Aga bersandar di kursi yang tepat disampirkan di belakang kursi Caca, menjadi satu-satunya pembatas antara punggungnya dan punggung gadis itu.Sejak tadi ia memang hanya duduk di sana tanpa ikut terlibat dengan permainan senior-senior lain seperti yang dilakukan di masing-masing pos.
Hanya duduk diam di belakang Caca sambil memejamkan mata dan menyandarkan bahunya di sana. Seolah-olah sedang tertidur. Ia hanya ingin bersama Caca, sama sekali tidak berniat untuk menjadi panitia, bahkan hingga agenda jurit malam itu selesai.
Caca merenggangkan kedua tangannya ke atas dan menguap lebar selebar-lebarnya hingga ia harus menutupi mulut dengan telapak tangan karena lelah.Dari atas pondok sana ia menatap ke arah bulan yang masih setia mendampingi gelapnya langit selama beberapa jam lagi sebelum digantikan oleh matahari.
Tapi entah kenapa ia sama sekali tak tertarik untuk menikmati pemandangan itu. Rasa penat benar-benar mengambil alih seluruh saraf-sarat tubuhnya.Satu-satunya yang ingin ia lakukan saat ini hanyalah kembali ke tenda dan tidur. Tapi tidak bisa. Ia tidak bisa melakukannya sekarang.
“Pinjem punggung lo bentar, Ga,” ucap Caca tanpa malu.
Sebodo amat, pikirnya saat itu. Badannya udah pegal!
Aga hanya tersenyum samar ketika menyadari kepala gadis itu sudah bersandar dipunggungnya dengan posisi miring. Kedua mata Caca terpejam.Cewek itu tidak memiliki tenaga lagi untuk membuka mata. Tidak kuasa lagi menahan kantuknya.
“Kaki gue mati rasa,” jelas Caca.
Ia tidak bohong. Sumpah demi Tuhan, Caca memang ingin segera kembali ke tenda. Hanya saja, kakinya sedang mati rasa sekarang. Dan Caca yakin sekali, setelah mati rasanya hilang, kakinya itu bakal langsung kesemutan!
“Nggak usah buru-buru,” ucap Aga. “Gue suka lo bersandar ke gue.”
Caca membuka matanya perlahan. Ada sesuatu di dalam suara Aga yang begitu menusuk relung hatinya hingga merasa seakan-akan laki-laki itu sedang menangis. Seakan-akan kata-kata itu dipenuhi dengan kesedihan yang begitu dalam yang coba ia sembunyikan.
Pikirannya kembali pada saat ketika Aga memainkan gitar kakaknya dulu. Perasaan aneh yang muncul dihatinya saat ini sama dengan apa yang dirasakannya saat itu. Ada sesuatu yang aneh tentang Aga yang membuatnya penasaran. Hanya saja ia tidak tahu apa itu.
Caca mencoba mengabaikan perasaan itu lalu kembali menutup mata. Mendengarkan irama jantung Aga yang begitu menenangkan. Apakah ia pernah mendengar suara seindah ini sebelumnya? Entahlah.
Yang pasti ia sangat menyukai suara yang satu ini. Suara debar jantung yang membuat udara dingin menjadi hangat untuknya.
“Ca, bisa minggir dulu nggak?”
Alis Caca terangkat bingung. “Kenapa?”
“Gue mau kentut.”
“Aga!!!”
***
“Gila! Liat senyumnya aja hati gue langsung meleleh, Bro. Malah lutut gue yang jadi lemes pas tadi malem nggak tega bentakkin dia,” ungkap Geo tentang salah seorang peserta yang lagi ngehits jadi objek pembicaraan panitia cowok.
“Kalo gitu gue menang satu langkah.”
“Menang gimana maksud lo?” balasnya pada Robby.
“Gue yang nahan badannya pas dia mau pingsan di pos 2. Rejeki emang nggak ke mana!”
“Tai! Menang banyak lo co’ek!”
“Yaelah, segitu doang lo ributin. Cewek kagak cuman dia juga kali.”
“Yang ngomong nggak sadar diri. Lo kira gue nggak ngeliat waktu lo modus pake pegang-pegang tangannya pas arung jeram tadi! Gue keplak juga lo pake arang!”
“Semua adil dalam cinta dan perang,” Farhan memejamkan mata, menghayati kalimatnya sendiri.
“Awww awwwhh adoohhh!!!”
Laki-laki itu terperanjat ketika Aga tiba-tiba melempar ubi rambat yang baru saja selesai dibakar ke tangannya. Sontak ia melempar-lempar ubi rambat di tangan dan kaosnya. Masih panas naudzubbilllah!
“Kampret lo, Ga! Anjing! Melepuh tangan gue bego! Sialan lo!” makinya.
“Tangan lo penuh dosa, cuy,” tawa Dimas.
Ical langsung menyahut, “Tangan kebanyakan gatel kudu wajib dienyahkan! Musnahkan!”
“Belagak kagak suka, tapi ada kesempatan lo pegang-pegang juga si manis jembatan depok! Ana keplak juga tuh otak mesum, baru tau ente!”
“Setia dong lo jadi cowok! Si Tari mau lo ke manain ntar?!”
“Tari siapa, njing?! Ngaco lo pada!”
“Ya, Tari lah. Tangan sendiri maksudnya!” tawa Dimas meledak diikuti yang lain.
“Udah pada selesai, Ca?” tanya Dimas begitu Caca muncul sambil menguncir rambut dan duduk di sampingnya.
“Belum. Paling sejaman lagi juga kelar. Pinggang gue udah retak-retak. Biarin panitia yang lain aja yang ngurus. Kak Andrew juga di sana,” jawabnya.