"SAYA HITUNG SATU SAMPAI LIMA, SEMUANYA HARUS SUDAH BERKUMPUL DI LUAR ATAU SAYA SIRAM KALIAN PAKE AER!!!" teriak Dimas lantang di depan toaknya tepat jam satu malam hingga mengagetkan semua siswa yang terlelap.
Dimas benar-benar ahli berperan sebagai senior paling galak saat ini.
"SATU!!! DUA!!! TIGA!!!"
Dalam sekejap semua penghuni tenda sudah terbirit-birit lari ke tengah lapangan dalam kondisi setengah sadar. Bahkan ada siswi yang sampai lupa memakai jilbab dan berlari kembali ke tenda untuk memakai jilbabnya sebelum kembali ke tengah lapangan dalam gerakan kilat tepat di hitungan ke-
"LIMA!!!"
Semuanya berbisik tegang. Takut. Was-was. Campur aduk. Terlebih ketika Dimas sudah berada di depan sambil berteriak-teriak dengan toak pusakanya saat ini dengan muka sangar. Seakan ia sedang melampiaskan semua kemarahan yang ia pendam selama ini melalui benda itu.
Selagi Dimas memberi arahan yang lebih mirip bentakkan, Caca dan Aga sudah lebih dulu menyusuri jalan setapak sambil menuju pos terakhir yang akan mengakhiri agenda jurit malam hari ini. Suasana cukup hening. Hanya ada semak dan pohon-pohon pinus yang menjulang di tengah kegelapan. Suara-suara jangkrik terdengar samar mengalun di tengah kesunyian yang tercipta.
Caca memasukkan satu tangannya ke saku jaket ketika udara dingin menjalar ke jari-jari. Tangan yang satunya lagi memegangi senter yang menerangi tapak jalan di depan. Langkahnya mengikuti langkah Aga yang berada satu meter di depannya.
Laki-laki itu tidak mengatakan apapun sejak tadi. Ia tidak berkomentar apapun dan tampangbya tetap saja datar sejak pembagian kelompok panitia yang berjaga pos diumumkan. Tatapan matanya tak terbaca. Entah apa yang dipikirkan Aga saat ini, ia tidak mengerti.
Ia tidak tahu kenapa Aga tiba-tiba saja jadi pendiam seperti ini. Aga bahkan tak pernah berbalik bahkan menoleh sekali pun hanya untuk memastikan bahwa Caca masih ada di belakangnya atau tidak. Dan itu justru membuat suasana menjadi canggung untuk Caca. Seakan ia sudah melakukan kesalahan yang menyinggung cowok itu.
Setiap kali ia memanggil laki-laki itu atau pun mengatakan sesuatu untuk menghilangkan kecanggungan, Aga hanya berdehem pelan sebagai jawaban. Caca bingung. Tak henti-hentinya Caca memandangi punggung lebar Aga hanya untuk mencari jawaban ada apa dengan cowok itu hari ini?
Lagian kenapa harus Aga yang ikut dengannya sih?!!!
Caca menghela berat.
Aaarrrggggghhhhhhhh!!!!!!!
Aaaarrrgggghhh!!!!
Mamaaaaa!!!!!!!
Mamaaaa!!!!
Suara-suara itu mengejutkan Caca dan Aga. Langkah mereka berhenti untuk mencerna apa yang terjadi. Beberapa detik kemudian Caca tertawa geli. Pos pertama sudah mulai mengerjai para peserta LDKS.
"Mereka udah mulai rupanya," gumam Caca, teringat bagaimana dirinya dulu juga dikerjai habis-habisan oleh senior yang menyamar menjadi setan.
Belum lagi dibentak-bentak dengan alasan latihan mental yang membuat posisinya menjadi serba salah.
"Gue juga dulu sempet manggil-manggil nyokap, waktu masuk ke hutan sama kelompok gue. Apalagi pada takut-takut antara maju apa nggak, maju apa nggak, dan salah satu anggota gue akhirnya malah kabur ninggalin gue dan Ami berdua aja. Sialnya lagi, dia yang bawa senter. Bangke," ceritanya sambil tertawa kala mengingat momen itu.
Namun Aga tidak berkomentar apapun.
Dan entah setan usil apa yang merasuki Caca, ia justru mencoba menirukan suara mbak-kunti untuk ikut menakut-nakuti kelompok yang mungkin tidak jauh dari sana, membuat suasana semakin horor di gelapnya malam dan dinginnya udara yang membuat tubuhnya menggigil.
Sontak saja suara cekikikan Caca membuat suara-suara teriakan kelompok tadi semakin menjadi-jadi.
Belum juga sampai di pos satu, berbagai macam ayat-ayat suci sudah keluar dari mulut meskipun tidak selesai karena terpotong teriakan mereka sendiri!
Caca semakin tergelak. Perutnya sakit karena menahan tawa.
Gadis itu sedang tertawa layaknya mbak-mbak-kunti ketika Aga tiba-tiba saja berbalik, menarik tangan gadis itu dan membekap mulutnya.