Airlangga

Yeni fitriyani
Chapter #15

Yang Tersisa Hanya Banyangan

Airlangga berlari gontai di lorong temaram. Hanya kilatan petir sesekali memberikan pencahayaan di gelapnya jalan. Garis berliku bersinar di langit hitam, disusul suara halilintar menggelegar. 

Tanpa alas kaki Airlangga menyeret kakinya yang terluka parah, akibat sayatan pedang pangeran Wasa. Darah mengucur deras dari luka mengangga yang belum kering seutuhnya. Namun dia tetap saja memaksakan diri menerjang dinginnya malam. Beberapa kali dia terjatuh merasakan lututnya mati rasa. Dia menekan lukanya sekuat tenaga. Sebelum kembali bangkit dan menyeret kakinya lagi menuju perbukitan hijau, yang terlihat gelap saat itu. 

Sepanjang jalan, Airlangga tak kuasa menahan tangis. Airmata dan butiran bening dari langit menyatu diwajahnya. Sesekali dia mengelap mata karena pandangan yang mengabur. Langkah kakinya yang berat terhenti di satu sisi bukit. Samar matanya menemukan seseorang yang sangat dia kenali, sedang membungkukan tubuh, menangis sesegukan. Airlangga merengkuh pundak dan membalikan tubuhnya. 

“Kau."

“Kau." Air bermuncratan dari mulutnya.

“Apa yang telah kau lakukan padanya," teriak Airlangga.

Airlangga menarik kerah baju Agra Putra yang sedang berlutut. Membuat Agra Putra menengadahkan kepala. Agra Putra terdiam, menatap mata Airlangga yang terlihat begitu hancur. Airmata Airlangga bahkan menetes deras ke wajahnya. 

Airlangga menatap tajam mahapatihnya. “Kau telah membunuhnya Agra," teriak Airlangga. 

Agra Putra tak menjawab. Dia hanya bisa menatap lekat wajah sahabatnya, yang bersedih. 

“DIMANA DIA SEKARANG?," teriak Airlangga, 

Agra Putra melirik sebuah makam dengan sudut mata, tepat berada dibelakangnya. Seketika mata Airlangga membulat sempurna. Tangannya melemah dan cengkraman di baju Agra Putra terlepas. Dia menyingkirkan tubuh Agra Putra dari jalan. Kemudian menyeret dan melipat kakinya disamping makam. 

Airlangga menyeka airmata yang mengaburkan penglihatannya. Dia juga beberapa kali mengelap nama yang tertera di batu nisan. Tak keliru bertuliskan nama GENDIS. 

“Gendis," teriak Airlangga, seraya memeluk erat dan menciumi batu nisan Gendis. Airlangga menangis sejadi-sejadinya malam itu. Suara tangisannya bersautan dengan suara guntur yang menggema. Dia merintih, meraung-raung, menumpahkan seluruh kesedihannya. Airlangga menekan dadanya yang terasa sesak. Bibirnya bergetar dan tangannya gemetaran. 

Lihat selengkapnya