Caca baru saja akan kembali ke kamar kakaknya ketika hampir saja menabrak tubuh Aga yang tiba-tiba muncul di depan pintu.
“Maaf, Ca."
"Gue harus pergi."
"Ada urusan mendadak. Nanti gue hubungin lagi.”
“Hah...?”
“Sampein salam gue buat nyokap lo. Gue pamit,” ucapnya
Aga mengacak pelan rambut Caca kemudian menghilang di depan pintu bersamaan dengan suara motornya yang menderu kencang, jauh lebih kencang dari biasanya.
Caca menyentuh puncak kepalanya yang tadi diacak-acak Aga.
Entah kenapa ia merasa seperti mendengar bunyi “krek-krek” di bagian dalam tubuhnya.
Mungkinkah suara hatinya yang retak?
Suara perasaannya yang patah?
Nggak mungkin.
Kenapa mesti retak?
Kenapa harus kecewa?
Memangnya apa yang ia harapkan?
***
Laki-laki itu melangkah dengan cepat menyusuri koridor rumah sakit. Ia harus berkali-kali meminta maaf pada orang yang tidak sengaja ditabraknya.
Jantungnya berdegup dengan kencang saat berlari hingga ditemukannya nomor kamar yang ia cari sampai langkahnya berakhir di depan sebuah pintu. Mengumpulkan seluruh keberanian yang ia miliki. Bahkan jika pun ia harus dihadapkan pada kemungkinan terburuk seperti yang selama ini terjadi.Pintu kamar terbuka dan menciptakan celah kecil ketika ia akan masuk.
Namun sebuah tangan muncul lalu mencengkeram pergelangan tangannya. Menahannya agar tidak melakukan hal yang lebih jauh lagi dengan membuka pintu itu dan masuk ke dalam. Seseorang berdiri menghalangi jalannya.
“Kenapa kamu di sini?” tanya suara itu dingin.