Airlangga

Yeni fitriyani
Chapter #8

Jawaban Putri Kinanti

Kedua pemuda itu memutuskan pulang keesokan harinya. Airlangga memapah sahabatnya naik ke atas kuda dengan sangat hati-hati. Agra Putra terus mengembangkan senyum manis pada Airlangga. Padahal sedari tadi Airlangga tak henti-henti melayangkan pandangan dingin padanya. 

Siang itu beruntung matahari begitu bersahabat. Cahayanya tidak terlalu lantang. Terik sinarnya tidak terlalu menyilaukan mata karena awan menaungi perjalanan. Awan seolah bergerak lamban tepat di atas pucuk ubun-ubun kepala mereka.

Kali ini mereka mengambil jalan yang berbeda, dari jalan yang mereka lalui sewaktu datang ke kerajaan Taraka ini. Entah kenapa Agra Putra terus memaksa Airlangga melewati jalan yang selalu dihindari oleh kebanyakan orang. Airlangga yang sudah lelah berdebat malam itu, akhirnya mengiyakan saja daripada mendengar ocehan Agra Putra. 

Siang itu mereka berkuda membelah hutan yang lebat dan lembab. Yang menjadi batas timur kerajaan Taraka. Airlangga melirik Agra Putra diatas kuda yang berdampingan.“Kau tidak salahkan mengajakku melewati jalan ini?”, tanya Airlangga.

Agra Putra menyipitkan matanya. “Tidak, Kenapa kau berubah pikiran karena takut," goda Agra Putra

“Takut. ciiiiihhh seenaknya saja kalau bicara. Ya sudah kita lewat sana”, Airlangga menepuk leher kuda sambil menelan salivanya. Tak bisa dipungkiri raut wajahnya terlihat sangat ketakutan. Namun karena gengsi dia coba sembunyikan ketakutannya. Sementara itu, Agra Putra tersenyum tipis menertawakan sahabatnya yang melengos. 

Sebenarnya bukan hutan lebat ini yang ditakuti oleh Airlangga. Tapi suatu daerah dipenghujung hutan. Disana terdapat suatu tempat yang takkan pernah di lewati oleh orang-orang waras. Orang lebih baik mengambil jalan lain, walaupun jaraknya lebih jauh daripada harus melewati tempat ini. 

Ketakutan Airlangga semakin menjadi, ketika si Jaka meringkik tepat sebelum keluar dari hutan. Kuda-pun sepertinya bisa merasakan aura mistis yang tak kasat mata, sehingga enggan menginjakkan kakinya di daerah tersebut. 

“Sssttt, tenang Jaka," Airlangga mencoba menenangkan kudanya. 

Kuda Airlangga terhenti di perbatasan antara hutan dan padang pasir yang terlihat sangat kontras. Di satu sisi, hutan terlihat begitu hijau karena lebatnya pepohonan. Dan satu sisi lain, padang pasir luas yang terlihat sangat kering dan gersang. 

Sebenarnya jika dilihat sepintas, hutan yang lebat itu seharusnya lebih menyeramkan. Tapi saat berdiri lebih lama di perbatasan, kita akan merasakan bahwa padang pasir mempunyai hawa mistis yang sangat kuat. Bahkan ketika cahaya matahari bersinar menyinari padang, hawa dingin asing akan menyeruak di sekitarnya. Ditambah debu-debu yang berterbangan menambah kesuraman padang ini. 

Padang pasir ini dikenal dengan sebutan padang Seda atau padang kematian. Padang pasir tempat dimana peperangan besar kerap terjadi disini. Medan pertempuran antara tiga kerajaan besar yakni kerajaan Asoka, Taraka dan Maja. Tiga kerajaan yang sedari dulu selalu berselisih memperebutkan daerah-daerah perbatasan, untuk memperluas daerah kekuasaannya. 

Padang seda ini menjadi saksi bisu pertempuran-pertempuran besar telah terjadi. Juga saksi dimana kematian diciptakan oleh manusia itu sendiri. Kematian orang yang berjiwa kesatria membela sesuatu yang diyakininya. Orang-orang yang berkeyakinan dan cinta pada kerajaannya. Mereka bahkan rela mempertaruhkan nyawa demi harga diri seorang raja dan kerajaan.

Hanya dengan satu perintah dari raja. Orang-orang ini tanpa ragu akan menghabisi lawan secara sporadis membabi buta, kemudian mati. Raja akan bersorak bahagia ketika kemenangan dikumandangkan. Namun jika kekalahanlah yang dikumandangkan, tak ayalnya seorang raja berubah murka. Bahkan tega menghukum para panglima perang yang telah bertempur habis-habisan. Tak akan ada yang mengenang prajurit yang gugur dalam kekalahan. Bahkan gugur dalam kemenanganpun tetap saja menyisakan duka nestapa yang mendalam.

Tumpukan mayat bagai bukit kerap terlihat pasca peperangan hebat. Beberapa ada yang sengaja di bakar, sebagai penghormatan terakhir dari teman seperjuangan yang masih hidup. Karena mayat-mayat akan dibiarkan membusuk atau dimakan burung pemakan bangkai. Untuk itu burung-burung bangkai selalu terlihat terbang rendah berputar-putar di palataran padang yang maha luas ini. 

Hal lain yang membuat padang Seda ini semakin mencekam. Warna pasirnya kini telah berubah menjadi kemerahan. Mungkin karena terlalu seringnya terjadi pertempuran, membuat pasir bercampur dengan darah para pejuang yang gugur. Tengkorak-tengkorak yang terpendam akan bermunculan saat hujan menguyur padang, menambah kesan kengerian padang terkutuk ini. Bahkan angin yang berhembuspun seakan membawa suara jeritan kesakitan dari arwah yang terkunci disini. Arwah yang tak bisa menemukan jalan ke tempat peristirahatannya yang tenang. 

Beberapa kali Airlangga dan Agra Putra bertempur di padang Seda ini dan mampu memenangkannya. Bagi mereka memenangkan peperangan bukanlah segalanya. Rasa puas yang membuncah dalam dada hanya berlangsung sesaat, sampai suara terompet panjang selesai di kumandangkan. Perasaan puas itu akan menghilang ketika melihat tatapan-tatapan kosong para prajurit yang tumbang. 

Sorot mata yang tak memiliki kekuatan didalamnya, sorot mata yang tak lagi menggambarkan rasa, sorot mata yang kehilangan cahayanya. Tubuh mereka kaku dan bersimbah darah, sungguh pemandangan yang menyayat-nyayat hati. 

Setidak berhargakah jiwa seseorang itu. Dia bahkan rela tertancap panah tepat di jantungnya. Dia rela tersayat di sekejur tubuh. Dia rela pedang tajam menghujam dada. Tubuh mereka meronta menahan kesakitan, meringis menahan perih dan bersimbah darah demi sebuah titah raja. 

Airlangga dan Agra Putra-pun pernah merasakan kekalahan. Untuk pertama kalinya mereka mendapati kekalahan dari pangeran Wasa, dari kerajaan maja. Peperangan demi memperebutkan daerah perbatasan timur kerajaan Asoka. Pertempuran yang menyadarkan Airlangga bahwa kekalahan telah menanggalkan segalanya. Airlangga dan beberapa prajurit termasuk Agra Putra dipukul mundur tidak terhormat. Bagi Airlangga itu adalah kekalahan memalukan karena seharusnya pedang pangeran Wasa telah menancap di jantungnya. Namun dia membiarkan pedang hanya mengiris dalam tangan Airlangga. Kemudian membiarkannya pergi. 

“Kau mengajakku kesini untuk mengenang kekalahan kita?," tanya Airlangga.

“Kau ini terlalu sensitif memang hanya ada kekalahan saja di padang ini," jawab Agra Putra datar. 

“Kau tahu sendiri kekalahan kemarin membuatku frustasi memikirkannya," Airlangga melayangkan pandang dinginya kembali.

“Iya aku paham," ujar Agra Putra. “Oiya pangeran. Sebenarnya ada yang ingin kukatakan padamu," sorot matanya serius tidak seperti biasanya. 

“Katakan saja," Airlangga balas menatap serius mahapatihnya. 

“Sebelum aku mengutarakan gagasanku pada raja. Aku tahu kau pasti lebih memilih berperang dari pada perjodohan ini. Aku sebagai mahapatih dan juga sahabatmu, rela menjadi tameng dan juga pedang untukmu. Jika memang peperangan adalah jalan yang terbaik. Tapi hatiku melemah ketika menatap mata para prajurit dan rakyat kita. Aku tak ingin melihat ada jeritan tangis wanita yang menjadi janda atau anak yang menjadi yatim. Jadi aku berpikir kembali. Kau ingat dampak kekalahan kita dari pangeran Wasa. Luka sayatan ditangamu saja sangat sulit kau lupakan. Padahal luka itu telah sembuh seutuhnya. Lalu bagaimana dengan keluarga yang ditinggalkan kerabatnya yang gugur di medan perang. Luka hatinya tak akan bisa diobati oleh apapun. Atas pertimbangan itulah akhirnya aku mengatakan gagasanku pada raja. Supaya peperangan bisa dihentikan," tutur Agra Putra. 

Keadaan hening untuk sesaat. Airlangga terdiam hanya memandang sahabatnya itu. 

“Apa kau masih marah padaku?," tanya Agra Putra.

“Entahlah. Aku masih bingung, harus kuapakan dirimu ini," ujar Airlangga.

Agra Putra mengerucutkan bibirnya. 

“Agra, Sebenarnya di kerajaan Taraka, aku bertemu dengan Yoga, orang kepercayaan putri Kinanti. Dia berkata, putri Kinanti telah lama menunggu dan percaya padaku untuk menyatukan dua kerajaan. Aku benar-benar tidak mengerti. Bagaimana dia bisa menunggu dan percaya. Padahal kita belum pernah bertemu sama sekali. Dan apa istimewa diriku ini, membuat semua orang begitu berharap," ujar Airlangga polos.

“Oh Yoga," jawab Agra Putra datar.

Airlangga menatap Agra Putra. “Kau mengetahuinya?," tanya Airlangga.

“Mungkin terdengar aneh. Aku tahu dia terus mengawasimu sedari dulu," sahut Agra Putra.

Airlangga menunjuk wajah Agra Putra. “Dan kau tidak memberitahuku," ujar Airlangga.

“Awalnya aku berniat akan membunuhnya, tanpa memberitahumu. Tapi saat aku mengawasinya dari kejauhan. Dia justru beberapa kali menolongmu saat kau dalam bahaya. Aku awalnya terkejut. Tapi setelah aku amati, dia terus melindungimu secara diam-diam. Kau ingat saat kita mengunjungi pasar. Disana tiba-tiba ada orang mabuk yang menabrakmu. Dia adalah Yoga yang sengaja menghadang orang yang akan menusukmu dari belakang. Kemudian, saat kita pergi memancing. Dikegelapan, dia menggorok leher orang yang akan memanahmu. Dan masih banyak lagi yang dia lakukan untukmu. Eh untukku tepatnya. Berhubung dia terus membantu pekerjaanku dalam melindungimu. Jadi kubiarkan saja. Seandainya aku memberitahumu. Kau pasti akan menyuruhku menangkapnya," ujar Agra Putra sambil tersenyum. 

Airlangga menggelengkan kepala tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. “Lalu kau mengikutinya?," tanyanya.

“Aku mengikuti dia. Tapi selalu kehilangan jejak, heheheheehe," Agra Putra nyengir sambil garuk-garuk kepala.

Airlangga menghela napas panjang. “Jadi kau tidak tahu apapun tentangnya?," pekik Airlangga kesal.

“Yang aku rasakan selama ini. Dia seperti seorang wanita yang ingin mengenalmu lebih dalam. Hanya sekedar mencari tahu kepribadian dan keseharianmu saja. Jadi tidak membahayakan," Agra Putra mengangkat kedua bahunya.

“Begitukah," Airlangga tersenyum mengingat Yoga dengan percaya diri mengatakan bahwa mahapatihnya tidak mengetahui keberadaannya. Padahal Agra Putra mengawasi gerak gerik dirinya tanpa sepengetahuannya. Aku akui mereka berdua memang sangat lihai. Gumam hati Airlanga.

“Ada yang lucu?," tanya Agra Putra heran.

“Kau tahu, Yoga menganggap kau tidak mengetahui keberadaannya. Dia dengan percaya diri mengatakan kau itu kurang peka," ujar Airlangga.

Lihat selengkapnya