Pagi itu, iring-iringan pengantin telah tiba di gerbang kerajaan Taraka. Gapura kedatangan yang dulu pernah dilihat oleh Airlangga telah berubah. Di kedua sisinya kini telah dihiasi rangkaian bunga dan janur kuning yang melengkung.
Dibalik gapura terdengar sayup-sayup gema gendang, saling bersautan menyambut kedatangan rombongan. Suara terompet panjang menjadi pertanda rombongan mulai melangkah memasuki gerbang kota.
Rombongan disambut gegap gempita masyarakat yang memadati setiap jengkal kota. Meski dikiri dan kanan jalan telah diberi pembatas tali, tetap saja masyarakat berdesakan melampaui batasnya. Mereka sangat antuasias ingin melihat secara langsung paras pangeran, yang akan menikahi putri kesayangannya.
Rombongan berkuda terlihat di barisan terdepan. Para penunggang tampak begitu gagah di atas kuda yang telah didandani sedemikian rupa. Kuda-kuda bertubuh kuat dengan kaki-kaki panjang, serta rambut hitam menjuntai ditengkuknya. Kuda-kuda itu dilengkapi dengan peralatan yang sangat mewah. Penutup kepala bercorak emas, sanggurdi mengkilat di kanan dan kirinya, serta pelana berwarna hitam legam.
Para penunggang tak kalah gagahnya. Mereka mengenakan blankon berwarna coklat, baju seragam yang dibalut oleh kain samping batik selutut, serta keris tersemat di pinggangnya. Mereka duduk diatas kuda sambil membawa panji-panji bersimbolkan kerajaan.
Barisan kedua, tampak dua kereta kencana megah, ditarik oleh delapan kuda di masing-masing keretanya. Satu kereta membawa pangeran Airlangga dan satu kereta lain membawa keluarga utama kerajaan. Seluruh badan kereta yang terbuat dari kayu, dipahat dengan ukiran-ukiran yang sangat rumit. Selain itu, ornamen-ornamen berwarna emas yang di pasang hampir di setiap sisinya, membuat kereta kencana terlihat mewah dan megah.
Barisan ketiga, terlihat keluarga kerajaan dan abdi dalem berjalan membawa berbagai barang seserahan yang dibentuk sedemikian rupa. Ada yang menyerupai bunga, hewan dan bentuk-bentuk lain yang menarik mata. Mereka terlihat begitu bahagia karena telah disambut dengan suka cita oleh rakyat kerajaan Taraka. Pemandangan yang mengharukan, mengingat sedari dulu mereka selalu berselisih paham. Kini telah disatukan oleh ikatan suci penikahan kedua orang yang sangat mereka banggakan. Rombongan terakhir ditutup barisan prajurit berkuda kembali.
Rombongan membelah keramaian menuju area kedaton rajaan Taraka. Diluar jendela kereta kencana masyarakat terus mengelu-elukan nama Airlangga. Namun di dalam kereta kencana yang megah itu, Airlangga tak bergeming. Larut dalam keheningan dunianya sendiri. Pandangannya kosong menatap kehampaan yang tidak bisa di ceritakan pada dunia. Hanya dirinya yang tahu persis keresahan yang menghimpit dadanya. Tak ada yang mengerti tentang gejolak di bathin yang membuatnya hampir gila. Airlangga dengan terpaksa harus menjalani pernikahan yang tak direstui hatinya.
Dunia memaksanya bersandiwara, bahkan dengan hatinya sendirinya. Seluruh atribut kemunafikan dia kenakan hari ini, tanpa terkecuali. Sorot mata, senyuman dan hatinya memainkan lakon menjadi manusia yang paling berhagia. Walaupun hatinya meraung-raung, tetap harus terlihat berbunga-bunga seperti musim semi.
@@@@
Agra Putra menunggangi kuda tepat di samping kereta Airlangga. Dia menikmati acara dengan menebarkan senyum konyol pada gadis-gadis dipinggir jalan. Para gadis tampak sumringah manye-menye melihat pria tampan di atas kudanya.
“Itu mahapatih atau pangeran. Kok ganteng banget," satu gadis menunjuk Agra Putra.
“Benar sangat tampan. Jangan-jangan pangeran Airlangga kalah tampan dengan mahapatihnya," ujar beberapa gadis.
Agra Putra tersenyum dengan hidung kembang kempis, mendengar puji-pujian untuk dirinya. Dia terus melambaikan tangan, bak pangeran sesungguhnya.
Dipertengahan jalan Agra Putra melambatkan langkah kudanya. Dia mensejajarkan diri dengan kereta kencana Airlangga. Lantas mengetuk beberapa kali jendela, yang membuyarkan keheningan dunia Airlangga.
Airlangga tersadar dan sorak sorai menyeruak ke gendang telinganya. Gegap gempita mengembalikannya pada realita. Airlangga menoleh ke arah ketukan dan menemukan sahabatnya sedang memberi isyarat tangan, untuk membuka jendela. Airlangga membuka setengah jendelanya dengan malas. “Ada Apa?," tanya Airlangga.
“Pangeran, coba untuk tersenyum dan melambailah. Supaya aku tidak disangka pangeran yang sedang menyamar. Mereka berpikir aku pangeran karena ketampananku ini," ujar Agra Putra dengan wajah konyolnya.
Airlangga mengabaikannya dan kembali menyenderkan tubuhnya ke kursi.
Agra Putra menghela napas. “Pangeran, mereka ingin sekali melihatmu. Jangan kecewakan mereka, ayolah," bisik Agra Putra sambil menyondongkan tubuhnya ke dekat jendela.
Kali ini Airlangga yang menghela napas panjang. Dia tak mau berdebat panjang dengan mahapatih konyolnya. Dengan terpaksa dia mengangguk – mengiyakan.
Agra Putra mengacungkan jempol tangannya. “Gitu dong, itu baru pangeran Airlangga yang kukenal," Agra Putra mengerlingkan satu matanya. Otomatis membuat Airlangga merasa jijik.
Airlangga mendekatkan tubuhnya ke jendela. “Pergi sana, kau menghalangi," ujar Airlangga, seraya menepuk bokong kuda yang sedang Agra Putra tunggangi. Sontak Kudanya berlari tak terkendali kearah kerumunan. Agra Putra terlihat kesulitan mengendalikan kuda, hingga menyeluduk keramaian dan membuat kehebohan. Sementara Airlangga tersenyum melihat Agra Putra tersungkur diatas tanah. Saat kereta kencana melewatinya.
Agra Putra memicingkan mata. Sambil mengacungkan telunjuk pada Airlangga. “Awas kau," pekik Agra Putra tanpa suara.
Airangga menyunggingkan bibirnya. Di dalam kereta dia mengepalkan tangan. “Baiklah, kita mainkan sandiwara ini," gumam Airlangga menyemangati dirinya sendiri. Airlangga membuka jendela lebar-lebar.