Siang itu, di dalam pendopo agung, Airlangga menatap tajam seorang pria yang duduk tak jauh darinya. Seandainya saja mereka tidak terhalang oleh tatakrama dan karpet merah yang akan dilewati raja. Airlangga pasti sudah mematahkan batang leher pria itu. Namun kali ini Airlangga memilih bersabar, setidaknya sampai titah raja dikumandangkan.
Airlangga terus menancapkan sorot mata penuh kebencian padanya. Namun sebaliknya, pria itu justru bersikap acuh tak acuh. Berpura-pura tidak menyadari, jika dirinya sedang ditatap penuh amarah oleh seseorang. Mata bulatnya selalu berhasil melewati tatapan Airlangga.
“Lancang, berani-beraninya dia mengabaikanku”, gerutu Airlangga
Pria itu adalah Agra Putra seorang mahapatih kerajaan. Pria tampan dengan kumis dan jambang tipis di wajahnya. Hidungnya lancip, bermata bulat, memiliki tubuh tinggi proposional dan berkulit sawo matang. Siang itu dia tampak gagah mengenakan baju beskap berwarna hitam dan kain bebedan batik.
Agra Putra adalah putra dari Gustira Satya, seorang Bhakara Sapta Prabu atau lebih dikenal sebagai penasihat agung maharaja. Agra Putra dan ayahnya Gustira Satya sangat beruntung dikarunia kecerdasaan yang luar biasa, sehingga mendapatkan kepercayaan penuh dari maharaja. Gagasan-gagasan cemerlang dari seorang penasihat agung selalu dijadikan sabdatama atau titah mutlak oleh raja.
Titah-titah itu lantas akan dieksekusi sempurna oleh sang mahapatih, yakni Agra Putra yang mengepalai badan pelaksanaan pemerintah dan bertanggung jawab terhadap jalannya pemerintah kerajaan. Akan tetapi, kali ini gagasan bagus tidak keluar dari mulut penasihat agung. Melainkan dari sang mahapatih. Oleh karena itu, para tetua dan pejabat tinggi kerajaan berkumpul untuk mendengar dan menjalankan titah raja.
Bisik-bisik para tetua dan petinggi kerajaan membuat pendopo terdengar riuh rendah. Mereka bertanya-tanya apa yang akan raja putuskan kali ini. Apakah mengikuti gagasan Agra Putra atau malah memilih perang?. Semua orang mempunyai spekulasi masing-masing mengingat titah raja akan menentukan nasib masa depan kerajaan.
Siang itu, Agra Putra sebenarnya tahu jika sedari awal, Airlangga terus mengawasinya. Hanya saja dia sedang malas menanggapi. Dia tidak ingin membuat keributan siang itu. Dia hanya ingin fokus mendengar titah raja, lalu menjalankannya. Untuk itulah, dia lebih baik berpura-pura bercengkrama dengan salah satu mahamenteri di sampingnya. Akan tetapi, saat sedang asik bersandirwara, sang mahamenteri tak sengaja menemukan tatapan tajam Airlangga. Mahamenteri itu dengan kikuk menundukkan kepalanya dalam-dalam hampir membungkukan badan. Lalu menyikut lengannya.
“Sial," gumam Agra Putra perlahan.
Akhirnya dengan terpaksa, mau tidak mau, Agra Putra membalas tatapan Airlangga, dengan tatapan angkuh bernada meremehkan. Agra Putra dengan sengaja mendongkakan kepala dan melemparkan seulas senyum picik di wajah tampannya. Senyuman yang tentu saja membuat Airlangga semakin meradang. Kedua tangannya mengepal di atas paha dan rahangnya menegas menahan amarah.
Kedua pria itu kini bersitatap, seolah berperang dalam diam. Kilatan-kilatan amarah terpancar dimata keduanya. Meletup-letup seperti prominensia atau lidah api matahari, yang menjulur-julur menyerupai pecut api yang bercahaya.
Airlangga tidak mau melewatkan kesempatan ini. Dia mengepalkan tangan kanan, lalu memukul-mukulkan kepalan itu ke telapak tangan kiri. Sebagai bentuk intimidasinya pada Agra Putra, yang berarti, “Apa kau mau merasakan kepalan tanganku ini." Airlangga berharap pria itu takut, kemudian menundukkan kepala dan meminta maaf padanya. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Raut wajah Agra Putra terlihat datar-datar saja menanggapi kepalan itu. Dia melipat kedua tangan di depan dadanya, sambil mengangkat satu alisnya. Tak ada tanda terintimidasi sama sekali.
Begitu melihat reaksi Agra Putra dengan segala kecongkakannya. Airlangga merasa emosinya mencuat, mencapai ubun-ubun kepalanya. Tak patah arang. Dia menunjukkan keris bersarung emas miliknya, sebagai bentuk ancaman lain pada Agra Putra. Kali ini berhasil, Agra Putra menurunkan lipatan tangan di dadanya, kemudian menundukkan kepala dalam-dalam. Reaksinya itu membuat Airlangga mengembangkan senyum tipis, tanda kemenangannya.
@@@@
Maharaja Syailenda, Permaisuri Iriana dan Putri Nithia tiba dipendopo. Teriak juru bicara kerajaan, memberikan aba-aba kepada seluruh pejabat yang hadir di pendopo untuk berdiri. Serentak semua orang berdiri, menundukkan kepala seraya menyatukan kedua tangan di depan perut mereka.
Raja berjalan dengan khidmat diatas karpet merah membelah para rakryan, mahamenteri, tetua dan petinggi kerajaan lainnya. Raja terlihat begitu gagah membawa seluruh wibawanya. Ditemani oleh permaisuri yang anggun dan putri Nithia yang cantik. Di tengah perjalanannya menuju singasana, raja tiba-tiba menghentikan langkah tepat dihadapan Airlangga.
“Yuwaraja anakku," ujar raja pada Airlangga.
Airlangga menengadahkan kepala menatap ayahanda-nya. Benar. Airlangga adalah yuwaraja atau pangeran kerajaan Asoka ini. Airlangga Raka Syailendra adalah anak sulung, sekaligus pewaris yang akan melanjutkan tahta singgasana maharaja kelak. Airlangga adalah satu-satunya tumpuan harapan raja, yang sampai saat ini begitu membanggakan. Kepiawaiannya dalam menjalankan titah raja. Tidak dapat diragukan lagi. Seluruh tetua dan petinggi kerajaan bahkan begitu menghormati dan menganguminya. Kendatipun usianya masih teramat muda.
Pangeran Airlangga juga terkenal akan parasnya yang rupawan dan pemikirannya yang brilian. Pembawaannya yang tenang selalu memancarkan aura kharismatik yang menghipnotis. Tak dapat dipungkiri semua orang baik di dalam, maupun diluar kerajaan. Selalu berdecak kagum melihat pesona Airlangga. Mereka percaya bahwa para dewa memberikan seluruh pesona yang mereka miliki padanya.
Dia dianugrahi hidung yang lancip. Sorot mata tajam yang membekukan siapapun yang ditatapnya. Kumis tipis diatas bibir merahnya yang menggoda, serta rahang kokoh di pertegas oleh janggot segaris, membingkai seluruh ketampanan wajahnya.
Tak sampai disitu saja, Airlangga juga dianugrahi dengan tubuh tinggi dibalut kulit putih yang bersinar. Dada bidang dan otot-otot kuat di sekujur tubuhnya terbentuk sempurna, hasil dari latihan fisiknya selama ini. Tubuhnya itu seolah benar-benar dipahat tanpa cela. Sehingga apapun yang melekat tubuhnya, selalu berhasil membuat dirinya istimewa dibanding siapapun. Seperti siang itu, Airlangga mengenakan beskap hitam bercorak emas dan kain bebedan. Tampak bagaikan titisan dewa apollo dari yunani, yang terkenal akan sosoknya yang bercahaya.
“Hamba maharaja," sahut Airlangga kepada ayahandanya.
Raja merengkuh ketat pundak Airlangga. Tatapan raja siang itu mengisyaratkan sebuah pertanda, bahwa ada satu perkara sulit yang ingin dia utarakan. Airlangga balas menatap, menunggu raja akan mengatakan sesuatu padanya. Namun tidak sepatah katapun yang terlontar dari mulutnya. Raja justru melangkah kembali ke singgasananya. Meninggalkan tanya dibenak Airlangga.
Tepat disamping ayahnya, Airlangga menemukan tatapan teduh permaisuri, ibu kandungnya. Ibundanya tersenyum dan dibalas anggukan kecil oleh Airlangga sebagai bakti hormatnya. Dan tepat dibelakang ibundanya, Airlangga menemukan adik kesayangannya berjalan dengan anggun. Serupa dengan Airlangga, putri Nithia juga memiliki pesona yang sama. Dia adalah gadis cantik bermata bulat, pintar dan memiliki sikap yang lembah lembut. Putri Nithia kerap kali disandingkan dengan bidadari-bidadari yang tinggal di nirwana.
Putri Nithia menghentikan langkah tepat dihadapan kakak laki-lakinya. Kemudian berbisik sambil menutup mulut dengan telapak tangan, berharap apa yang diucapkannya tidak terdengar oleh orang lain.
“Kakang kapan kita ke pasar raya?," tanyanya penuh antusias.
“Nanti Putriku yang cantik," jawab Airlangga sambil mengerlingkan mata. Kemudian memberikan isyarat kepada Putri Nithia untuk segera mengikuti langkah kaki raja dan permaisuri, yang telah meningalkannya.