Dipertengahan pagi menjelang siang. Padang Seda telah dipenuhi oleh dua pasukan yang bersebrangan. Ribuan prajurit terbaik berbaris siap mati membela kerajaan. Mereka mengibarkan panji-panji berlambang kerajaan yang sangat mereka banggakan. Tidak ada raut ketakutan di wajah mereka. Bagi pasukan yang dipimpin Airlangga, pertempuran ini tidak sekedar merebut kekuasaan, tapi sebagai bukti pembalasan atas kebiadaban yang dilakukan oleh pangeran Wasa. Perbuatan yang dilakukannya telah melampaui batas kemanusiaan. Sifat pengecutnya sengaja dijadikan alasan untuk menyulut peperangan. Sungguh perbuatan yang tidak bisa diampuni.
Raut kemarahan tampak jelas di mata para prajurit, mengingat sang putri yang mereka cintai terkulai lemas, dibatas hidup dan mati. Semua orang geram ingin langsung menghabisi dalang dari semua ini. Dan peperangan inilah satu-satunya jalan pembalasan yang sempurna. Sekaligus jika kita diberkati dewa mampu memenangi peperangan. Maka bukan tidak mungkin kekuasaan kerajaan Maja akan runtuh.
Kerajaan Maja terkenal dengan kekejamannya. Baik dalam invansi perebutan kekuasan ataupun dalam menjalankan pemerintahan kerajaannya sendiri. Rakyat dijadikan budak atau sapi perah untuk memperkaya kerajaan dan para petingginya. Banyak rakyat yang mati sia-sia dari ketamakan para pemimpinnya. Banyak rakyat yang ingin membelot dari kerajaannya, karena tidak kuat hidup dalam penderitaan. Namun mereka selalu berujung meregang nyawanya.
Semoga dewa merestui, Airlangga berharap kejahatan kemanusiaan itu akan berakhir. Selain janjinya pada Gendis untuk membalas kesakitannya. Airlangga berjanji pada dirinya sendiri untuk membalas kekalahan terdahulu. Pembalasannya akan lebih kejam. Airlangga bersumpah akan merebut seluruh kekuasaan kerajaan Maja.
@@@@
Suara terompet berkumandang, Airlangga maju menunggangi kuda hitamnya. Tubuhnya diselubungi baju jirah berwarna perak dengan dua pedang panjang tergantung di kanan dan kiri pinggangnya. Airlangga tak sendiri, di kanan ditemani Agra Putra dan dikirinya di temani Yoga. Ketiganya maju hingga batas pertengahan padang Seda. Diseberang sana pangeran Wasa maju, beserta dua orang kepercayaannya.
“Selamat siang pangeran Airlangga yang termasyur. Kau masih terlihat rupawan seperti biasanya," pangeran Wasa menyeringaikan bibirnya. Wajahnya masih sangat menyebalkan. Kedua mata tajamnya sangat mencerminkan kepicikan dan kelicikannya. Semua kata-kata yang keluar dari mulutnya, penuh tipu muslihat laksana ular.
Airlangga membalas senyuman itu, dengan anggukan kecil. “Pangeran Wasa tampaknya begitu bahagia, setelah menancapkan anak panah di dada wanita," sahut Airlangga.
Pangeran Wasa menaikan satu alisnya. “Bukankah kau pun berniat hal yang sama. Bukankah kau juga ingin menancapkan anak panah yang serupa. Hanya saja kau lemah. Tanganmu malah bergetar. Untuk itu, aku mewujudkan niatmu yang gagal," bibirnya kembali menyeringai, membuat siapapun akan merasa muak melihatnya.
Airlangga menegaskan rahangnya. “Kau," ujar Airlangga.
Pangeran Wasa tersenyum tipis. “Selain itu, panah yang kutancapkan adalah hadiah, karena bunga cantik tidak menerimaku. Dia justru memilih orang yang berniat membunuhnya," tutur pangeran Wasa.
Airlangga mengepalkan tangan, menahan amarahnya.
“Kenapa kau marah pangeran Airlangga. Bukankah tindakan pengecutku ini ada hikmahnya. Kita akhirnya dipertemukan kembali di padang Seda yang terkutuk ini," pangeran Wasa melipat tangannya di dada.
Airlangga menaikan satu alisnya sekarang. “Benar, aku sudah menanti pertemuan kita ini pangeran Wasa," kali ini Airlangga yang menyeringai.
Pangeran Wasa mengangguk kecil. “Ini takdir. Luka yang kuberi pada putri cantik ternyata mempertemukan kita kembali. Padang Seda ini akan menjadi saksi kekalahanmu yang kedua kalinya. Bersiaplah pangeran tampan," pangeran Wasa tersenyum seperti orang lugu, sambil menaikan kedua bahunya. Laiknya seorang psikopat yang menutupi kekejaman dengan senyum manisnya.
Airlangga menatap tajam pangeran Wasa. “Baik, kita buktikan saja pangeran Wasa," tantangnya.
Kedua pangeran dan pengikutnya kembali pada pasukan masing-masing. Tak ada negosiasi perdamaian. Perang benar-benar akan segera dimulai. Agra Putra menunggangi kuda ke bagian kanan pasukan. Yoga menunggangi kuda ke bagian kiri pasukan. Airlangga berada di tengah-tengah pasukan memberikan sepatah dua patah kata. Yang membangkitkan semangat pasukan, untuk tidak gentar menghadapi musuh di depan mata.
Airlangga berkacak pinggang di atas kudanya. Satu tangannya menunjuk pasukan pangeran Wasa. “Kalian lihat pasukan di depan sana. Pasukan yang membela kebiadaban, yang dengan keji menancapkan anak panah di dada Putri Kinanti, yang kita cintai. Sekarang kita disini menantang mereka, untuk membalas kesakitan putri Kinanti. Kalian jangan gentar dan ragu untuk menghabisi seluruh orang biadab itu. Apa kalian takut menghadapi mereka?," teriak Airlangga.
“Tidak," serentak pasukan dari kerajaan Asoka dan Taraka.
“Apa kalian siap mengalahkan mereka?," teriak Airlangga kembali.
“Siap," jawab seluruh pasukan.
“Hidup Putri Kinanti," teriak Airlangga diatas kudanya, seraya mengacungkan pedang panjang.
“Hidup Putri Kinanti," di ikuti oleh seluruh pasukan
“Hidup kerajaan Asoka dan Taraka."
“Hidup kerajaan Asoka dan Taraka."
Agra Putra dan Yoga menyentakkan pedang pada tombak dan pedang pasukan di barisan pertama. Mereka menunggangi kuda dari kanan dan kiri menuju ke tengah pasukan, mendekati Airlangga.
Suara hentakan pedang dan tombak terdengar nyaring, disertai teriakan pasukan yang membakar semangat. Seluruh pasukan bergemuruh mengacungkan pedang ditangan setinggi-tingginya. Agra Putra dan Yoga merapat mendekat pada Airlangga.
Terompet panjang akhirnya terdengar, pasukan kerajaan Maja mulai maju terlebih dahulu. Ribuan pasukan serentak berlari ke tengah-tengah padang Seda. Airlangga belum memberikan aba-abanya. Dia tidak bergerak menatap pergerakan pasukan kerajaan Maja. Airlangga sedang menunggu moment yang tepat, sebelum memberikan komandonya. Tepat pasukan pangeran Wasa berada pada radius yang dapat terjangkau pasukannya. Airlangga mengacungkan pedang dan memberikan perintah.
“Pasukan panah bersiap," perintah Airlangga.
Serentak tiga baris pasukan maju kedepan. Baris pertama dan kedua melipat satu kaki membentuk siku-siku menyentuh tanah. Dan baris ketiga, seluruh pasukannya berdiri sempurna. Tangan mereka membentuk siku-siku, tangan kiri membentuk segitiga siku-siku dan tangan kananya menarik ujung anak panah, hingga menyentuh pipinya. Seluruh pasukan telah siap pada posisi melesatkan anak panah. Mereka tinggal menunggu komando dari Airlangga.
“Siap dan tembak," ribuan anak panah melesat ke udara membentuk lengkungan, lantas menukik tajam bagaikan hujan. Anak panah deras menghujami pasukan kerajaan Maja. Teriakan demi teriakan mulai terdengar. Satu demi satu pasukan bertumbangan. Anak panah menancap di dada, dahi, mata, perut, kaki dan tangan prajurit kerajaan Maja. Banyak prajurit yang langsung kehilangan nyawa. Ada pula yang berintih kesakitan. Pasukan masih terlihat berlari menyerbu. Airlangga kembali memberikan aba-aba kedua.
“Siap, tembak," ribuan anak panah melayang memenuhi cakrawala. Bagaikan jarum tajam, anak panah kembali menghujami pasukan. Pangeran Wasa tampak berkacak pinggang melihat pasukannya. Dia masih tidak bergeming di atas kudanya.
“Bersiap pasukan penombak," teriak Airlangga memberikan komando. Agra Putra dan Yoga melanjutkan komando kepada pasukan di sebelah kanan dan kiri.
Tiga baris pasukan pemanah mundur. Beberapa baris pasukan tombak maju. Mereka mengacungkan tombak di tangan kanan dan tameng di tangan kirinya. Seluruh pasukan di garda depan tampak bagaikan benteng tebal, siap menerima hantaman besar dari pihak lawam.
“Bersedia dan tahan," dentuman hebat terdengar.
“Brrraaaaaak."
Kedua pasukan beradu. Pasukan kerajaan Maja banyak yang tertancap tombak. Sebagian lagi terus menyerbu membabi buta. Kedua pasukan menyatu menghapus jarak diantara keduanya. Mereka menyerang secara sporadis. Siapapun orang yang berseragam berbeda, harus segera dimusnahkan.
Airlangga, Agra Putra dan Yoga ikut menyerang. Agra Putra tetap berada dalam jangkauan Airlangga. Mahapatihnya ini memang sangat setia. Dia tidak ingin melihat pangerannya dalam bahaya dan terluka.
Airlangga terus menghunuskan pedang ke kanan dan ke kiri. Menebas kepala, leher dan dada pasukan Maja tanpa ampun. Amarah yang membuncah membuatnya terlihat seperti orang kerasukan, membunuh setiap orang yang di lewatinya. Secara sporadis membabi buta mengerahkan kekuatan untuk menghilangkan nyawa lawannya.
Agra Putra masih merapat dekat Airlangga. Masih diatas kudanya yang gagah. Kaki kuda sesekali menendang dada prajurit yang menghalangi. Lantas dieksekusi oleh penunggang kudanya.
Saat Airlangga berfokus melawan satu prajurit. Tak jauh darinya seorang prajurit berkuda lain terlihat sedang berlari tepat menuju kearahnya. Detik dimana pedang melayang di atas Airlangga.
“Cleb." satu belati tajam menancap sempurna di kening prajurit itu. Seketika prajurit itu roboh tak bernyawa lagi.
Airlangga melirik ke arah asal belati itu berasal. Agra Putra mengangkat kedua bahunya, menyombongkan diri. Namun kesombongan itu langsung dibalas oleh Airlangga.
Detik itu pula, Airlangga melemparkan tombak melewati kuping Agra Putra. Tombak itu menembus dada prajurit yang siap menancapkan pedang ke punggungnya. Agra Putra tersontak, matanya melotot melihat mayat prajurit itu jatuh dari kuda. Dia melirik Airlangga yang sedang manggut-manggut.
@@@@
Pertempuran berlangsung hingga jingga menyingsing di ufuk barat. Terompet panjang terdengar. Pertanda pertarungan hari ini berakhir sementara. Dan berlanjut esok hari. Kedua pasukan mundur perlahan, berkumpul di kemah yang telah disediakan. Para prajurit yang terluka dibopong oleh teman-temannya. Dan prajurit yang gugur di kumpulkan pada satu tempat. Mereka ditumpuk menyerupai bukit-bukit.
Rintihan kesakitan prajurit yang terluka terdengar memilukan dari dalam kemah. Airlangga masuk memastikan pasukannya. Serentak mereka berdiri untuk memberi salam. Airlangga mengangkat tangan. Dia memberikan satu dua patah kata untuk membangkitkan kembali semangat prajuritnya yang terluka. Bara api kembali meletup-letup di sorot mata para prajurit.