Ting Tong!
Tak ada jawaban. Ia memencetnya sekali lagi. Satu kali. Dua kali.
Ting Tong! Ting Tong! Ting Tong!
Masih tidak ada jawaban
Caca baru akan menekan bel sekali lagi saat pintu tiba-tiba terbuka di depan wajahnya.
Seorang laki-laki muda dengan wajah pucat, kemeja putih lusuh dan celana training berdiri di depannya. Rambut laki-laki itu acak-acakan seperti baru bangun tidur. Atau justru tidak tidak tidur berhari-hari melihat lingkaran hitam di bawah mata.
Manik kelabu Aga tampak lelah dibalik kacamata yang ia gunakan. Tapi entah kenapa semua itu justru membuatnya terlihat... tampan?
Ya ampun! Sadar Ca!!! Lo barusan bilang apa? Tampan?!
"Caca...," sapa Aga.
Nada heran terselip di suaranya. Bingung kenapa Caca tiba-tiba saja ada di depan pintu apartemennya.Caca langsung mengerjap. Pikirannya kembali dalam sedetik. Malu karena kedapatan memperhatikan cowok itu.
"Oh itu... eh... lo nggak ada kabar beberapa hari ini. Jadi gue takut lo kenapa-napa... gitu ... maksudnya. Dan... ini..." Caca menjulurkan plastik besar, "... sebenernya gue diminta Pak Nata nganterin tugas dan catatan ini ke elo," lanjutnya.
"Gitu?"
Aga mengangguk sekilas kemudian menatap Caca. Terlihat berpikir sebentar.
"Mau masuk?" tanya cowok itu kemudian.
Eh?!
"Nggak apa-apa. Santai aja."
Aga membuka pintu, berdiri di samping. Begitu Caca sudah di dalam, cowok itu menutup pintu hingga membuat Caca kaget lalu melewati gadis itu menuju dapur. Diam-diam Aga tertawa melihat kekikukkan Caca.
"Mau minum apa? Air putih atau susu? Maaf, gue nggak punya menu lain."
"Nggak usah repot-repot. Gue cuman sebentar kok, nganterin titipan dari teman-teman sekelas lo."
Caca meletakkan berbagai kantong plastik yang berisi buku catatan Aga dan tugas yang harus ia kerjakan selama keabsenannya yang lebih dari satu minggu.
Aga mengambil gelas kaca dan mengeluarkan botol mineral dari dalam kulkas.
"Lo tinggal sendiri ato gimana, Ga? Kok kayaknya sepi banget. Atau baru pindah? Keluarga lo mana? Lagi keluar?"
Aga menyodorkan gelas berisi air putih di atas meja itu ke arah Caca. Mengacak-acak rambut gadis itu pelan.
"Nanyanya satu-satu, Agisha Nanda," ucapnya sambil melangkah ke ruang tamu.
Caca mendesis saat terpaksa membetulkan rambutnya yang berantakan karena ulah Aga. Ia jadi heran kenapa cowok itu suka sekali mengacak-ngacak rambutnya?
"Gue tinggal sendiri sejak masuk SMA. Jadi lo nggak usah khawatir," Aga menjawab pertanyaan Caca sambil berbaring di atas sofa.
"Kalo lo mau keliling rumah, silahkan aja. Tapi jangan pulang diam-diam."
Bahunya masih nyeri dan tubuhnya juga sedang tidak enak.
Caca menghela napas dan mendekati sofa Aga. Meletakkan kantong plastik berisi jeruk di atas meja kaca dengan pelan.Suasana ruangan itu sudah cukup sunyi. Bahkan kuburan pun sepertinya tidak sesunyi ini. Jadi ia takut menimbulkan suara sekecil apapun yang dapat memecah keheningan itu. Takut mengganggu Aga yang sepertinya sedang mencoba istirahat. Ia menyeret langkahnya dengan pelan ke balkon, mendekati jendela. Terpesona. Ia bisa melihat pemandangan kota Jakarta dari atas sana.
Jalanan yang ramai, orang-orang yang berseliweran dalam berbagai warna baju, pedagang kaki lima yang lewat tidak jauh dari area apartemen, dan semuanya. Berada di balkon itu ia merasa seperti berada di dalam komedi putar yang berhenti di puncak tertinggi.
Ia bisa melihat segalanya. Terlihat menakjubkan. Mata gadis itu menjelajah, penasaran mencoba menemukan di mana rumahnya berada jika dilihat dari atas sana.Caca ingin mengatakan betapa irinya dia pada laki-laki itu karena bisa tinggal di sana. Tapi ia mengurungkan niat saat melihat Aga sedang menutupi separuh wajahnya dengan lengan kiri.
Mungkin Aga tertidur saking lelahnya. Lebih baik ia tidak mengganggu.
"Ca...."
Diliriknya Aga, namun cowok itu masih tak bergerak dari sana. Satu tangannya bahkan masih tetap menutupi matanya.