Airlangga

Yeni fitriyani
Chapter #13

Perpisahan

Langit mengabu dan hitam pekat diujung sana. Langit sedang menumpahkan rahmatnya pada dunia. Bagi Airlangga langit sedang menangisi takdirnya. Takdir yang ditetapkan, dengan seenaknya mempermainkan hati. Sudah sepantasnya langit menangisi insannya yang sedang terluka ini.

Airlangga termenung seorang diri menatap rintik hujan. Rinainya terdengar menggema ditelinga. Tetes demi tetes air membawa angannya menerawang, berlari-lari dalam ruang hampa. Waktu terus merangkak maju. Namun Airlangga tak merasa melaju. Detiknya terhenti menunggu seulas kabar dari gadisnya. 

Dalam keresahan, Airlangga menanti ketidakpastian. Sampai detik ini belum ada kabar atau berita yang dapat melapangkan dadanya. Selamatkah dirinya atau masih berjuang melawan kesakitan. Angin dingin berhembus menampar wajahnya, tapi yang membeku hatinya lebih dulu. Hatinya bersedih, menahan pilu, merindukan kekasih hatinya. 

Terngiang-ngiang dibenak Airlangga tatapan terakhir Gendis. Sorot matanya meredup, seperti cahaya lilin yang kehabisan sumbunya. Terngiang-ngiang pula senyum yang disematkan dibibirnya, meski raganya dihujam derita. 

Airlangga menyeka airmata. Hatinya dipenuhi rasa bersalah. Di depan matanya sekalipun, Gendis yang sedang terluka parah, harus ditinggalkannya. Airlangga malu pada diri sendiri, karena semua bentuk kepecundangan mutlak dia lakukan pada kekasihnya itu. 

 Airlangga menekan pelipis matanya yang berdenyut karena kalut. Disamping keresahannya menunggu kabar. Berbagai pemikiran lain ikut bermunculan dalam benaknya. Esok pagi, dua kerajaan yang telah disatukan akan bergerak ke padang Seda, tempat pertempuran akan dilaksanakan. Perang melawan kebiadaban yang tak bisa di beri ampun.

Pertempuran ini sangat penting bagi Airlangga. Ini adalah pembuktian pertamanya sebagai pangeran dua kerajaan, yang akan membalas kesakitan istri dan gadis yang dia cintai. Begitu banyak harapan bertumpu di pundaknya. Semua orang berharap Airlangga bisa mengalahkan kerajaan Maja yang kejam itu. Strategi dan taktik jitu telah dirancang sedemikian rupa oleh Airlangga, Agra Putra dan Yoga Ambisana. Esok adalah penentuan takdirnya.

Malam ini adalah kesempatan terakhir yang dia miliki. Kesabaran Airlangga telah habis. Dia harus menemui Gendis bagaimanapun caranya. Setelah beberapa hari menunggu. Agra Putra masih belum menemukan waktu yang tepat. Sekarang Airlangga tidak bisa menunggu lagi. Dia membulatkan tekad untuk menemui Gendis. Dia tidak memedulikan lagi apa yang akan terjadi setelahnya. 

Airlangga melangkah ke arah pintu kamarnya. Dia menarik napas sebelum menarik gagang pintu kamar. Saat tangannya baru menyentuh gagangnya. Tiba-tiba seseorang mendorong pintu sangat kencang dari luar. Alhasil membanting tubuh Airlangga hingga terjatuh dilantai. 

Wajah Airlangga nongol dari balik pintu. “Pangeran...pangeran," panggil Agra Putra sambil menoleh kesegala arah, mencari keberadaan Airlangga. “Loh ko dibawah pangeran, kau sedang apa?," Agra Putra melongo.

Airlangga bangkit dengan mata berkilat marah. “Dasar tidak punya sopan santun," sengit Airlangga.

“Oh jadi kau terpelanting gara-gara aku," mulut Agra Putra membulat menyerupai huruf O. “Maaf aku buru-buru ingin menemuimu. Ini sangat penting," tutur Agra Putra.

Airlangga menghembuskan napas dari mulutnya. “Ada apa, cepat katakan," tanya Airlangga.

Agra Putra menutup pintu kamar perlahan, kemudian membisikan sesuatu pada Airlangga. “Wessswesssewss. Gitu pangeran," ujar Agra Pura sambil manggut-manggut.

Dahi Airlangga mengkernyit. “Sebenarnya apa yang kau bicarakan. Aku hanya mendengar akhirnya saja. Gitu pangeran," sengit Airlangga sambil memukul kepala Agra Putra. 

Agra Putra mengusap kepalanya. “Kau ini sangat lamban," Agra Putra menyunggingkan bibir.

Airlangga menegaskan rahangnya, mulai merasa kesal. “Kau yang terlalu pelan," sungut Airlangga

 “Aku akan mengantarmu pada Gendis," Agra Putra menatap Airlangga serius. 

Mata Airlangga membulat sempurna. Tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Airlangga merengkuh ketat pundak Agra Putra. “Benarkah?," Airlangga mendekatkan wajah mereka.

Agra Putra menelan ludah, melihat wajah Airlangga begitu dekat. “Kau membuatku takut pangeran," wajah Agra Putra meringis. 

Airlangga mengguncang tubuh Agra Putra. “Bagaimana caranya?," tanya Airlangga. 

Lihat selengkapnya