Agra Putra mengangkat satu jempol tangannya. “Kau memang yang terbaik pangeran," goda Agra Putra sambil nyengir kaya kuda.
“Diam, jika kau masih ingin bernapas," sungut Airlangga.
“Iya iya aku diam," Agra Putra memukul mulutnya sendiri.
Airlangga dengan berhati-hati memapah Agra Putra ke sebuah penginapan. Dia melirik pria lancang itu dengan sudut mata. Entah apa yang harus dia lakukan kepada mahapatih, sekaligus sahabatnya ini. Rasa kesal sebenarnya telah membuncah dihatinya. Akan tetapi ikatan diantara mereka terlalu kuat untuk saling menghabisi satu sama lain.
Agra Putra adalah teman bermain, berdiskusi bahkan berkelahinya sedari kecil. Perkelahian serius kerap terjadi diantara mereka, bahkan sampai berdarah-darah seperti belakang ini.
Airlangga dan Agra Putra tumbuh bersama di kerajaan Asoka ini. Sepanjang hari mereka habiskan waktu berdua, karena hanya Agra Putralah yang diperbolehkan bergaul dengannya. Ayahnya Gustira Satya yang seorang panglima perang saat itu. Membuat Agra Putra menjadi satu-satunya anak yang sepadan menjadi temannya.
Mereka telah terikat satu sama lain. Seperti dua magnet dengan dua kutub yang berbeda. Walaupun keduanya mempunyai watak yang berlainan. Mereka tetap tak bisa dipisahkan. Apapun yang menjadi halangan persahabatan mereka. Selalu dapat diselesaikan dengan cara mereka sendiri. Walau sebenarnya Agra Putra-lah yang lebih sering mengalah.
Tak ada yang mengerti Airlangga selain Agra Putra, pun sebaliknya. Apa yang diinginkan, ditakutkan dan disukai oleh Airlangga hanya Agra Putra yang mengetahuinya, pun sebaliknya. Untuk itulah ikatan mereka melebihi kentalnya darah persaudaraan.
@@@@
Saat mereka berusia lima tahun, Agra Putra pernah berjanji pada Airlangga.
“Pangeran, aku berjanji akan menemani dan menjagamu sampai detak jantungku berhenti. Sampai sorot mataku meredup dan tak bisa melihatmu lagi,"
Airlangga tidak menganggapnya serius. Dia berpikir itu hanyalah ocehan anak ingusan yang akan berlalu dan terlupakan waktu. Namun nyatanya tidak, Agra Putra selalu menepati janjinya itu. Dia rela berkorban untuk Airlangga, bahkan dengan nyawanya sendiri sekalipun.
Agra Putra tidak pernah main-main dalam ucapannya. Dia selalu membantu Airlangga dalam segala hal. Baik dalam mempelajari berbagai ilmu pemerintahan, ilmu bahasa, sastra, ilmu perang dan bela diri, maupun hal lainnya. Selain itu, Agra Putra acap kali mengorbankan dirinya menjadi tumbal, jika Airlangga melakukan kesalahaan. Agra Putra tidak pernah ragu menerima hukuman demi sahabatnya itu.
Beranjak dewasa mereka semakin tidak bisa dipisahkan. Dimana ada Airlangga disitu ada Agra Putra, pun sebaliknya. Banyak hal yang telah mereka lakukan bersama.
Seperti siang waktu itu, mereka berdua nekat kabur dari kedaton untuk mengikuti lomba karapan sapi di salah satu desa dekat kerajaan. Lomba yang biasanya dilaksanakan sebelum musim tanam padi. Tanah sengaja digemburkan dengan bantuan kerbau atau sapi-sapi besar. Perlombaan ini biasanya diadakan di pelataran sawah yang begitu luas.
Kedua pemuda itu memberanikan diri pergi tanpa memperdulikan akibat dari perbuatan mereka. Katanya kadung jatuh cinta dan bermimpi untuk menjadi salah satu jokinya. Untuk itulah mereka rela dihukum jika sampai ketahuan kabur, demi mengikuti perlombaan ini.
Siang itu, kedua pemuda tampan itu dipanggil untuk memasuki area lomba. Riuh rendah berubah menjadi gemuruh. Ketika penonton melihat dua pemuda berjalan membelah kerumunan. Para gadis berteriak-teriak bahkan ada yang sampai menjerit-jerit histeris. Panitia perlombaan tampak kesulitan mengatur para gadis, yang merangsek ke barisan terdepan. Guna melihat dua pemuda yang rupawan itu.
Sebelum perlombaan dimulai, panitia memperkenalkan mereka terlebih dahulu. Untuk sapi nomor dua belas akan di tunggangi oleh Tejo. Nama samaran untuk Airlangga. Airlangga berjalan perlahan membelah penonton di pinggiran sawah. Dia tersenyum dan mengangguk pada penonton. Sontak para gadis berteriak. Teriakannya begitu nyaring sampai memekakan telinga. Beberapa bapak-bapak sampai menutup telinga mendengar teriakan gadis di sampingnya. Airlangga berdiri dipijakan kaki tepat di belakang bokong sapi berwarna coklat.
Untuk sapi nomor tiga belas akan ditunggangi oleh Cokro. Nama samaran untuk Agra Putra. Tak jauh berbeda dengan Airlangga. Agra Putra-pun mendapatkan teriakan yang sama dari para gadis. Bahkan ada satu gadis yang bersiul cukup nyaring di satu sudut area lomba.
“Siiiiwiiiiiit," serentak seluruh mata menoleh ke sumber suara. Sang gadis tanpa rasa malu mengerlingkan satu mata dan melemparkan ciuman, ketika Agra Putra menatapnya. Agra Putra membalas hal serupa pada gadis itu. Sontak gadis itu kejang-kejang seperti cacing kepanasan. Kelakuan gadis genit itu berhasil membuat seluruh penonton tertawa terpingkal-pingkal.
Awalnya Airlangga sempat canggung dengan pengalaman barunya ini. Namun lama kelamaan pria tampan itu ikut tertawa dengan orang disekitarnya. Dia memegang perutnya yang terasa keram menahan tawa. Agra Putra melemparkan seulas senyum tipis melihat sahabatnya tertawa selepas itu. Agra Putra berharap untuk hari ini, sahabatnya itu bisa melepaskan beban berat dipundaknya, yang selalu menuntut dirinya bersikap sempurna sebagai seorang pangeran.
Kedua pemuda ganteng itu telah siap dalam posisi masing-masing. Wasit memberikan aba-aba. Mata keduanya menatap tajam kedepan. Dan detik bendera berwarna merah dikibarkan. Sapi-sapi itu berlari dengan kencang, membuat tubuh Airlangga tersentak dan hampir terjatuh. Beruntung dia berpegangan kuat pada kayu.
“Yuuuwoooo," teriak Airlangga sambil memecut bokong sapi agar berlari lebih kencang. Sapi-pun melesat dengan cepat. Diikuti dengan suara gemuruh dari kayu yang mereka pijak menggilas tanah sawah yang basah. Air sawah berwarna coklat bermuncratan kemana-mana. Menyiprati wajah dan tubuh keduanya, hingga basah kuyup dan terlihat lusuh.
Semakin mendekati garis finish. Keadaan jadi semakin memanas dan tegang. Baik kedua pemuda ataupun penonton merasakan ketegangan luar biasa. Kedua sapi berlari sama-sama kencang, tak ingin mengalah. Namun siang itu, sapi yang ditunggangi Agra Putra berlari lebih kencang di detik-detik terakhir, dan sampai lebih dulu di penghujung sawah.
Penonton terbelah dua menghindari seludukan sapi. Sementara itu, Agra Putra bersiap-siap jika pijakan kakinya menggilas pembatas sawah. Dan benar, saat sapi tiba diujung sawah. Pijakan kakinya melonjak cukup tinggi, hingga Agra Putra terjungkal di atas tanah. Tak berselang lama, Airlangga ikut terjungkal tepat di sampingnya.
Di atas tanah basah, kedua pemuda terdiam sejenak mengatur napas yang terengah-engah. Tak lama keduanya saling lirik dan mulai menertawakan wajah sembrawut satu sama lain.