Satu tahun berlalu.
Hari itu seorang telik sandi menunjukkan raut sedih dihadapan putri Kinanti. Dia menggelengkan kepala, yang berarti tidak ada informasi dari kerajaan Maja atau dari pangeran Airlangga. Putri Kinanti menghela napas panjang, tanda kecewanya. Setiap hari dia dengan sabar menanti kabar. Namun sampai detik ini belum ada informasi kapan Airlangga akan kembali.
Setelah telik sandi itu pergi, putri Kinanti memalingkan wajah menatap nanar langit di luar jendela kamarnya. Tatapannya sendu seolah membias dilangit mendung sore itu. Awan-awan mengelayut berdegrasi dari warna hitam pekat hingga abu-abu.
Dari kejauhan Agra Putra melihat kesedihan di wajah cantik putri Kinanti. Sungguh sangat memilukan, mengingat dia adalah putri yang selalu ceria dan bersemangat. Namun penantian panjang nyata memadamkan cahaya semangat dihatinya.
Walaupun putri Kinanti terus menebarkan senyuman indah di depan semua orang. Agra Putra melihat titik redup di sudut matanya. Senyum itu palsu, untuk mengalihkan tanggapan dunia pada hubungannya dengan Airlangga. Dia tak mau suaminya diberi tanggapan buruk, telah membuatnya menderita. Kendatipun itu benar, putri Kinanti sekuat tenaga akan menutupinya dengan tirai kepalsuan.
“Takdirmu tidak seperti ini putri. Kau ditakdirkan sebagai keindahan. Kesedihan seharusnya menjauh darimu. Aku tak rela membiarkan takdir menyakitimu. Karena kau tidak bersalah dalam hal ini. Sebenarnya ada rahasia apa dibalik semua ini. Penantian dan kesedihanmu melebihi orang yang telah lama saling mencintai. Kau bahkan belum mengenal Airlangga. Mengapa tangismu sedalam ini. Aku pikir sedihmu hanya sebatas kecewa. Nyatanya sedihmu lebih dari derita kehilangan. Apakah ikatan pernikahan membuatmu seperti ini. Atau memang kau sudah manautkan cinta dihatimu.
Terlepas dari ada atau tidak adanya cinta itu sendiri. Aku berjanji putri. Tak akan ada lagi tangis dan muram durja di wajahmu. Aku akan membawa pangeran pongah itu padamu," gumam Agra Putra, sambil menatap putri Kinanti dari kejauhan.