Airlangga

Yeni fitriyani
Chapter #10

Pembenaran Agra Putra

“Kau sudah menemuinya pangeran?," tanya Agra Putra.

Agra Putra duduk disamping Airlangga di tepian sungai. Seperti biasa Agra Putra selalu datang menemani sahabatnya itu dalam suka maupun dukanya. 

“hem," Airlangga mengangguk lemas.

“Menangislah, jika itu membuatmu lebih baik." Agra Putra memberikan sapu tangan. Namun Airlangga menepisnya hingga jatuh ke permukaan sungai. Agra Putra mengayunkan kepalan kosong. “Ihhh dasar bocah," gumam Agra Putra dalam hati.

“Aku baik-baik saja," parau suara Airlangga.

“Syukurlah."

Agra Putra melirik Airlangga, yang sedang tertunduk dengan wajah memerah. Bibirnya mulai bergetar dan air bening perlahan mengalir – bermuara di hidungnya yang lancip, sebelum menetes membasahi bumi. Ya, Airlangga akhirnya tak sanggup lagi menahan tangis. 

Agra Putra menghembuskan napas melihat sahabat yang dia kenal kuat dan tegar, menangisi seorang gadis yang teramat dicintainya. Agra Putra paham apa yang dirasakan sahabatnya ini, karena dia adalah saksi hidup ketulusan cinta mereka. Mulai dari hanya kekanguman semata, hingga merekahnya cinta dihati keduanya.

Keadaan hening untuk sesaat, Agra Putra memberikan waktu pada Airlangga untuk meluapkan kesedihannya. Airlangga menangis dalam diam, airmatanya mengucur deras tak bisa dihentikan, keluar begitu saja. Sampai akhirnya Airlangga membuka pembicaraan lebih dulu.

“Mahapatih, sebenarnya dosa apa yang telah aku lakukan. Hingga merasakan kepedihan seperti ini?," Airlangga melirik Agra Putra. 

Agra Putra menatap serius Airlangga. “Menurutku ini bukan hukuman, melainkan takdir yang dituliskan dewa untukmu?," ujar Agra Putra.

“Tapi terasa seperti hukuman berat bagiku," Airlangga menghapus airmata dikedua pipinya.

“Kau tidak melihat hikmah yang akan kau dapatkan. Kau hanya menekankan kepada rasa sakit semata. Sejatinya banyak hal yang akan kau terima setelahnya, yang jauh melegakan dari pada mengikuti egomu. Berbaik sangkalah pada suatu hal. Maka kau akan dapatkan sesuatu yang tak akan kau duga."

“Hikmah?," Airlangga tersenyum tipis.

“Ya. Hikmah besar yang akan kau dapatkan dari pengorbananmu. Perjodohan ini tidak serta merta hanya demi perpolitikan semata. Semua demi kebaikan bersama. Kau adalah pahlawan yang diciptakan dewa untuk mendamaikan keduanya," ujar Agra Putra.

Airlangga menghembuskan napas berat. “Aku tidak menginginkan semua itu Agra. Aku hanya ingin Gendis,"

“Cobalah untuk dewasa. Gendis saja bisa menerima takdirnya. Dia tahu cara menempatkan hatinya dengan benar. Dia sadar meskipun cinta kalian nyata, cinta kalian berkembang di waktu dan kondisi yang salah. Seberapa kuatpun kalian bertahan, tetap tidak akan mampu mengelak dari kehendak dewa. Bahkan dari kehendak seorang manusia saja kalian teramat kesulitan. Sebaiknya kau pahami takdir, itu akan lebih baik untukmu. Kata orang cinta pertama selalu tidak berhasil menjadi pelabuhan terakhir. Cinta sejatilah yang berhasil memenangkannya," Agra Putra berkata santai. 

“Jadi maksudmu cintaku pada Gendis bukan cinta sejati?," suara Airlangga terdengar meninggi.

Agra Putra memutar bola matanya. “Itu hanya perumpamaan saja. Jika takdir memang menakdirkan kalian sebagai cinta sejati. Maka kalian akan bersatu. Tapi melihat keadaan. Cintamu hanya sebatas cinta pertama yang mengebu dan berakhir pilu," ujar Agra Putra. 

Airlangga menunjuk wajah Agra Putra. “Pandai bicara kau. Seolah-olah mengetahui segalanya tentang cinta. Kau bahkan tidak pernah tahu rasanya jatuh cinta," Airlangga memicingkan mata, menarik kerah baju Agra Putra. 

“Ini semua gara-gara gagasanmu," Airlangga membanting tubuh Agra Putra cukup keras, hingga terlentang menghadap angkasa. Kedua pemuda itu bangkit dari duduknya. Dada Airlangga terlihat naik turun.

“Jika memang aku terpaksa menikah, kau setidaknya mati. Supaya aku tenang dengan pengorbananku. Waktu itu kau beruntung diselamatkan ayahmu. Tapi sekarang kau pasti mati ditanganku," sengit Agra Putra. 

“Apa kau akan mulai lagi?," Agra Putra bertanya dengan tatapan lemas. 

Airlangga melangkah menghantam wajah Agra Putra, hingga terjatuh ke tanah. Dia melompat keatas tubuh Agra Putra yang terlentang, kemudian menghujaninya dengan tonjokan demi tonjokan keras. Dia secara membabi buta melampiaskan amarah dengan berurai airmata.

Agra Putra tak melawan. Dia berpasrah, jika memang harus mati di tangan sahabatnya itu. Agra Putra membiarkan dirinya menerima hantaman demi hantaman tangan Airlangga. Hingga wajahnya bersimbah darah. 

Tak berlangsung lama, hantaman tangan Airlangga terasa semakin melemah dan akhirnya terhenti. Dia menjatuhkan diri ke inti bumi tepat di samping Agra Putra. Kedua pemuda itu terkulai lemas, berbaring menatap angkasa yang bertabur bintang. 

“Maafkan aku”, lirih suara Agra Putra.

Airlangga menoleh ke arah Agra Putra. “Kau bahkan tak pernah merasakan jatuh cinta. Bagaimana kau bisa paham dengan apa yang aku rasakan," ujar Airlangga.

Agra Putra bangkit duduk bersila. “Kau sangat sok tahu," ujar Agra Putra seraya menyunggingkan bibirnya yang bengkak.

 Airlangga bangkit dan melirik Agra Putra curiga. “Cih, memang kau pernah jatuh ci....," Airlangga menghentikan ucapannya, muncul satu kelebatan ingatan. Waktu itu, Agra Putra pernah menunjukan senyum aneh, saat melihat adik cantiknya di pendopo.

Agra Putra mengerutkan dahinya. “Kenapa?," tanya Agra Putra.

Lihat selengkapnya