Airlangga

Yeni fitriyani
Chapter #12

Dua Anak Panah

Niat hati ingin berbagi senyum bahagia dengan suaminya. Putri Kinanti justru mendapati suaminya tertegun dalam diam. Airlangga membeku, mengepalkan tangan menahan kesedihan dimatanya. Detik itu, putri Kinanti menemukan pintu rahasia yang membawa dirinya masuk pada satu sisi dunia milik Airlangga.

Airlangga menatap dunia miliknya sendiri. Dia menenggelamkan dirinya di lorong waktu, yang hanya berputar dibenaknya. Dia tidak mengindahkan sekelilingnya. Teracuhkanlah semua, yang bergerak hanya objek yang ditatapnya. 

Sorot mata Ailangga menyiratkan duka yang mendalam. Sudut-sudut matanya membingkai air mata yang coba dia tahan. Putri Kinanti menemukan sebuah celah luka yang tak bisa dia bungkan. Senyum dan kebahagian yang dia tebarkan sedari tadi, hanyalah sebuah kepalsuan. Sebuah pencitraan yang dia umbar. Namun detik itu, terbalik seketika. Rahasianya terbuka di mata Putri Kinanti.

Putri Kinanti bisa merasakan gurat kesedihan begitu pekat dimata Airlangga. “Seberapa sedihnya dirimu?," tanya hati Putri Kinanti.

Putri Kinanti menyebrangi objek yang di tatap Airlangga. Ternyata seorang gadis penari menjadi pusat dunianya. Gadis sederhana dengan kesempurnaan tarian – menjerat Airlangga pada suatu kegetiran. Dia menjadi daya gravitasi yang teramat kuat, hingga Airlangga tak bisa melepaskan tatapannya. 

Gadis itu merubah dunia Airlangga seketika. Senyum indahnya menjadi pilu. Tatapan hangatnya menjadi sendu. Gendis benar-benar menghancurkan tembok kemunafikan yang sedang Airlangga bangun. Tembok pertahanaan terakhirnya, kini telah tercerai berai dan luluh lantah.

Keramaian pesta tak bergema di telinga Airlangga. Terendam oleh keheningan dunianya. Tarian Gendis telah menjelma menjadi sebuah ironi yang nyata, membuat Putri Kinanti bertanya-tanya. Mengapa keindahan harus dibingkai oleh kesedihan. Begitu dalamkah hubungan diantara keduanya?

@@@@

“Wahai Gendis bintangku. Kau adalah kekasihku. Maafkan aku menjadi sepengecut ini. Kaulah yang seharusnya berada disampingku, tapi aku hanya bisa memandangimu, tak bergeming seperti batu. Ini adalah kegagalanku Gendis. Membiarkanmu sendirian dalam duka, dalam pengorbanan cinta kita," gumam hati Airlangga. 

Airlangga menatap sendu Gendis yang sedang menari dihadapannya. Titik-titik air di sudut mata adalah rasa penyesalannya pada Gendis. Dia begitu menyesali waktu dan takdir. Takdir menjadi musuh terbesarnya. Karena telah berlaku kejam. Dengan seenaknya mempertemukan dua insan, menjatuhkan cinta, kemudian mematahkan hati keduanya. 

Airlangga tak melepas pandangannya barang sedetikpun dari Gendis, laiknya orang yang berpasrah akan ditinggalkan atau meninggalkan. Airlangga mendongkakan kepalanya menahan air mata yang mendesak ingin keluar dari sudut matanya. Sekuat tenaga dia menahan diri untuk merendam amarah dan sedih bersamaan. Dia begitu marah pada dirinya sendiri yang tak bisa berbuat lebih. Dia juga kesal pada Gendis yang bersikeras pada pendiriannya, dan mengabaikan ajakan untuk lari bersamanya.

@@@@

Wahai kekasih yang kucintai. Kau begitu mempesona, begitu rupawan dan sepadan bersanding dengannya. Aku teramat berbahagia engkau telah memilih jalan yang kuyakini pula. Kau pasti marah, kau pasti benci pada semesta. Akupun demikian. Tapi aku tak ingin melewati batas takdir yang diperuntukan untukku. 

Wahai kekasih yang kucintai. Aku menangis dalam diam, kaupun demikian bukan. Tangisku hanya gambaran seberapa besar aku mencintaimu. Bukan gambaran seberapa besar sedihku. Tangisku dan tangismu tak bisa merubah apapun. Karena tangis adalah kekuatan terbesar kita saat ini. Jadi menangislah agar kau lebih tenang dan kuat.

Wahai kekasih yang kucintai. Aku ingin berlari memelukmu untuk terakhir kalinya. Aku ingin melihatmu tersenyum untuk terakhir kalinya. Aku ingin melihatmu menatap mataku untuk terakhir kalinya. Tapi tak ada lagi kesempatan, kau telah dimilikinya. Maka cukuplah kita bersitatap dalam diam. Sebagai tanda perpisahaan.

Wahai kekasih yang kucintai. Tarianku ini adalah hadiah terakhir untukmu. Aku tak bisa memberimu ucapan selamat karena begitu menyakiti hatiku. Aku harap kau akan bahagia. Jangan kecewakan aku dengan bersedih hati dengan dirinya. Kau jangan khawatir, aku pastikan akan bahagia tanpamu. 

Wahai kekasih yang kucintai. Aku harap kau menjadi pangeran yang selalu kukagumi dan kubanggakan. Selamat tinggal cintaku.

Gumam hati Gendis sambil melenggak-lenggokan tubuhnya dalam tarian. Siang itu, dia berusaha memberikan tarian terindahnya hanya untuk Airlangga.

@@@@

Tak jauh dari sana Agra Putra menatap intens tiga orang yang sedari tadi membuatnya cemas. Mata Agra Putra menatap Airlangga, putri Kinanti dan Gendis secara bergantian. Dia menghembuskan napas berat menyadari tatapan ketiganya begitu berbeda, terutama tatapan Putri Kinanti terlihat penuh selidik pada Airlangga. 

“Hentikan pangeran, aku mohon padamu," gumam hati Agra Putra melihat tatapan Airlangga pada gendis begitu mencolok. Tatapannya itu sangat bisa ditebak oleh siapapun yang melihatnya. Beruntung semua orang telah menikmati tarian Gendis yang menghipnotis, jadi untuk beberapa saat mereka tidak terlalu memperhatikan Airlangga. Kecuali putri Kinanti yang terus memandanginya. 

Agra Putra mengusap wajahnya yang berkeringat. Dia harus cepat mencari cara, sebelum semua orang menyadarinya. Agra Putra terus memutar otaknya mencari jalan yang tidak terlalu mencolok. 

“Haruskah aku melempar sesuatu ke wajah tampan itu atau aku pura-pura kerasukan saja," gumam hati Agra Putra.

Baru saja otaknya menemukan cara yang jauh dari kesan tidak mencolok. Agra Putra sudah menangkap masalah lain. Apa yang dia takutkan, terjadi juga. Matanya terbelalak melihat permaisuri Waradhana pradya, ibunda putri Kinanti mengerutkan keningnya. Permaisuri mempertanyakan tatapan Airlangga yang begitu intens kepada Gendis. Dia mengawasi Airlangga dengan campuran rasa penasaran dan selidik yang nyaris tidak bisa disembunyikan. 

Agra Putra terus menggerakkan satu kakinya, panik. “Kerasukan dedemit sepertinya cara yang aman," gumamnya dalam hati.

“Ehem," Agra Putra berdehem.

Sepersekian detik sebelum dia akan melakukan proses kejang-kejang. Beruntung matanya sempat menangkap gerakan Airlangga. Sahabatnya itu tiba-tiba memalingkan pandangannya dari Gendis. Spontan Agra Putra terdiam membatu di tempatnya. Dia melihat hal yang tidak terduga. Putri Kinanti menyentuh tangan Airlangga yang sedang mengepal. Sentuhan itu berhasil mengalihkan tatapan Airlangga dan melirik ke arah putri Kinanti. Airlangga tersenyum walau terlihat sedikit gamang.

Agra Putra menggigit bibir bawah sebagai pelampiasan rasa kesal dan leganya. Dia sangat kesal karena hampir saja bertindak konyol di hadapan semua orang. Hampir saja martabatnya tergadaikan. Bagaimana mungkin seorang mahapatih yang terkenal. Bisa kerasukan setan. Sungguh memalukan. Akan tetapi Agra Putra juga merasa lega karena putri Kinanti telah menolongnya. 

Lihat selengkapnya