matanya dari Caca. Cewek itu langsung meminta penjelasan pada Pak Nata sendiri.

"Pak, Aga nggak kenapa-napa, kan?"

"Caca... bapak minta maaf."

Detak jantung gadis itu melambat.

"Maksud... bapak apa, ya? Kok saya nggak ngerti..."

"Bapak akan menunggu keluarganya dulu untuk mengucapkan belasungkawa," ucap Pak Nata dan meninggalkan mereka semua di sana.

Punggung Pak Nata tampak bergetar dari belakang. Dan itu membuat perasaan takut yang teramat dalam menghantui pikiran Caca. Memikirkan hal terburuk yang terjadi. Lidahnya terasa kelu dan tiap tarikan napasnya terasa begitu berat saat ia memberanikan melangkah membuka pintu UGD. Si bodoh itu nggak mungkin mati kan...?

"Ca ..." Dimas menahan tangan cewek itu. Tak membiarkannya masuk. "Jangan, Ca. Lo nggak akan sanggup."

Tapi Caca tidak peduli. Ia menepis tangan Dimas. Ia akan memastikan sendiri keadaan Aga. Ia akan memastikannya sendiri dengan kedua matanya!

Dan di sanalah Aga terbaring. Tertutupi kain putih dari ujung kepala hingga kaki. Mengirim sejuta jarum yang menusuk hati Caca di detik yang sama. Monitor detak jantung di samping ranjang hanya menunjukkan garis horizontal datar terus menerus. Membuat gadis itu harus menelan ludah kuat-kuat.

Jantungnya berdetak dengan lebih kencang. Detakkan yang begitu menyesakkan dada hingga ia harus menahan napasnya. Ia masih tidak percaya kalau yang terbaring di bawah kain putih itu benar adalah Aga. Pliss, di mana kamera tersembunyi nya? Ini nggak lucu sama sekali!

Dihampirinya tubuh yang terbaring di sana, memaksa kedua tangan menarik kain panjang yang menutupi wajah seseorang di bawahnya Lalu satu hantaman memukul keras dada Caca. Ia mundur selangkah. Orang yang terbaring di sana memang Aga. Dia memang Aga.

Caca mencoba mengalihkan pandangannya pada hal lain. Tapi ia tahu, tidak ada satu pun hal di sana yang sanggup mengalihkan pandangannya. Tidak. Karena itu ia harus pergi dari sana. Ia harus pergi sebelum dirinya menangis. Dia harus pergi sekarang. Yang perlu dilakukannya sekarang hanyalah memutar tubuhnya dan melangkah pergi dari sana.

Demi tuhan, dia harus segera pergi. Dia harus pergi ....

Namun sesuatu menahan pergelangan tangan Caca. Mengunci cewek itu di tempat. Membekukan jantungnya. Hingga sedetik kemudian mengirimkan sengatan listrik yang membuat Caca langsung berbalik ke belakang.

Aga duduk di sana, di atas ranjangnya. Menatap Caca dengan senyum jahil. Senyum yang langsung refleks membuat Caca menarik bantal dan memukul cowok itu berulang kali.

Syukurlah!

"Lo tuh ya!!!"

"Ca, Ca... sakit, Ca!!!”

"Tega-teganya lo... biarin! Biar! Biar lo mati sekalian!"

"Udah Ca, udah. Mati anak orang, Ca!"

Dimas menahan Caca yang benar-benar dengan sepenuh hati ingin menghabisi Aga. Dimas yakin sekali, jika tidak ditahan, Caca akan melompat untuk mencekik Aga. Tawa Dimas langsung meledak, ia memegang perutnya yang sakit karena menahan tawa itu sejak awal bersama Pak Nata. Mereka bertiga ternyata bekerja sama untuk mengelabui Caca.

"Udah gue peringatin tadi. Tapi lo nggak mau percaya. Apa kata gue? Lo nggak bakal sanggup, Ca!"

Bantal yang tadi digunakan untuk memukul Aga, sekarang sudah berbalik menghantam Dimas bertubi-tubi.

"Anyinggg banget sih lo! Tega-teganya mainin perasaan gue! Sekalian aja lo ngikut Aga baring di sana! Mati aja lo! Nih! Nih! Nih!"

“Ca!”

Aga tertawa. Dan bantal Caca langsung kembali memukulnya.

"Jangan ketawa lo! Lo juga sama! Lo nggak mikirin gimana khawatirnya gue? Kalo sampe lo mati, gue yang bakal nggak tenang seumur hidup!" amuk Caca.

Aga meringis kesakitan di atas dipan memegangi lengannya.

Caca terdiam begitu menyadari tangan kanan Aga dibebat hingga bahu dan ditahan oleh penyangga.

“Ga... tangan lo ....”

“Heh?” alis Aga terangkat. "Oh, ini. Gue nggak apa-apa. Cuman cedera ringan. Nggak usah khawatir," ucapnya menenangkan.

Caca langsung mengalihkan wajahnya. "Cuman," dengusnya tak percaya. "Jangan belagak sok kuat di depan gue."

"Keren lo, Bro. Laki banget. Sampe segitunya ngorbanin diri lo buat cewek batu kayak gini. Kalo gue sih ogah."

Caca melempar bantal di tangannya ke muka Dimas telak-telak. "Lo makan tuh bantal! Tambah micin sekalian kalo perlu!"

"Ya, udah. Ca, gue titip nih bocah satu, ntar gue balik lagi."

Lihat selengkapnya