Airy

Jenny C Blom
Chapter #2

Penyakit Cinta

Aku tidak mengerti, kenapa tiba – tiba aku berada di sini. Sepanjang jalan yang aku lewati hanya lorong putih tanpa satu benda atau pun manusia. Semakin aku melangkah, semakin aku merasa ngeri. Bulu kudukku berdiri. Rasanya aku bisa mendengar detak jantungku sendiri yang berdebar saking kencangnya karena ketakutan.

Seketika juga aku panik bercampur bingung.

Tidak. Ini tidak mungkin terjadi. Aku belum siap untuk ini. Tolong bangunkan aku! Tolong! Aku pasti hanya bermimpi. Tolong....

Sontak aku membuka mataku dan langsung terduduk di tempat tidurku. Dadaku naik turun seiring nafasku yang memburu. Aku memandangi seisi kamarku yang gelap untuk memastikan kalau aku memang benar –benar berada didalam kamar. Aku bisa mendengar bunyi detak jam berbentuk panda di dinding. Mataku mulai beradaptasi dengan kegelapan dan bisa melihat seisi kamarku. Kemudian aku bernafas lega.

Aku bangkit dari tempat tidurku lalu berjalan menuju pintu balkon kamar yang menghadap tepat dan tak jauh dari tempat tidurku. Kuputar kenop pintu yang sengaja tak kukunci itu kemudian kurasakan udara malam yang berhembus ketika pintu kubuka.

Aku melangkah ke balkon lalu memandang langit yang gelap. Bulan hanya mengintip dibalik awan. Bintang pun juga tidak terlalau banyak terlihat. Aku bisa hitung hanya ada 3 bintang yang berkerlap – kerlip bertebaran di langit.

Pandanganku teralih kearah bawah balkon ketika mendengar motor matic yang di kendarai seorang pria di jalan disusul mobil sedan berwarna merah tak jauh di belakangnya.

Bulan, bintang, udara dingin malam, mobil, motor dan manusia itu sendiri, aku tidak bisa melihat ataupun merasakannya tadi di dalam mimpiku. Sungguh menakutkan rasanya hanya meraskan kehampaan. Dan tiba –tiba aku ingat dengan kelakuan burukku waktu di pesta Anti tadi.

Aku buru-buru pamit pulang setelah menghindar dari Deca yang kelihatannya berusaha untuk mengajakku untuk mengenal lebih dekat. Mungkin wajahku tadi sangat terlihat kalau aku tidak menyukainya.

Mungkin aku memang tipe cewek yang aneh, bodoh ataupun angkuh. Aku tidak perduli apa yang orang katakan. Bahkan aku yakin Anti juga pasti kesal melihat kelakuanku tadi. Kutarik nafas panjang sambil memandang langit hitam yang bertabut bintang.

Sungguh aku tidak bermaksud sombong, tapi dalam hidupku saat ini ada yang jauh lebih penting daripada buru – buru mencari laki-laki tampan untuk pasangan hidupku. Tapi mungkin, sikapku memang sangat keterlaluan tadi.

“Twinkle-twinkle little star. How i wonder what you are....”

Aku tersentak kaget lalu memandang ke arah asal suara di jalan. Seorang laki-laki berkulit cokelat dan memakai pakaian serba hitam tampak mendongakkan kepalanya ke arahku sambil meneruskan nyanyiannya tadi.

Wajahnya tidak terlalu jelas karena tertutup topi. Apalagi dia berdiri dibawah pohon Mangga kecil yang di tanam di dekat pagar rumahku sehingga dedaunan yang lumayan rindang menutupi wajahnya. Tapi aku bisa melihat matanya.

Bulu kudukku merinding ketika melihat matanya yang terus menatapku setelah nyanyiannya berhenti. Aku langsung berbalik memasuki kamar lalu menutup pintu balkon dan menguncinya rapat – rapat.

Meskipun laki – laki tadi terlihat seperti hantu atau iblis yang menyeramkan, bukan itu yang kutakutkan. Aku lebih takut kalau dia adalah seorang penjahat atau preman yang tengah aku pergoki akan melakukan kejahatan.

Tapi....kenapa dia tadi bernyanyi lagu anak – anak dari luar negeri itu dengan suara yang sangat lantang?

Lebih parah lagi. Pasti dia adalah orang tak waras yang sedang berjalan – jalan di daerah sini. Dan lebih menyeramkan lagi, kalau orang gila itu nantinya mengincarku.

*****

Bunda menaruh piring dengan tiga buah telur goreng diatasnya ke meja makan ketika aku berjalan menuruni tangga dari kamar. Wangi farfum yang di pakai Bunda lebih dominan daripada aroma nasi goreng yang dimasaknya.

Aku memandang Bunda yang sudah berpakaian rapi dengan memakai rok dan atasan kemeja yang sama-sama berwarna orange. Cocok dengan warna kulitnya yang tidak terlalu gelap dan bentuk tubuhnya yang langsing.

“Tadi malam dengar orang gila bernyanyi tidak, Bunda?” kataku sambil duduk di kursi makan lalu mengambil piring berisi nasi goreng dan telur goreng yang telah di sediakan Bunda di meja.

“Orang gila?” ulang Bunda dengan dahi mengernyit sambil memandangku.

“Aku melihatnya dari balkon kamar. Orang itu menyeramkan, Bunda.”

“Bunda tidak dengar, terlalu nyenyak tidur mungkin,” jawab Bunda sambil merapikan peralatan dapur kemudian mencuci tangannya lalu berjalan mengambil tas kemudian mencium keningku. “Bunda pergi dulu ya.”

“Hati – hati, Bun,” kataku sambil mengunyah nasi goreng di mulut.

Bundaku adalah teman, saudara dan orangtua tunggalku. Aku tidak punya saudara dan seorang ayah. Ayah telah pergi menghadap yang kuasa karena penyakit jantung ketika aku berusia 15 tahun, 10 tahun yang lalu. Sejak itu, Bunda selalu bekerja keras untuk membiayai hidupku. Menjadi seorang manager di perusahaan ternama.

Hidup hanya berdua di rumah yang cukup luas ini rasanya begitu sepi. Dulu aku ingin sekali bunda bisa menikah lagi dan memberikanku seorang adik. Namun, Bunda tidak terlalu mementingkan hal itu. Baginya, aku yang paling penting.

Aku melanjutkan pekerjaan Bunda, membersihkan rumah sebelum berangkat ke tempat kerja. Aku terkejut ketika tiba – tiba melihat Fani masuk kerumahku dengan wajahnya yang sembab. Kedua matanya bengkak dan tampak pucat.

“Fani !” seruku dengan nada terkejut.

Fani langsung memelukku sambil menangis sesenggukan.

“Ada apa?” tanyaku.

Lihat selengkapnya