Batu melompat-lompat di permukaan air telaga. Lalu tenggelam ke dasarnya. Tiga batu telah Airlangga lemparkan. Tiga batu kecil lain berputar dalam genggaman tangannya, menunggu giliran untuk dilemparkan ke telaga.
Berputar-putar pula berbagai pemikiran dalam benaknya. Satu perkara tentang tujuannya membunuh Putri Kinanti. Ternyata berakhir dengan kegagalan. Dia terus berpikir keras mencari jalan lain. Karena jika dia tidak menemukan sebuah cara. Maka pupus sudah harapannya. Itu berarti dia harus siap menerima perjodohan ini.
Dan satu perkara lain adalah tentang siapa orang yang melesatkan anak panah kehadapannya kemarin. Dia yakin betul saat meninggalkan kerajaan. Tak ada satu orang-pun yang mengetahui kepergiannya. Tapi sebentar, ada satu orang yang sangat dia curigai. Walaupun itu belum pasti.
Airlangga menghela napas panjang, kemudian melemparkan satu batu ke tengah telaga, sebagai upaya melepas kekesalannya. Airlangga tak mengerti alasan pasti. Kenapa dirinya tidak bisa melepaskan anak panah, maupun meniup sumpit ke tubuh Putri Kinanti. “Apa yang salah pada diriku?," tanya Airlangga pada dirinya sendiri.
Saat itu, detak jantung Putri Kinanti seharusnya telah terhenti. Tubuhnya terbujur kaku ditinggalkan rohnya. Namun apa yang terjadi sekarang, Airlangga malah duduk di tepian telaga sambil melemparkan batu. Seperti seorang pecundang. Dia benar-benar malu pada dirinya sendiri, yang dikatakannya sebagai kesatria. Nyata telah dipengecuti oleh seorang wanita. Sungguh memalukan mengingat detik, dimana dia harus kehilangan kesempatan, karena tiba-tiba perasaan aneh muncul dalam dadanya. Perasaan yang membuatnya gusar, antara kekaguman, keraguan, atau mungkin ini suatu pembuktian bahwa hatinya tak sekuat yang dia kira selama ini.
Dalam keheningan malam, Airlangga memutar otak mencari cara lain untuk membunuhnya. Ada dua pilihan. Dia masuk ke dalam kedaton untuk menancapkan belati ke jantungnya, atau menunggu kesempatan lain seperti tadi. Namun setelah dipikirkan kembali, pilihan pertama rasanya terlalu berisiko. Bagaimana jika dia sampai tertangkap. Dia pasti akan dijadikan sandera atau mungkin langsung dihukum gantung.
Lantas jika menunggu kesempatan seperti tadi. Dia harus menunggu berapa lama. Apakah masih ada waktu, mengingat titah raja yang diembankan pada mahapatih pasti sedang dalam perjalanan kemari. Pembunuhan harus secepatnya dilakukan, entah malam ini atau esok hari. Pokoknya jangan ditunda lagi. Airlangga benar-benar takut jika pinangannya benar-benar diterima oleh kerajaan Taraka. Maka saat itu dia tak bisa berbuat banyak. Dia harus benar-benar menyerah dan mengikuti gagasan mahapatihnya.
Airlangga benar-benar frustasi. Saking kesalnya, Dia bangkit dari duduk. Lantas berlari beberapa langkah untuk melemparkan satu batu ke tengah telaga dengan sekuat tenaga, sebagai pelampiasan kemarahannya.
“Arrrrrghhh mahapatih kampret," teriak Airlangga.
Airlangga berkacak pinggang sambil memejamkan mata. Dadanya naik turun mengatur napas yang terasa berat. Dia sangat berharap dalam keadaan terdesak seperti ini. Satu cara jitu tiba-tiba melintas di otaknya. Namun tak disangka, yang muncul malah sekilas wajah seseorang, yang membuatnya semakin frustasi bukan kepalang. Airlangga membuka kedua mata. Tangannya mengepal, kemudian mengambil ancang-ancang untuk melemparkan batu terakhir di tangannya.
Detik saat Airlangga akan mengayunkan lengan. Dia dikejutkan oleh dua orang yang berdiri di tepian telaga, diseberang sana. Airlangga mundur beberapa langkah dari tepian telaga, seraya melemparkan batu terakhirnya ke sembarang arah. Airlangga membenamkan tubuhnya di balik sebuah pohon besar. Sebagian wajahnya tersinari rembulan dan sisi lain tenggelam dalam kegelapan bayangan.
Airlangga memfokuskan indra penglihatannya dalam kegelapan. Dia menatap tajam wajah orang yang sedari tadi terus berputar-putar dibenaknya. Kini orang itu benar-benar berdiri bersama seorang pemuda, yang wajahnya tak asing juga bagi Airlangga. Tak salah lagi itu adalah Putri Kinanti dan pemuda yang dia temui di taman. Pemuda yang menunjukkan keberadaan putri Kinanti.
Dahi Airlangga berkerut membentuk garis-garis dalam. Mengamati keduanya dari kejauhan. “Siapakah laki-laki itu sebenarnya?. Dan apa hubungan keduanya?," gumam Airlangga.
Airlangga mengawasi setiap gerak-gerik mereka dengan seksama. Bisa jadi ini adalah sebuah kesempatan yang ditakdirkan dewa, untuk membunuh sang putri dan pemuda itu. Jika dia menghalangi jalannya.
Airlangga melihat dua insan itu kini larut dalam sebuah perbincangan yang dalam. Raut wajah keduanya begitu serius, terutama wajah sang pemuda. Wajah riang dan penuh antusias yang Airlangga lihat di taman. Malam itu tak tampak, justru terlihat sendu memandangi Putri Kinanti. Sebaliknya raut wajah Putri Kinanti malah terlihat ceria. Air wajahnya tampak bahagia dengan mata berbinar-binar, seakan mendengar kabar baik atau mengembirakan.
Putri Kinanti memutar tubuh, menghadapkan diri pada pemuda itu. Dan buru-buru sang pemuda menahan emosinya dalam-dalam. Dia sengaja menyembunyikan perasaaannya. Karena tidak mau memperlihatkan kelemahannya di hadapan Putri Kinanti. Pemuda itu melangkah, kemudian mengecup kening sang putri lama. Terakhir memeluknya sangat erat.
Mata Airlangga menyipit penuh curiga. Mempertanyakan hubungan diantara keduanya, karena sangat jelas sorot mata pemuda itu menyimpan perasaan mendalam terhadap putri Kinanti. “Cinta terlarangkah?," gumam Airlangga, sambil menyeringaikan bibirnya.
Dibalik pohon Airlangga mengepalkan tangan. Kesal pada dirinya sendiri, mengapa dia tidak membawa senjata jarak jauhnya. Dia justru hanya membawa pedang panjangnya saat itu. Setelah diingat-ingat, senjata busurnya patah menjadi dua dan senjata sumpitnya malah tertinggal di pohon tadi pagi. Dan untuk membunuh putri Kinanti sangatlah mustahil dari posisinya sekarang. Hanya ada satu cara untuk membunuhnya. Dia akan mendekati keduanya diam-diam. Tak lama wajah Airlangga menghilang bak ditelah bayangan pohon
@@@@
Airlangga menghunuskan pedang tajam ke leher pemuda yang sedang berdiri di tepian telaga. Anehnya pemuda itu tampak santai, seperti sedang menunggu dirinya. Yang terkejut justru Airlangga sendiri, karena tidak menemukan Putri Kinanti di samping pemuda itu. Sang putri pasti pergi, disaat Airlangga mendendap-endap di balik pepohonan tadi.
Airlangga menatap serius pemuda itu. “Siapa kau sebenarnya?," tanya Airlangga dengan suara rendah.
Pemuda itu tersenyum tipis. “Bukankah saya yang seharusnya bertanya pangeran Airlangga," ujar pemuda itu santai.
Mata Airlangga terbelalak, mendengar pemuda itu mengetahui jati dirinya. “Siapa kau?, Dan sejak kapan kau mengetahuinya?," Airlangga menempelkan pedang pada dagu pemuda itu. Membuat wajahnya sedikit mendongkak. Namun dia masih terdiam tidak menjawab.
“Jawab pertanyaanku," sengit Airlangga sambil mengiris tipis leher pemuda itu.
Pemuda itu menghela napas panjang. “Hamba Yoga Ambasana, seorang panglima prajurit kerajaan Taraka ini," jawab Yoga tenang.
Sedari awal Airlangga sudah curiga pada pemuda ini. Fostur tubuh tinggi dan tegapnya, tidak mungkin dimiliki seorang rakyat jelata. Dan benar dugaannya, pemuda itu ternyata seorang prajurit. Jujur saja wajahnya-lah yang membuat kecurigaannya pudar waktu itu. Terhipnotis oleh lesung pipit dan tahi lalat di atas bibirnya. Mana ada seorang panglima berwajah manis seperti dirinya. Selain itu, wajah konyolnya sore itu berhasil mengalihkan kecurigaannya.
“Bagaimana kau bisa mengenaliku?," sengit Airlangga.
Yoga melirik Airlangga dengan sudut matanya. “Saya pernah beberapa kali menyambangi kerajaan Asoka," Yoga menjawab dengan suara tenang.
Airlangga memicingkan mata. “Jadi kau adalah mata-mata," tanya Airlangga.
“Maafkan hamba, bukan maksud saya bertindak lancang. Saya hanya ingin memastikan sesuatu dari pangeran. Jadi saya mesti menyambangi kerajaanmu," tuturnya.
“Apa maksudmu?," sengit Airlangga semakin tidak mengerti.
“Saya tidak memata-mataimu pangeran, hanya memastikan sesuatu saja," jawab Yoga dengan eskpresi datar.
“Memastikan?," suara Airlangga penuh penekanan.
“Memastikan siapa gerangan dirimu. Dan ternyata kau adalah seorang pangeran," tuturnya.
“Jadi maksudmu. Kau mengawasiku sebelum tahu siapa diriku sebenarnya?," Airlangga semakin bingung.