Fajar mengeliat, mentari merayap menapaki langit di ufuk timur. Cahaya hangat menyapa alam dan membangunkan seluruh jiwa yang terlelap. Pagi itu, hangatnya sinar mentari merangkul Airlangga di atas kuda putih yang sedang ditungganginya. Dia memutuskan pergi meninggalkan kerajaan, untuk menghentikan gagasan Agra Putra. Dia akan mematahkan apa yang diinginkan mahapatihnya. Dia jamin tak akan ada pernikahan antara dirinya dan putri Kinanti dari kerajaan Taraka.
Airlangga menunggangi kuda kesayangannya begitu kencang seperti kesetanan. Dia berlomba mengejar waktu, mengingat titah raja pasti sudah dikirim oleh Agra Putra ke kerajaan Taraka. Dia harus cepat dan tiba lebih dulu disana. Supaya pernikahan bisa dihentikan.
Airlangga menerobos siang dan malam, panas dan dingin. Tak ingin membuang-buang waktu. Namun sesekali dia menghentikan perjalanan melihat kuda kesayangannya kelelahan. Dia membiarkan kudanya istirahat sejenak. Lalu kembali menerjang terik matahari dan pekatnya malam untuk memangkas jarak dan waktu.
Dia menerobos jalan setapak masuk ke dalam hutan pinus. Kuda dan jubah putih yang dia kenakan saat itu, membuatnya begitu kontras dengan latar hutan pinus yang berwarna hijau. Keduanya tampak bercahaya ditengah suasana hutan yang lembab. Kicauan burung di ujung ranting pohon yang menjulang, riuh berterbangan kesana kemari. Seolah sedang menyambut kedatangannya. Airlangga menengadahkan kepala mencari sosok kecil yang sedang bernyanyi untuknya. Namun minimnya cahaya matahari yang masuk ke dalam hutan, membuat hutan tampak remang berselimutkan kabut tipis. Makhluk-makhluk kecil itu tidak terlihat olehnya.
Kabut tipis membuat jarak pandang ke arah depan terbatas. Beruntung keadaan buram hutan tak menghentikan langkah Jaka si kuda putih. Jaka terus berlari membelah kabut dingin yang mengelus-ngelus tubuh Airlangga. Di atas kuda Airlangga merapatkan jubah tebal untuk menghangatkan dirinya.
Di pertengahan hutan, keadaan mulai terasa hening, berubah menjadi senyap. Hanya terdengar suara hentakan kaki Jaka yang mengema ke seluruh hutan. Keadaan mulai terasa mencekam. Namun tiba-tiba Airlangga mendengar ada suara tapak kuda lain yang menggema melalui celah-celah pepohonan. Seolah berlari tak jauh dibelakangnya. Airlangga sempat menyelidik melihat ke arah belakang. Namun kabut putih itu benar-benar menghalangi padangannya. Dia tak mau ambil pusing. Pokoknya dia harus segera keluar dari hutan, mengingat sangat jarang sekali orang melalui hutam pinus ini.
Seiring matahari mulai merayap naik ke angkasa, sinar keemasan menelusup melalui celah-celah dedaunan. Kabut putih semakin menipis, membuka jalan semakin terang. Tak lama ujung hutan, di ujung pandang mulai menampakan diri. Jaka meringkik seolah merasa lega akan keluar dari hutan yang mengerikan.
Dan akhirnya Airlangga dan Jaka keluar dari hutan pinus. Sekujur tubuhnya tampak seperti berasap. Karena sisa-sisa embun yang melekat di jubah Airlangga menguap terpapar cahaya matahari. Latar belakangan berubah. Airlangga sekarang melewati daerah perbukitan. Dimana di kanan dan kiri jalan tampak persawahan hijau yang berundak-undak. Di pertengahan jalan Airlangga menarik tali untuk menghentikan kudanya. Dia berhenti bukan untuk menikmati keindahan alam. Dia hanya ingin memastikan, benarkah ada yang mengikutinya tadi. Dia hanya ingin tahu, apakah dia seorang pengelana, pemburu atau mungkin dedemit penunggu hutan pinus itu.
Diatas kuda Airlangga menunggu sambil menengadahkan kepala. Telapak tangan menghalau sinar mentari yang menyilaukan matanya. Setelah beberapa lama menunggu, dan tak melihat orang atau demit keluar dari hutan pinus tersebut. Airlangga kembali meneruskan perjalanan, tak ingin membuang-buang waktu.
Kali ini Airlangga melewati pedesaan dan pasar yang cukup ramai. Dia melesat bagai kilat membelah keramaian, tanpa memedulikan orang-orang yang merasa terganggu olehnya. Sampai-sampai sumpah serapah keluar dari mulut beberapa orang, yang hampir keserempet kuda putihnya. Airlangga tidak memperlambat laju kuda, karena dia berpikir tak ada seorangpun yang tahu, siapa dan apa tujuan pria, yang menungangi kuda seperti orang kerasukan ini. Dia hanya perlu fokus untuk secepatnya tiba di kerajaan Taraka.
Dan petang itu, Airlangga akhirnya tiba di gerbang ibukota kerajaan Taraka. Dia turun dari kuda lalu menuntunnya. Matanya terbelalak melihat tata kota kerajaan yang begitu rapi dan teratur. Di beberapa bagian terlihat taman-taman kecil yang dijadikan persinggahan para pengelana sepertinya. Airlangga berjalan kearah salah satu taman yang tak jauh dari jangkauannya.
Beberapa orang berbisik-bisik menyadari kehadiran Airlangga. Takjub adalah definisi sorot mata orang yang melihat ketampanan dan tubuh tegapnya. Awalnya Airlangga merasa risi dan terganggu dengan reaksi-reaksi seperti itu. Lantas menanggapinya dengan sikap dingin dan acuh. Namun setelah berjalannya waktu, dia mulai belajar untuk menanggapinya dengan sikap tenang.
Seperti sore itu, Airlangga yang terkenal kikir tersenyum. Justru terus menunjukkan garis tawa kepada bapak-bapak penjual minuman hangat, ibu-ibu penjual jagung rebus dan beberapa gadis yang sedang bercengkrama. Dia fikir tidak ada yang mengenal siapa dirinya disini. Jadi tak ada salahnya menjadi diri sendiri, yang sejatinya terlahir sebagai orang yang ramah dan mudah tersenyum.
Airlangga sebenarnya sempat ragu, menyematkan senyum gamang pada gadis-gadis itu, karena takut melihat ekpresi yang biasanya akan muncul setelahnya. Satu dua tiga duaaarrrr. Dan benar, apa yang dia takutkan terjadi. Gadis-gadis itu menunjukkan berbagai reaksi yang tidak asing lagi baginya. Gejala kerasukan pesona Airlangga mulai menjangkiti mereka satu demi satu. Pertama, mata mereka molotot dengan bola mata hampir menggelinding keluar dari lubangnya. Kedua, mulut mereka mengangga dengan rahang yang nyaris menyentuh inti bumi. Ketiga, mereka akan menjerit-jerit tanpa suara, sambil meremas tangan teman disampingnya. Keempat, yang terparah mereka akan kejang-kejang seperti kerasukan. Setiap kali gejala itu muncul, Airlangga hanya bisa menggelengkan kepala, dan meninggalkan mereka yang sedang dimabuk kepayang itu.
Airlangga menghela napas, lalu mengikatkan tali kudanya pada sebuah pohon. Dia berjalan menuju sebuah kursi panjang yang tak jauh dari situ. Sebelum duduk, Airlangga mengangguk kecil pada seorang pemuda yang sudah duduk lebih dulu. Dia mengulet, meregangkan pinggangnya yang terasa pegal setelah berkuda cukup lama.
“Sepertinya tuan baru saja tiba disini?," tanya pemuda disamping Airlangga. membuka perbicangan sore itu.
Airlangga melirik pemuda manis dengan tampilan seperti seorang bangsawan. “Benar tuan, saya baru saja tiba. Bagaimana dengan tuan sendiri?," Airlangga balik bertanya.
Dia tersenyum pada Airlangga. “Saya tinggal tak jauh dari sini. Sepertinya tuan berasal dari tempat jauh?," tanya pemuda yang mempunyai lesung pipit di kedua pipinya.
“Benar. Kebetulan ada sedikit urusan disini," sahut Airlangga, sambil mengamati orang yang sedang bercengkrama dengannya. Airlangga jarang sekali bisa ngobrol santai dengan orang asing diluar kedaton. Ternyata ada satu perasaan baru yang tidak pernah dia bayangkan. Seolah menemukan kepingan-kepingan yang tidak dia dapatkan di dalam kedaton. Maklumlah selama ini ruang lingkup Airlangga sangat dibatasi. Hanya orang-orang yang berkepentingan saja yang bisa menemuinya.
Walaupun pembicaraan sore itu terasa menyenangkan, tetap saja ada sikap waspada yang selalu dia tunjukan, menyadari dirinya bukan orang sembarangan.
“Seperti itu rupanya," pemuda itu mengangguk, kemudian menikmati pemandangan kembali. Dari gelagatnya, dia menyadari kehati-hatian Airlangga dalam berucap. Jadi dia tidak mau banyak bertanya.
Keadaan sempat hening sesaat, sebelum Airlangga membuka pembicaraan kembali. “Apakah tuan pernah melihat putri Kinanti yang tersohor akan kecantikannya itu?,” tanya Airlangga .
Pria yang sedang duduk menyandarkan tubuhnya di kursi. Tiba-tiba terlihat antusias dan ceria. Airlangga bahkan sempat sedikit terkejut melihat tingkahnya. Pria itu melipat kaki, bersila dan menegakkan punggungnya. Kedua matanya terlihat berbinar-binar seperti akan menceritakan kisah yang menakjubkan.
“Saya pernah melihatnya beberapa kali tuan di taman belakang kedaton. Putri Kinanti benar-benar seperti bidadari. (ujarnya seraya menunjuk senja sore itu. Seolah sedang membandingkan senja dan sang putri yang sama-sama cantik). Dia itu sangat cantik, pintar bermain pedang, menari dan senyumnya itu tuan. Pelangi-pun akan malu jika disandingkan dengannya," terangnya dengan ekspresi penuh pesona.
Airlangga mengangguk. “Benarkah?, saya jadi penasaran. Dimana letak taman tersebut tuan," tanya Airlangga dengan raut wajah antusia sama dengan pemuda itu.
“Tuan tinggal lurus saja kearah alun-alun. Nah kedaton ada di sebelah kanan. Kalau sedang beruntung tuan bisa melihatnya," ujar pemuda itu sambil mengarahkan jalan dengan tangannya.
“Oh," Airlangga membentuk mulutnya seperti huruf O.
“Apakah tuan ingin menemui putri Kinanti?," pemuda itu mendekatkan wajahnya pada Airlangga. Membuat Airlangga memundurkan sedikit tubuhnya. Airlangga membalasnya hanya dengan tersenyum. Lalu beranjak dari tempat duduknya.
“Tidak, saya ada urusan lain. Semoga saja suatu hari nanti saya beruntung bisa melihatnya. Baiklah saya pami. Terima kasih," Airlangga menundukkan kepala sebelum melangkah pergi.
“Sama-sama tuan, semoga beruntung bisa melihat putri Kinanti," ujar pemuda itu sambil tersenyum ramah. Namun ekpresinya berubah drastis setelah Airlangga meninggalkannya. Pemuda itu menatap tajam penuh curiga pada Airlangga.
@@@@