Airlangga

Yeni fitriyani
Chapter #9

Gendis

Airlangga paham betul apa yang dimaksud Agra Putra tadi. Benar, ada satu perkara yang harus diselesaikannya. Airlangga tak punya banyak waktu. Mengingat gulungan berisikan jawaban putri Kinanti sedang dalam perjalanan ke hadapan maharaja. 

Perkara ini adalah satu-satunya alasan mengapa dirinya berpikir untuk membunuh putri Kinanti. Perkara yang membuatnya kehilangan akal sehat dan pikiran rasionalnya. Dia dibutakan amarah tanpa mempedulikan akibat yang akan disebabkannya nanti. Hingga bersikap seperti seorang pecundang yang membidikkan anak panah pada seorang gadis. 

Kendatipun saat ini hatinya telah terbuka, tetap saja ada kebimbangan dan keraguan disana. Entah harus berbuat apa. Entah harus memutuskan apa. Jika membunuh putri Kinanti tak bisa dia lakukan. Adakah cara lain untuk menyelamatkan dirinya. Airlangga benar-benar dilema. Satu sisi beban kerajaan ada dipundaknya. Satu sisi perihal hati yang tak bisa diabaikan pula. 

Airlangga menuntun kuda dan mengikatnya di salah satu bagian kedaton. Dia berjalan gontai dengan segala kejelimetan masalah yang belum menemukan jalan keluarnya. Lututnya terasa lemas, angannya melayang dan tatapannya kosong. Membuat dirinya tampak seperti manusia tanpa rasa. 

Diambang pintu, dia berdiri tertegun cukup lama. Tak ingin menganggu para seniman yang sedang berlatih tari dan musik disana. Mata Airlangga menyapu seluruh ruangan, dan dengan cepat dapat menemukan gadis yang tengah melenggak-lenggokan tubuhnya dengan gemulai. Gerakan tak berpatah seakan tubuhnya tak bertulang, meliuk-liuk mengikuti alunan musik gamelan yang merdu. Musik dan tariannya seakan menyatu menjadi satu harmoni yang indah. Sorot mata sang gadis terlihat begitu syahdu, tenggelam dalam peran yang sedang dilakoninya.

Airlangga mengembangkan senyum tipis melihat gadis yang menjadi bunga di hatinya. Yang menjadi matahari di siangnya. Yang menjadi rembulan di malamnya, yang menjadi bintang di pekatnya malam. Yang menjadi udara di setiap hembusan napasnya. Yang menjadi detak dalam degup jantungnya.

Dia adalah Gendis, gadis cantik anak seorang petani di kerajaan Asoka ini. Sedari kecil dia diasuh oleh pamannya, seorang abdi dalem kedaton. Sang paman melihat bakat istimewa yang dimiliki Gendis. Dan berkat usaha serta dorongannya. Gendis kini menjadi salah satu seniman termasyur di kerajaan Asoka. Setiap ada peristiwa atau moment penting kerajaan, Gendis selalu menampilkan tarian terbaiknya. Tariannya-lah yang selalu ditunggu-tunggu. Dan selalu berhasil menjadi gong dalam setiap pertunjukan atau pagelaran. 

Mereka di pertemukan saat Airlangga berusia sepuluh tahun. Ketika itu kedaton sedang mengadakan suatu pagelaran tahunan, yang mempersembahkan banyak pertujukkan seni, tari, maupun musik. Itulah pertama kalinya Airlangga kecil melihat gadis mungil ikut menari bersama teman-teman sebayanya. Tubuh lucu dan mengemaskan itu, membuat Airlangga tersenyum renyah di hadapan Agra Putra. 

“Agra Putra, bukankah penari kecil itu sangat mengemaskan," ujar Airlangga kecil. 

“Lucu seperti moci yang kebanyakan tepung," guyon Agra Putra.

Airlangga menggeplak punggung Agra Putra, yang asik memakan kue moci yang disajikan di mejanya. Beruntung kue moci itu tidak nyangkut di tenggorokannya. 

“Lihat saja bedak di pipinya yang bulat, sangat mirip dengan moci ini," Agra Putra menunjukkan kue moci isi kacang hijau, yang ditaburi tepung putih dilapisan luarnya. 

Airlangga memicingkan matanya. “Kau benar juga," ujar Airlangga.

“Iya kan," Agra Putra manggut-manggut kaya cepot.

Setelahnya, setiap periode perkembangan gadis kecil itu. Dia selalu mendapatkan perhatian dari Airlangga. Sorot mata kagum dari Airlangga kecil, semakin hari semakin bertambah. Dan berubah menjadi satu sorot mata penuh kasih. Airlangga tidak bisa menahan diri untuk tidak melihatnya barang seharipun. 

Setiap pagi Airlangga selalu memberikan sekuntum bunga mawar merah untuk Gendis. Tanpa nama dan tanpa kata. Bagi Airlangga melihat Gendis tersenyum dan menciumi mawar pemberiannya. Sudah teramat cukup membuatnya bersemangat sepanjang hari. Bagi Airlangga senyum Gendis tidak hanya sekedar manis. Tapi seperti mentari pagi. Hangat, indah dan memberikan energi positive. 

“Lihat Agra Putra. Bahkan bunga mawar merah itu kalah cantik darinya," ujar Airlangga di atas dinding kedaton sambil menopang dagu dengan tangannya. 

Agra Putra tak menjawab, karena menahan berat badan Airlangga yang duduk di pundaknya. Kakinya bergetar dan kedua tangannya memegangi erat dinding. 

Rahang Agra Putra menegas. Gigi atas dan bawahnya merekat. “Uda,,,,,ah belum. Be......raat ini," ujar Agra Putra sambil meringis.

Airlangga mendengus dan melirik sekilas pucuk kepala Agra Putra di perutnya. “Ish. Bentar lagi," ujarnya santai.

“Sarapan ba....tu pangeran bera.....t banget," tanya Agra Putra menahan sekuat tenaga, supaya kakinya tidak bergetar.

“Berisik," sengit Airlangga pelan. 

Kaki Agra Putra mulai bergoncang, membuat tubuh Airlangga bergoyang ke kanan dan ke kiri. “Eh....Eh," Airlangga mulai panik.

“Aku nggak ku....at lagi," kaki Agra Putra mulai lelah dan tak sempat membungkuk menurunkan Airlangga. Alhasil keduanya oleng ke kanan dan terjungkal ke tanah. 

“Brak," suara dentuman tubuh dua pemuda tinggi itu.

Takut ketahuan keduanya segera bangkit dan lari terbirit-birit. Keluar dari kediaman para seniman kedaton. 

Dan di sore harinya, setelah Airlangga dan Agra Putra selesai belajar. Mereka tak pernah absen melihat Gendis berlatih tari dari atas dahan pohon jambu batu. Saat Airlangga khusyu menyaksikan Gendis berlatih. Agra Putra justru sibuk sendiri melahap jambu batu sambil berbaring di dahan pohon. Dengan suara kunyahan terdengar keras seperti seekor kera. Dan saking banyaknya dia memakan jambu, dia sering sembelit susah buang air besar. Sementara Airlangga tidak memedulikan tingkah konyol sahabatnya itu. Dan kembali senyam senyum sendiri melihat gadis yang menari seperti bidadari. Baginya tarian Gendis seperti candu, mampu menenangkan jiwanya yang lelah setelah seharian berlatih. Tak perlu meditasi, karena dengan melihat tarian Gendis, jiwa dan raganya seperti dipulihkan. 

@@@@

Airlangga terdiam sejenak, memandangi Gendis yang sedang menari bersama teman-temannya. Airmata di sudut matanya menetes begitu saja tanpa disadarinya. Entah apa yang harus dia perbuat untuk pujaan hatinya ini. Gadis yang selama ini menjadi kebahagiannya. Gadis yang selalu bisa membuatnya tersenyum. Gadis yang seyogyanya telah mengenggam hatinya

Oh Gendisku

Kau adalah pelitaku. Disaat duniaku terasa gelap, kau menjadi titik cahaya untukku.

Kau adalah warnaku. Saat dunia mengabu dimataku, kau menjadi pelangi untukku.

Kau adalah wangi. Saat dada terasa sesak, kau keharuman yang melapangkan relung dada

Airlangga menekan dada yang terasa sesak, seperti ada yang meremas-remas keras dadanya. Seharusnya luka ini mengangga dan berdarah. Tapi rasanya lebih perih dari luka pedang yang menembus dadanya. 

Saat itu juga, ingin rasanya Airlangga berlari dan merengkuh tubuh Gendis. Lalu mengenggam tangannya untuk berlari dari dunia yang kejam ini. Dunia yang mengabaikan cinta tulus mereka. Dunia yang dengan kejam mematahkan hati keduanya. Bahkan sebelum cinta itu ketahui dunia itu sendiri. 

Hati Airlangga terasa pilu mengingat perjodohan yang dikatakan semua orang adalah suatu kebaikan yang mensejahterakan, tapi tidak dengan hatinya. Dia justru merasa tersiksa membayangkan hidup dengan gadis yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. Airlangga sebenarnya ingin berteriak pada semua orang. Jikalau dirinya hanya ingin Gendis yang menjadi pendamping dan wanitanya kelak. Tak ingin yang lain. Hanya Gendis seorang. Namun kedudukannya sebagai pangeran, yang seyogyanya bisa dengan mudah meminta sesuatu. Justru dalam hal ini menjadi penghalang terbesarnya. Kekuasaan yang dia miliki tak bisa berbuat apa-apa. Malah melemahkan hatinya, bahkan hanya untuk sekedar memberitahu dunia tentang cintanya pada Gendis.

Lihat selengkapnya