Setelah urun rembuk selesai, Airlangga mendatangi pondok tempat dirinya dan Gendis bertemu. Dia duduk termenung, kemudian memandangi setiap sudut pondok. Dimana di salah satu pilar penyanganya. Terdapat sebuah coretan tangan Gendis, berbentuk hati yang kini telah tertutupi lumut. Airlangga meraba gambar itu dan airmata mengucur deras dari matanya.
“Gendis apa yang harus kakang lakukan." Airlangga menengadahkan wajah, dan tak sengaja melihat sebuah lipatan kertas di sudut atap. Airlangga menyeka airmata dan mengambilnya. Airlangga membuka lipatan dan ternyata sebuah surat dari Gendis.
Terkasih Pangeran Airlangga yang kucintai......
Cintaku.....Apakah kau baik-baik saja?
Aku yakin jawaban lirihmu pasti mengatakan tidak.
Aku tahu hatimu begitu terluka sekarang.
Kau pasti lebih suka menyendiri dan begitu membenci semesta.
Cintaku....aku begitu mengenalmu
Aku mohon hentikan,, janganlah kau berkawan dengan rindu.
Jangan biarkan kepergianku menyisakan kelam dihidupmu.
Karena itu membuatku bersedih dalam kesendirianku.
(Alinea pertama dan kedua membuat Airmata menggenang di sudut mata Airlangga).
Cintaku....maafkan telah mengecewakanmu.
Aku tahu hatimu meronta ingin berlari bersama, menjauhi dunia yang menentang kita.
Aku tahu kau hanya inginkan diriku bahagia.
Aku pun inginkan kita bahagia.
Namun aku tak ingin diriku melukaimu dengan pilihan kita yang salah. Untuk bahagia.
Cintaku....Maaf...harus meninggalkanmu lebih dulu, meski hatiku pilu.
Tak ada yang bisa kuberikan, selain cinta yang tertanam dalam hati
Itupun harus kubawa pergi.
Cintaku....walaupun ragaku tak lagi bersamamu,
Cintaku akan selalu abadi untukmu.
Aku mohon cintamu jangan ikut mati, kau harus terus berjuang.