Malam itu, Agra Putra berdiri di tepi sungai menatap rembulan di langit hitam. Pria tampan itu tampak tertegun menikmati keindahan alam, sembari terlihat sedang memikirkan sesuatu. Saking terhanyutnya dalam pemikiran yang dalam, dia tak menyadari jika Airlangga telah tiba dan memandangi punggungnya cukup lama dari kejauhan.
“Haruskah aku dorong mahapatih tidak tahu diri itu ke dasar sungai," gumam Airlangga dalam hati. Tapi segera dia menggelengkan kepalanya.
“Tentu saja tidak, apakah aku sepengecut itu, mendorongnya diam-diam. Kesatria tidak dibenarkan melakukan hal memalukan seperti itu," gumam Airlangga seraya berjalan mendekatinya.
“Ehem," Airlangga mendehem mengabarkan kedatangannya.
Agra Putra terkejut, kemudian memutar tubuh menghadap Airlangga. “Selamat datang pangeran," sapa Agra Putra seraya menundukkan kepala.
“Kau sudah tiba rupanya," ujar Airlangga.
“Iya, Pangeran. Tak pantas rasanya jika pangeran yang menunggu hamba. Seyogyanya hambalah yang harus menunggu, bahkan hingga fajar menyingsing-pun, hamba rela menunggu disini," basa basi Agra Putra dengan ekspresi datarnya.
“Cih," dengus Airlangga seraya berjalan ke tepian sungai. Kedua tangan menyatu di belakang tubuhnya. Tubuh Agra Putra berputar mengikuti langkah kaki Airlangga.
Keadaan hening untuk sesaat. Airlangga terdiam memejamkan kedua matanya. Merasakan angin semilir menyapu wajahnya yang tampan. “Mahapatih kau pasti sudah paham maksudku memintamu menemuiku disini bukan?," tanya Airlangga, tanpa menatap Agra Putra.
“Iya Pangeran," Agra Putra menatap sisi wajah Airlangga, yang sedang menatap langit, yang tadi ditatapnya.
“Jadi kau tahu jika malam ini nyawamu adalah milikku," suara Airlangga terdengar penuh penekanan, tidak ada kesan bercanda di dalamnya. Dia menurunkan pandangan ke permukaan air sungai untuk melihat ekpresi Agra Putra.
Agra Putra mengerjapkan mata, mencerna perkataan Airlangga barusan. Raut wajahnya terlihat sedikit terkejut, seperti tidak menyangka akan mendengar ancaman itu dari mulut Airlangga. “Aku tidak paham maksud pangeran," sahut Agra Putra.
Airlangga melemparkan tatapan dingin pada Agra Putra. “Tadi kau bilang paham," ujarnya.
“Aku pikir pangeran ingin mendiskusikan sesuatu denganku," jawab Agra Putra dengan ekpresi kembali datar.
Airlangga kembali menatap permukaan air sungai yang tenang. “Kau harus mati mahapatih," Airlangga memperjelas ucapannya dengan penekanan lebih dalam pada suaranya.
Agra Putra melangkah mensejajarkan tubuhnya dengan Airlangga ditepian sungai. Untuk melihat ekspresi Airlangga melalui pantulan bayangan di permukaan air. Ekpresinya terlihat serius, tidak main-main dengan perkataannya. Airlangga benar-benar ingin menghabisi nyawanya. Agra Putra menarik napas dalam-dalam, sebelum berbicara.
“Pangeran jika kesalahan hamba bisa dimaafkan dengan nyawa. Maka hamba rela meregang nyawa ditanganmu. Akan tetapi malam ini hamba sepertinya tidak layak mati di tanganmu, karena hamba tidak melakukan kesalahan," jawab Agra Putra tenang seperti biasanya.
Bagi Airlangga melihat ekspresi Agra Putra setenang ini sudah tak asing lagi. Agra Putra memang pandai menjaga emosi. Kepandaiannya itu kerap kali menyulitkan orang untuk mengambil tindakan, karena tidak bisa menebak suasana hati ataupun pikirannya.
Airlangga mengepalkan kedua tangannya. Merasa geram mendengar jawaban Agra Putra. “Bukankah dia seharusnya sadar, alasan aku ingin membunuhnya," gumam hati Airlangga.
Airlangga melirik sisi samping wajah Agra Putra. “Berani sekali kau berkata seperti itu. Padahal kesalahan besar telah kau perbuat," sengit Airlangga.
Agra Putra menoleh ke arah Airlangga. “Sungguh apa yang hamba katakan adalah kebenaran pangeran. Hamba adalah abdi setiamu. Hamba tidak melakukan kesalahan seperti yang pangeran pikirkan," Agra Putra membela diri, berharap bisa mengurungkan niat Airlangga untuk membunuhnya.
Mereka saling pandang untuk sesaat. Namun niat Airlangga sepertinya sudah bulat. Emosinya sudah tak bisa dibendung lagi. Dia benar-benar murka dan menginginkan nyawa mahapatihnya itu. Dengan sorot mata penuh amarah, Airlangga mengeluarkan keris dan melempar sarungnya sembarangan.
Agra Putra yang merasa terancam mundur beberapa langkah dengan kaku, karena kain bebedan atau kain samping yang ia kenakan. Kain yang wajib dikenakan semua orang tanpa pengecualian di area kedaton ini. Bahkan untuk seorang pangeran sekalipun. Oleh karenanya, malam itu tidak hanya Agra Putra, Airlangga-pun tampak kesulitan untuk melakukan pergerakan.
Keduanya tampak kikuk melangkahkan kaki. Pergerakan mereka terlihat terbatas, sangat tidak leluasa. Namun berhubung amarah Airlangga telah membuncah, ingin segera menghabisi Agra Putra. Dia tetap memaksakan diri terus mengejar Agra Putra.
“Tung....tung....tunggu pangeran," Agra Putra melambaikan tangan kanan pada Airlangga, supaya dia berhenti mengejarnya. Sedangkan tangan kirinya menarik kain bebedan dilutut, untuk memberikan ruang agar kakinya bisa melangkah. Sekuat tenaga dia terus menghindari Airlangga.
Airlangga tidak memedulikan tingkah Agra Putra. Dia terus berlari seperti orang kerasukan sambil mengacung-ngacungkan kerisnya. Untuk beberapa saat, dua orang yang katanya pintar itu berlari-lari kecil dan melompat-lompat seperti pocong. Untuk menghindari bebatuan atau ranting pohon yang melintang di atas tanah.
Adakalanya memang, orang pintarpun akan menjadi bodoh jika sudah terbawa emosi. Hal yang sebenarnya bisa dilakukan dengan cepat akan menjadi lamban. Hal yang sebenarnya bisa dilakukan dengan mudah akan menjadi sulit. Dan malam itu mereka bertingkah seperti orang bodoh.
Seandainya saja ada orang melihat mereka berdua malam itu, pastinya bukanlah melerai perkelahian. Mereka malah menertawakan perilaku dua pemuda dewasa yang bertingkah seperti bocah. Orang-orang pasti akan meragukan kecerdasan dua pria tampan yang konon termasyur hingga kepenjuru negeri ini.
Beruntung salah satu diantara mereka, akhirnya ada yang berpikir jernih. Agra Putra menyadari kain bebedan yang mereka kenakan sangatlah menganggu. “Bagaimana kalau kita lepaskan dulu kain ini pangeran. Nanti kita lanjutkan kejar-kejaran kita," teriak Agra Putra tanpa menoleh kebelakang.
Seketika Airlangga menghentikan langkah kaki dan menjitak keningnya sendiri. “Benar, kain sialan ini sangat menganggu, kenapa aku tidak menyadarinya," gumam Airlangga dalam hati.
Tak menunggu lama, Airlangga langsung merobek kain dengan sekuat tenaga, hingga terbelah dua dan menyisakan celana panjang berwarna hitam. Setelah terbebas dari kain bebedan itu. Airlangga menatap punggung Agra Putra sebentar. Dia melemparkan seulas senyum culas. Sebelum kembali mengejar Agra Putra, yang belum sadar kalau orang yang mengejarnya telah bergerak leluasa.
“Kemari kau pengecut," teriak Airlangga, seraya melompat tepat keatas Agra Putra. Sambil menghunuskan kerisnya
“Hiiiiat”
Agra Putra menoleh ke belakang. Matanya membulat melihat Airlangga sedang mengayunkan keris tepat kearahnya. Kendatipun dalam keadaan terdesak, Agra Putra masih sempat mengeluarkan keris dengan cepat, serta menangkis keris yang dilayangkan kepadanya.
“Tring," keris beradu menyerupai huruf x di depan dada mereka. Kedua mata mereka bersitatap. Rahang mereka mengeras. Wajah tampan kedua pemuda tinggal berjarak beberapa cm saja. Sampai-sampai hembusan napas dapat mereka rasakan satu sama lain.
“Apa yang.... kau lakukan.... pangeran?," suara Agra Putra terbata menahan serangan Airlangga.
“Aku.... akan.... membunuhmu," tak jauh berbeda suara Airlangga-pun terbata menahan hadangan Agra Putra.
Urat di kening Agra Putra menonjol. “Apa karena per....jodohan ini?," tanya Agra Putra.
Mata Airlangga melotot, “Jika aku harus menikah. Setidaknya kau harus mati Baaang.......sat," Airlangga mendorong Agra Putra sambil mengibaskan kerisnya.
Agra Putra mundur beberapa langkah sambil meringis manahan sakit. Keris Airlangga berhasil menyayat tangan kanannya. Darah segar mengalir ke ruas-ruas jarinya. Agra Putra meringis dan memengangi tangannya yang terluka. “Dengarkan saranku pangeran, setelah itu kau bisa membunuhku," ujar Agra Putra dengan napas terengah-engah menahan nyeri.
Airlangga menyeringai. “Aku tak butuh," sengit Airlangga sambil mengambil ancang-ancang untuk menyerang kembali.
Agra Putra menyadari dirinya terancam sekarang. Dia mundur beberapa langkah memberi sedikit waktu, untuk melepaskan kain bebedan yang masih menempel di tubuhnya. Dengan sekuat tenaga, dia merobek kain, hingga menyisakan celana hitam selututnya. Setelah terbebas dari belenggu, dengan cepat dia membentuk kuda-kuda kaki untuk menghadang serangan Airlangga.
Airlangga berlari mengayunkan keris bergelombang ke arahnya. “Hiiaaat,,,tring," keris mereka beradu kembali. Agra Putra menahannya sebentar, kemudian dengan sekuat tenaga mendorong Airlangga, hingga mundur beberapa langkah.
Airlangga mengertakan giginya, sebelum menyerang Agra Putra kembali. Kali ini Airlangga menghujamkan keris tepat ke perut Agra Putra. Namun Agra Putra berhasil menghindar dengan memutar tubuh, sambil menyikut punggung Airlangga. Membuat tubuhnya terdorong kedepan. Saat Airlangga lengah, Agra Putra yang gantian menyerang mengarahkan keris tepat ke arah leher Airlangga.
“Hiiiat,"
Secepat kilat Airlangga membalikkan badan. Matanya membulat melihat Agra Putra menyerang tepat ke lehernya. Airlangga menunduk, kemudian menyeluduk perut Agra Putra, dan melemparkan tubuhnya ke tanah. Saat Agra Putra sedang berusaha bangkit. Airlangga melihat kesempatan bagus, bak burung elang yang siap menerkam mangsanya dari langit. Dia melompat dengan keris mengarah tepat ke jantung Agra Putra.
“Hiiiat."
“Tap."
Agra Putra membaca gerakan Airlangga. Dia menahan tubuh Airlangga dengan kedua kakinya. Lantas ditendangnya tubuh Airlangga, hingga jatuh terlentang menghadap langit. Keduanya tertatih berusaha bangkit, lantas menyiapkan jurus andalan mereka. Keduanya berputar-putar terlebih dahulu, tidak langsung menyerang. Mereka mencari strategi dan kelemahan lawan. Airlangga yang pertama menyerang.
“Hiiiat....Tring," Kedua keris beradu di depan dada. Mereka saling serang dan bertahan saat itu.