Airlangga memesan tuak di salah satu kedai di pinggiran kota. Kedai sederhana tapi selalu ramai di kunjungi orang yang ingin menghilangkan kepenatan hidupnya. Tuak selalu bisa diandalkan untuk melupakan masalah, yang merundung kita untuk sesaat.
Malam itu, Airlangga sengaja memilih meja di pojok dekat jendela, karena tidak ingin diganggu oleh siapapun. Dia hanya ingin menikmati tuak dan memikirkan banyak hal. Dia meletakkan pedang panjangnya diatas meja. Kemudian meneguk satu gelas tuak sampai habis. Wajahnya tampak kusut, sekusut pikirannya. Dia membuang pandang ke jendela menatap pesawahan yang gelap.
Ada satu hal yang membuatnya penasaran. Yoga bilang ada satu alasan yang akan Putri Kinanti jelaskan pada dirinya. Perihal mengapa dirinya percaya dan menerima pinangannya. Airlangga berpikir keras mencari alasan masuk akal. Tapi tak ada petunjuk sama sekali. Mengingat dia dan Putri Kinanti belum pernah bertemu sebelumnya. Sial Yoga tidak bisa diajak kompromi. Bahkan setelah dipaksa dengan pedangpun, dia tidak mau memberitahukannya.
Airlangga terhanyut dalam pemikiran yang dalam. Dia menekan pelipisnya yang terasa berdenyut. Sebelum dikejutkan oleh sentuhan seseorang. Airlangga terperanjat, lalu melirik orang disampingnya.
Ternyata seorang gadis sedang tersenyum lebar padanya. “Kakang mau saya temani?”, tanya gadis muda itu, sambil memijat otot-otot keras di lengan Airlangga. Spontan Airlangga menjauhkan diri dari gadis itu.
Airlangga mengkerutkan dahinya. “Apa yang kau lakukan disini?," tanya Airlangga.
“Ya dewa. Wajahmu sungguh tampan. Dan lihat kumis tipismu itu. Apakah kau seorang pangeran?," ujar gadis itu sambil menutup mulut dengan telapak tangannya. Gadis itu mendekatkan wajahnya pada Airlangga. Kedua matanya melotot seperti sedang memastikan apa yang dilihatnya.
“Hah A....aku seorang pengelana," jawab Airlangga polos.
“Oh begitu. Saya kira kakang malaikat. Hihiihiii," gadis itu tertawa. “Bolehkan saya temani kakang yang tampannya sejagat ini?," tanya gadis itu lagi sambil mendekap tangan Airlangga tiba-tiba. Spontan Airlangga mengibaskan tangannya dengan keras, hingga tubuh gadis itu terpelanting jatuh dari kursi.
Airlangga menatap tajam gadis itu. “Pergilah aku tidak mau diganggu," sengit Airlangga.
Gadis itu cemberut di atas tanah. “Kakang kejam," teriak gadis malang itu, kemudian berlari ke meja tempat teman-temannya bercengkrama.
Para gadis itu memicingkan mata dan komat-kamit melihat perlakuan kejam Airlangga. Namun detik para gadis melihat wajah Airlangga dari kejauhan. Tatapan sinis mereka berubah drastis seratus delapan puluh derajat. Gejala pesona Airlangga menyirep kelima gadis centil itu. Mereka berubah menjadi manya menye, manja berlomba mendapatkan perhatian Airlangga. Bahkan salah satu gadis terlihat kejang-kejang tak sadarkan diri.
Satu gadis melongo, mulutnya membentuk hurup O. “GGK ih kakang ini. Ganteng-ganteng kasar," tangannya membentuk cakaran harimau.
Satu gadis meremas pundak gadis lain, saking gemasnya melihat wajah tampan Airlangga. “Kumis tipismu itu seksi, suuuuuurfffffff. boleh saya kecup sekali saja kakang," gadis itu memonyongkan bibirnya.
“Dia sungguh tampan dan tubuhnya iiiiiihhh wooooow," satu gadis lain mengerlingkan mata pada Airlangga.
Airlangga menghela napas panjang, seraya menggelengkan kepala, melihat kelakuan gadis-gadis nakal itu. Airlangga meneguk tuak langsung dari kendi. Menatap kembali persawahan di samping kedai.
Baru saja dia menghardik seorang gadis. Tiba-tiba datang dua gadis lain yang menghampirinya. Satu orang duduk di depan mejanya dan satu lagi duduk disampingnya. Gadis di depannya melongo untuk sepersekian detik, terkesima melihat ketampanan Airlangga. Seolah-olah baru pertama kali melihat ketampanan pria diluar akal sehatnya. Bola matanya hampir keluar dari tempurung kepala gadis semok itu. Gadis itu menggunakan kain kemben ketat, membuat buah dadanya yang padat, hampir tidak bisa ditampungnya.
“Apakah tuan ini manusia?," gadis itu mengibas-ngibas tangan di depan wajahnya yang memerah, karena Airlangga terus saja menatapnya.
Gadis di samping Airlangga ikut menimpali. “Waaaaah benar dari samping saja kau sudah terlihat sempurna," Dia menggengam tangan si semok.
Airlangga meneguk tuak tak memberikan respon berarti pada kedua gadis yang sedang merayunya.
“Kakang aku bersedia menemanimu. Jarang sekali ada pria setampan dirimu disini. Ini pasti hari keberuntungan kita," goda gadis disamping Airlangga sambil tertawa renyah.
“Kakang kau diam saja," tanya gadis yang duduk di depannya. Dia mengerjap-ngerjapkan mata, sambil menopang dagu dengan tangannya.
Airlangga menatap tajam gadis di depannya. “Kalian berisik sekali," Airlangga menjawab dengan suara berat. Berharap kedua gadis itu akan takut. Namun reaksi yang mereka perlihatkan justru sebaliknya. Suara Airlangga seperti menghantarkan tegangan bervolt-volt ke tubuh para gadis centil ini, membuat bulu roma mereka berdiri.
“Astagaaaaa bahkan suaramu juga seksi sekali tuan uuuuuhhhhhhhh," gadis disamping Airlangga mulai memegangi lengan Airlangga.
Airlangga memejamkan mata dan menghela napas berat. “Pergilah sebelum kendi ini kulemparkan," ancam Airlangga.
“Uh seram," goda kedua gadis itu sambil terus cengangas cengenges.
Kedua gadis itu bukannya takut. Mereka malah terlihat seperti tertantang, mendapati respon dingin dari Airlangga. Gadis disamping Airlangga semakin berani meraba paha kanan Airlangga.
“Swiiiiiingg," kendi berisikan tuak melayang diudara hampir menyerempet wajah gadis yang duduk di depannya. Kedua gadis itu saling pandang. Tangan keduanya terlihat bergetar melihat kepalan tangan Airlangga. Tanpa berkata apapun lagi. Mereka pergi tunggang langgang.
Diikuti suara seseorang dari belakang tempat duduknya. “Kakang jaaaaahaaaaat," teriak seorang pria yang menirukan suara gadis. Suara itu berasal dari pria yang mengenakan jubah hitam dan memakai tudung kepalanya. Mereka duduk saling memunggungi.
Sedari awal Airlangga memasuki kedai. Dia sudah menyadari akan kehadiran sosok ini. Sosok yang sama persis dengan yang dilihatnya dari atas pohon. Ketika dia hendak membunuh Putri Kinanti. Pria itu berlari menjauhi taman pasca satu anak panah melesat ke arahnya. Orang inilah satu-satunya yang Airlangga curigai.
“Sejak kapan kau ada disini?,” tanya Airlangga santai.
“Kita selisih beberapa jam tiba digerbang kota," sahut pria itu, sambil membuka tudung kepala dan meneguk tuak dari kendi tanah liat.
Untuk beberapa saat keadaan hening. Mereka kembali menikmati tuak masing-masing. Kecurigaan Airlangga selama ini ternyata benar. Suara kaki kuda yang terdengar di hutan pinus adalah kaki kudanya. Dan dia pula yang melesatkan anak panah itu kearahnya.
Di sisi lain para gadis malah semakin menjadi-jadi. Ketika pria itu membuka tudung kepalanya. Mereka terdengar semakin riuh. Menjerit-jerit seperti orang kesurupan. Gadis-gadis centil itu sibuk memilih pria mana yang lebih tampan diantara Airlangga dan pria misterius itu.
“Pria berjenggot tipis lebih sexy,"
“kumis tipis itu aduh alah iyeeeh,"
“Aku pilih pria kasar.....arrrrgggh,"
“Pria misterius lebih keren,"
“Kakang yang GGK aja deh,"
“Pria bertudung tadi lebih menggoda aaahhh aaahhh."
Airlangga dan pria itu masih anteng, tidak terganggu dengan celotehan para gadis di sisi lain kedai. Sampai akhirnya pria misterius itu memulai pembicaraan.
“Bagaimana?, tetap dengan egomu atau berlapang dada mengikuti titah raja," tanyanya seraya mengunyah kue awug berbentuk kerucut. Kue berwarna putih, yang terbuat dari tepung beras dan gula merah.
Airlangga menyeringai. “Sepertinya aku harus membungkam mulut orang yang selalu ikut campur dengan urusanku," sengit Airlangga, seraya mengambil pedang panjang di atas mejanya. Dia berdiri dan memutar tubuhnya ke arah pria yang sedang memunggunginya. Tanpa aba-aba dan tanpa ragu, Airlangga menendang punggung pria misterius itu, hingga memuncratkan seluruh kue awug dari mulutnya.
Pria itu menyeka mulutnya dari sisa-sisa kue yang masih menempel. “Dasar tidak punya sopan santun. Dimana tatakramamu haaaaaaaaaah. Kau tidak bisa melihat orang sedang menyantap makanannya," pekik pria itu, mengeluarkan kekesalannya.
Dia terlihat geram melihat kue favoritenya berhamburan diatas meja. Dan segera mengambil pedang panjangnya.
Airlangga menatap Pria yang tak lain adalah Agra Putra, sang mahapatih. “Kita saling membelakangi bagaimana aku tahu kau sedang makan," ujar Airlangga menahan tawa.
Agra Putra menunjuk wajah Airlangga. “Kau harus kuajarkan lebih banyak lagi tentang tatakrama," gerutu Agra Putra, kemudian membuka pedang dari sarungnya.
“Lancang sekali kau berkata seperti itu padaku Agra," teriak Airlangga ikut membuka pedangnya.
Agra Putra yang maju lebih dulu karena kesal. “Kemari kau," teriak Agra Putra. “Hiiat, Prang,” kedua pedang beradu.