Pagi itu, Agra Putra sampai di salah satu daerah kerajaan Maja, yang sedang disambangi Airlangga. Setengah berlari Agra Putra mencari dimana keberadaan pangerannya itu. Langkahnya terlihat sangat buru-buru, hingga tak mengindahkan beberapa prajurit yang menundukkan kepala. Agra Putra menoleh ke segala arah, kemudian berlari kembali, karena di beberapa tempat Airlangga tidak ditemukan. Sampai pada sebuah taman besar, Agra Putra mendapati seseorang bertubuh tegap dengan kaki jenjang yang sangat familiar dimatanya.
“Dia masih terlihat tampan," gumam Agra Putra melihat Airlangga sedang berdiri di tepian kolam ikan.
Airlangga termenung memandangi tenangnya air kolam, dengan tatapan tajam yang menjadi daya pikatnya selama ini. Agra Putra melangkah dan berdiri di sebrang kolam dan tepat dihadapannya. Airlangga terusik melihat bayangan seseorang di permukaan air, kemudian menengadahkan wajahnya yang tampan.
Airlangga bergeming, diam seribu bahasa melihat sahabatnya berdiri disebrang kolam. Tatapan kosongnya berubah menjadi tatapan mengerikan seperti yang terakhir Agra Putra lihat. Penuh dengan kebencian yang mendalam.
“Ternyata dia belum berubah," gumam Agra Putra.
Untuk beberapa saat mereka bersitatap. Dan tak lama Airlangga yang menggunakan jubah panjang pergi meninggalkan Agra Putra. Agra Putra mengejar dan berjalan beberapa langkah dibelakangnya. Dia bisa melihat punggung Airlangga tampak begitu sendu. Kesedihan ternyata belum mereda di hatinya. Seribu tahun-pun dia melarikan diri, sepertinya tak akan sanggup menghilangkan sejuta kenangan tentang Gendis.
Keadaan hening, sebelum Airlangga mulai berbicara. “Untuk apa kau kemari?," tanya Airlangga pelan sambil menghentikan langkahnya.
“Aku merindukanmu," jawab Agra Putra sambil mengintip ekpresi apa yang ditunjukkan Airlangga.
“Cih," dengus Airlangga, merasa jijik mendengar perkataan Agra Putra barusan.
Keadaan hening kembali. Agra Putra menelan ludahnya sebelum bertanya. “Kau baik-baik saja pangeran?."
“Kau punya mata bukan," sahut Airlangga dingin
Agra Putra ingin sekali menyumpal mulut pedas sahabatnya itu. Agra Putra hanya bisa merekatkan gigi menahan amarahnya. “Aku bersyukur kau baik-baik saja. Apa kau tidak merindukanku?,” tanya Agra Putra.
Airlangga membalikkan tubuh menghadap Agra Putra. “Aku. Ingin. Melenyapkamu. dari muka bumi," Airlangga menjawab dengan nada penuh penekanan.
“Hem, kupikir amarahmu sudah mereda," Agra Putra menunjukkan tatapan kecewanya.
Airlangga menatap dingin Agra Putra. “Apa yang membawamu kemari?, Jika tidak penting, sebaiknya kau pergi," ujarnya.
Agra Putra menghela napas. “Aku ingin mengajakmu pulang. Urusan disini biar Yoga yang gantikan," ujar Agra Putra.
“Aku tidak akan pulang," sambung Airlangga. Dia membalikkan tubuhnya kembali. Dan melangkah pergi.
“Hey, kau akan pergi, tanpa nyambut kedatanganku?," teriak Agra Putra. Guyonan seperti ini biasanya berhasil mencairkan suasana canggung paska bersitegang diantara mereka. Namun kali ini sepertinya gagal. Airlangga menghentikan langkah. Seringai kesal tersemat dibibirnya. “Kehadiranmu justru membuatku muak, bagaimana aku menyambutmu," ketus Airlangga seraya pergi meninggalkannya.
Agra Putra mengayunkan tonjokan ke udara beberapa kali seperti seorang petinju. “Ingin sekali menjitak kepala pangeran songong itu," ujarnya.
@@@@
Malam harinya, Agra Putra mendatangi kamar Airlangga.
“Tookk,,,tokk.”
“Masuk," Airlangga tidak mengetahui yang mengetuk pintu adalah Agra Putra.
Airlangga duduk menyenderkan punggung ke nakas. Rambut panjangnya terurai dan kedua matanya terpejam sempurna.
“Simpan disitu saja Mbok," ujarnya tanpa memperhatkan siapa yang masuk ke dalam kamarnya. Tak ada sahutan, Airlangga hanya merasakan gerakan kecil di tempat tidurnya.
“Ini aku," jawab Agra Putra yang sudah duduk dipinggiran tempat tidur Airlangga.
Airlangga tersentak di tempat tidurnya, ketika melihat wajah Agra Putra menatapnya cukup dekat. “Mahapatih gila, sedang apa kau disini. Pergi sana," pekik Airlangga, dan tak sadar menoyor kening Agra Putra keras, membuatnya mendongkak ke belakang.
“Ya ampun leherku," rintihnya, sambil memegangi leher belakangnya.
Airlangga buru-buru turun dari tempat tidur. Dia berdiri dengan tangan kiri bertengger di pinggang dan tangan kanan menunjuk-nunjuk Agra Putra, yang masih duduk di kasur. “Kau cepat pergi," telunjuknya menunjuk Agra Putra kemudian ke arah pintu.
Agra Putra berdiri dengan sorot mata memelas. “Ada perkara yang ingin aku bicarakan denganmu," dua telapak tangannya menyatu di depan dada. Tanda memohonnya.
Airlangga menegaskan rahangnya, tidak mau menerima alasan apapun yang dikatakan Agra Putra. “Cepat pergi," teriak Airlangga, bola matanya hampir bergulir keluar.
“Aku Mohon pangeranku yang tampan," Agra Putra manggut-manggut kaya cepot.
“Apa kau tidak punya telinga. Kau tidak mendengarku," sengit Airlangga
Agra Putra memanyunkan sedikit bibirnya, sambil manggut-manggut. “Bagaimana aku tidak mendengar teriakmu sekencang itu. Aku hanya ingin bicara. Aku janji tidak akan lama," paksa Agra Putra.
Airlangga bertolak pinggang dengan rasa marah yang sudah membuncah. Airlangga paham betul karakter sahabatnya itu, yang tak pantang menyerah. “Baiklah, aku yang pergi," Airlangga melengos meninggalkan Agra Putra.
Agra Putra termangu melihat kepergian Airlangga. Dia menghela napas panjang dengan mulutnya, hingga bergetar. “Dasar keras kepala, kenapa diabaikannya terasa begitu menyakitkan," Agra Putra menepuk-nepuk dadanya.
@@@@
Keesokan paginya, Agra Putra masuk ke kamar Airlangga membawa teh hangat dan sedikit cemilan untuk sarapannya. Agra Putra menaruh nampan di meja dan duduk disalah satu kursinya. Dia memandangi Airlangga yang masih terlelap. Tak tega membangunkannya. Tak berselang lama, Agra Putra mulai merasa bosan. Matanya menyapu seisi ruangan, mengamati ukiran-ukiran khas kerajaan maja di kamar Airlangga. Dan tanpa dia sadari mulutnya mengerucut, mulai mengeluarkan siulan kecil.
Airlangga mulai membuka mata tanpa sepengetahuan Agra Putra. Airlangga terbangun karena cukup terusik mendengar suara siulan Agra Putra. Dia sengaja menatap dan membiarkan kekonyolan mahapatinya itu sebentar. Hingga sampai Agra Putra menemukan tatapan seramnya. Airlangga melempar cangkir dari atas nakas ke arahnya.
“Trok," cangkir itu mengenai kening Agra Putra. “Aaaahh," Agra Putra meringis sambil mengelus-ngelus keningnya yang sakit.
Airlangga tersenyum puas, kemudian bangkit dan berlalu keluar kamarnya.
Agra Putra bertolak pinggang melihat ke songongan Airlangga. Dia menendang udara dengan keras, melampiaskan kekesalannya. “Brengsek," ujarnya.
@@@@
Satu minggu berlalu. Airlangga terus mengabaikan Agra Putra. Jika Agra Putra datang – Airlangga pergi. Jika Airlangga melihat Agra Putra di satu tempat – Airlangga menghindar. Mereka seperti main kucing-kucingan, seperti sepasang kekasih yang sedang berselisih paham.
Agra Putra termenung di depan tungku sambil menghangatkan diri. Dia terlihat frustasi mencari cara untuk mengajak Airlangga bicara. Hingga salah seorang prajurit, yang sekaligus bawahannya memberikan infomasi. Bahwa Airlangga akan berburu siang ini. Agra Putra tersenyum tipis mendapatkan satu ide jitu.
Siang itu, Airlangga sudah berada diatas kuda hitamnya. Dia akan pergi bersama beberapa prajurit terlatih untuk berburu hewan di hutan. Saat sedang bersiap-siap, terdengar suara derap langkah kuda mendekati Airlangga.
“Taruhan, siapa yang bisa menangkap lebih banyak buruan. Permintaannya akan dikabulkan," tantang Agra Putra.
Airlangga menaikan satu alisnya, tanda meremehkan. Mengingat selama ini dalam urusan berburu, dia selalu menang melawan Agra Putra. “Jika aku menang, wajahmu harus sirna dari sini," ujar Airlangga.
“Dan jika aku menang, kita akan bicara," timpal Agra Putra.
“Setuju," kedua pemuda itu bersitatap.
@@@@
Siang itu keduanya mengendap-ngendap di balik rimbunnya pepohonan. Airlangga memejamkan mata, memfokuskan indra pendengarannya. Desiran angin dari pucuk daun di atas dahan, berbisik lirih di telinganya.
“trak," terdengar suara ranting patah terinjak kaki binatang. Mata Airlangga menajam dan melangkah sambil menyingkirkan dedaunan di sepanjang jalan. Di dekat pohon besar Airlangga memfokuskan tatapannya. Dia melihat seekor babi hutan sedang mencari makan. Segera dia mengaitkan anak panah pada busurnya. Kemudian meregangkan keduanya hingga jarak terjauh.
“Swingggg," panah melesat dan menancap sempurna di leher babi hutan. Seketika babi hutan itu menjerit kesakitan dan meregang nyawa. Airlangga tersenyum puas.
Perburuan berlanjut, tatapan tajam kedua pria itu menerobos sudut-sudut hutan. Tanpa disadari mereka berjalan saling mendekati. Agra Putra menaiki pohon besar untuk mendapatkan jarak pandang lebih luas. Sedangkan Airlangga merayap di atas tanah. Mata mereka sama-sama menemukan satu ekor rusa yang sangat besar. Keduanya begitu bersemangat. Airlangga sudah bersiap di posisinya, begitupun Agra Putra di atas dahan pohon.
“Cleb," satu anak panah menancap di leher rusa. Airlangga terperanjat, karena anak panahnya belum dilepaskan. Airlangga menoleh kesegala arah. Dan terdengar siulan dari dahan pohon. Airlangga mendongkak, dia melihat Agra Putra sedang melambaikan tangan dan mengangkat bahunya. Jari terlunjuk Agra Putra menunjuk rusa kemudian menunjuk dadanya, mengklaim bahwa rusa itu miliknya.
“Cih," Airlangga mendengus. Mengarahkan anak panah ke Agra Putra. Seketikan anak panah itu menancap di dahan tepat disamping leher Agra Putra. Agra Putra melotot, kemudian geleng-geleng kepala.
“KAU AKAN KALAH," teriak Agra Putra menggema ke seluruh hutan. Seraya mengacungkan jempolnya ke bawah. Airlangga tersenyum licik dan melengos pergi.
@@@@
Di malam hari seluruh prajurit dan dua pemuda itu berkumpul di kemah. Mereka menghitung seluruh hewan buruan. Airlangga membanting lima ekor binatang yang berhasil dia bunuh. Tak lama Agra Putra membanting empat ekor.
Airlangga menyeringai melihat hewan tangkapannya lebih banyak dari Agra Putra. Namun Agra Putra malah tertawa terbahak-bahak dihadapannya.
“Tunggu dulu, kau melupakan yang itu," Agra Putra menunjuk satu ekor rusa yang tadi mereka incar, tergeletak di pojokan. Otomatis membuat Airlangga kalah telak. Agra Putra tersenyum puas sambil berkacak pinggang. Sebaliknya Airlangga terlihat sangat kesal, menegaskan rahangnya yang kokoh. Dia memukul busurnya hingga patah menjadi dua. “Sial," sungutnya.
“Jadi kapan kita bicara?," tanya Agra Putra seraya melipat tangan di depan dadanya.
Airlangga menghela napas, kemudian melangkah pergi. “Ikuti aku," ujar Airlangga. Agra Putra mengikutinya dari belakang.
“Cepat katakan," ujar Airlangga tanpa membalikan tubuhnya.
Agra Putra berdiri menatap punggung Airlangga. “Sampai kapan kau akan disini. Apa kau tidak mencemaskan raja, permaisuri dan adikmu?," tanya Agra Putra.
“Mereka paham apa yang aku lakukan," ujar Airlangga, masih memunggungi Agra Putra.
“Mereka sangat mengkhawatirkanmu, karena terlalu terlama disini. Cobalah mengerti posisimu. Terlebih lagi disini teramat berbahaya. Masih banyak orang-orang kepercayaan pangeran Wasa disini, yang belum bisa menerima kekalahannya. Mereka yang mempunyai loyalitas tinggi mungkin akan mencelakaimu," tutur Agra Putra.
“Aku sangat mengerti risiko dari keputusan yang aku ambil," timpalnya singkat.
“Kau sekarang adalah pangeran tiga kerajaan. Kau harus lebih bijak dalam mengambil keputusan. Kau bukan lagi pemimpin kerajaan Asoka saja. Kini Taraka dan Maja pun butuh perhatianmu. Lantas bagaimana dengan kerajaan Taraka. Setelah pernikahan selesai dilaksanakan. Seharusnya kau menyambanginya terlebih dahulu bukan. Jangan karena perkara pribadi tentang hatimu. Kau melakukan semua ini sebagai pelarian semata. Kau harus menjaga keutuhan tiga kerajaan sekarang," penjelasan Agra Putra.
Airlangga memutar tubuhnya. Dia mengepalkan telapak tangannya. “Semakin lama, mulutmu itu membuatku ingin membunuhmu Agra Putra," sengit Airlangga.
“Kau bisa membunuhku," timpal Agra Putra singkat.
Airlangga maju kehadapan mahapatinya. “Baiklah, terima ini," Airlangga menghantamkan tonjokan ke wajah Agra Putra, hingga jatuh ke tanah. Darah mengalir dari pelipisnya yang robek.
Agra Putra bangkit seraya menyeka darah yang mengalir. “Ayo kita selesaikan," ucap Agra Putra sambil menyerang.
Baku hantampun terjadi. Airlangga mengarahkan satu tonjokan. Namun Agra Putra berhasil menunduk dan meninju perut Airlangga dengan keras. Hingga mundur beberapa langkah. Airlangga memegangi perutnya yang terasa sakit. Agra Putra kembali melesatkan satu tonjokan. Namun berhasil ditahan telapak tangan Airlangga. Airlangga memelintir tangan Agra Putra kebelakang tubuhnya, kemudian dengan sekuat tenaga menendang punggung Agra Putra.
Agra Putra meregangkan punggungnya. “Kau," tatap Agra Putra kesal.
Airlangga menyeringai. “Kenapa sakit?," tanyanya.
Agra Putra kembali menyerang. Tonjokan dan tangkisan mereka kerahkan. Kali ini kaki Agra Putra mengait kedua kaki Airlangga, membuatnya terjungkal ke belakang. Dan saat dia terlentang. Agra Putra menghujamkan satu tonjokan keras di pipinya. Dia sempat kelepasan dan kehilangan kendali. Beruntung dia bisa mengerem emosinya. Saat satu tonjokan akan mendarat di wajah Airlangga untuk kedua kalinya. Tangan Agra Putra mengambang tepat satu cm di atas mata Airlangga. Airlangga sama sekali tidak terpejam. Tak ada takutnya, dia justru melotot pada Agra Putra.
Agra Putra membanting tubuhnya sendiri, untuk disamping tubuh Airlangga yang terlentang. Dada keduanya naik turun, terengah-engah mengatur napas. Agra Putra mengelus-ngelus dadanya. Sambil komat kamit. “Sabar-sabar, nanti ketampananku akan luntur," ujarnya.
“Cih.” Airlangga mendengus.
Agra Putra melirik Airlangga dengan sudut mata. Dia menelan ludah, sebelum melanjutkan tipu muslihatnya. “Putri Nithia sedang sakit sekarang," ujar Agra Putra. Dia tidak mau melihat wajah Airlangga. Takut kebohongannya terbongkar.
Airlangga duduk bersila di samping Agra Putra. “Pembohong," ujarnya, sambil menarik pundak Agra Putra untuk menatapnya.
Agra Putra mengibaskan lengan Airlangga dari pundaknnya. Seperti gadis yang merajuk pada kekasihnya. “Kapan aku pernah berbohong padamu," ujarnya, sambil melet-melet memunggungi Airlangga.