Agra Putra terkejut mendengar keputusan Airlangga pada urun rembuk kali ini. Airlangga mendadak memutuskan dirinya sendiri, yang akan pergi ke daerah kerajaan Maja malam ini. Dia akan mendatangi langsung setiap pelosok daerah. Mengumumkan pergantian kekuasaan kepada seluruh rakyatnya.
Agra Putra tampak kecewa, karena namanya tidak disebut dalam barisan prajurit yang akan ikut bersamanya. Dia menyadari bahwa Airlangga benar-benar berubah. Dia bukan lagi pangeran yang dia kenal. Dia yang selalu kasar, namun perhatian. Dia yang terlihat dingin, namun hangat. Dia yang selalu ingin pergi, namun selalu mendekat. Kini selalu memalingkan wajahnya. Bahkan jika tak sengaja bersitatap. Airlangga memandang Agra Putra dengan tatapan tidak bersahabat.
Agra Putra paham Airlangga pasti sangat membencinya. Airlangga pasti marah karena dirinya bersikeras ikut berperang. Tidak mengindahkan perintahnya untuk menjaga Gendis. Namun mustahil rasanya jika dirinya membiarkan Airlangga berperang sendirian. Terlebih lagi ini bukan perang biasa. Ini adalah pertempuran besar tiga kerajaan. Bukankah saat itu dirinya wajib mendampinginya.
Agra Putra juga paham Airlangga pasti sangat cemas saat itu. Bagaimanapun gadis yang dicintainya sedang di batas hidup dan mati. Tapi tidakkah dia memahami perasaaannya.
@@@@
Setelah urun rembuk selesai, Agra Putra memberanikan diri untuk menemui Airlangga di kamarnya.
“Ehem." Agra Putra mendehem mengabarkan kedatangannya. Untuk pertama kalinya, Agra Putra merasa canggung menemui sahabatnya itu. Dia tidak menyangka ada waktu dimana untuk berbicara berdua dengannya menjadi sesulit ini.
Dihari-hari sebelumnya, dia dengan leluasa akan melakukan sejuta keusilan atau kekonyolan didepannya. Dan kekonyolan itu selalu berhasil merekahkan senyum indah dibibirnya. Namun saat itu, hanya untuk menyapanya saja, seperti ada yang mengganjal tenggorokannya.
Airlangga menatap Agra Putra sekilas dengan sudut matanya dan berlalu melewatinya.
Agra Putra sempat berpikir untuk memegang tangan Airlangga, namun dia mengurungkan niatnya. “Pangeran, kau benar-benar akan pergi?," tanya Agra Putra.
Airlangga menghentikan langkahnya. “Apa pedulimu," sahut Airlangga singkat.
Agra Putra menatap sisi wajahnya. “Itu sangat berbahaya. Biarkan aku ikut denganmu," ujar Agra Putra.
Airlangga melirik Agra Putra dengan pandangan dingin. “Kau tidak perlu lagi menemani dan menjagaku," timpal Airlangga ketus.
“Apa kau masih marah padaku. Dengar aku tak punya pilihan waktu itu. Bagiku, kau lebih dari apapun di dunia ini. Meski Gendispun sama-sama berartinya untukku," penjelasan Agra Putra.
Mata Airlangga berkaca-kaca. “Tapi bagiku Gendis segalanya," Airlangga terdengar parau.
“Ya aku tahu itu. Tapi tolong coba pahami diriku. Saat itu aku dirundung dilema. Kau akan pergi ke medan perang dan Gendis sedang terluka parah. Aku ingin menjaga kalian berdua. Tapi apalah daya," Agra Putra terdengar lemas.
Airlangga menghela napas. Kemudian mendekatkan dirinya pada Agra Putra. Matanya menatap Agra Putra penuh amarah. “Sudah kukatakan kau sebaiknya tinggal disini bersama Gendis," sengit Airlangga.
“Kau boleh menyalahkan atau membunuhku sekarang. Tapi jangan menyalahkan takdir," tantang Agra Putra.
Airlangga mendengus. “Cih, Bukankah takdir kejam ini berawal dari mulutmu. Semua ini tidak akan terjadi jika kau tutup mulut waktu itu," Airlangga menekan-nekan dada Agra Putra dengan telunjuknya.
Agra Putra menghela napas panjang. “Kau tahu sendiri perjodohan itu untuk menghindari perang," pembelaan Agra Putra.
“Bukankah pada akhirnya peperangan tidak terelakan juga," tangkas Airlangga.
“Seandainya tidak ada perjodohan. Kita pasti akan berperang entah dengan Taraka atau Maja. Kau tahu dua kerajaan itu sangat besar. Untuk itu perjodohan ini bertujuan untuk menggabungkan Taraka dan Asoka supaya lebih kuat. Penggabungan dua kekuatan ini diharapkan mampu mengimbangi kekuatan kerajaan Maja. Peperangan diantara ketiga kerajaan ini lambat laun akan terjadi. Hanya saja takdir menjadikan putri Kinanti dan Gendis sebagai pemicu perang lebih cepat," tutur Agra Pura.