Airy

Jenny C Blom
Chapter #3

Kesombongan Manusia

Farah datang ke rumah beberapa menit setelah aku menelponnya. Dia terlihat khawatir saat melihat Fani yang menangis sembari terbaring dan menyandarkan kepalanya di pangkuanku.

Melihat keadaan Fani seperti ini, aku merasa marah pada Irfan. Selama hampir 2 tahun menjalin hubungan cinta, kenapa baru sekarang beralasan tidak di setujui orang tua? Toh Fani juga beberapa kali di ajak ke rumah Irfan dan dia tidak merasa ada masalah. Dulu Fani di kejar-kejar cintanya sekarang Fani di buang seolah tiada arti. bahkan melihat keadaan tubuhnya yang lemah saja, Irfan juga sudah tidak mau tahu.

“Aku kan sudah bilang jangan terlalu di buat beban, Fan,” kataku.

Fani hanya terisak.

“Jodoh sudah ada yang mengatur, Fan,” sahut Farah. “Mungkin ini sudah jawaban Tuhan kalau Irfan bukan pria baik yang kamu pikirkan selama ini. Aku sangat mengerti perasaanmu. Rasa sakit itu, aku sangat mengerti.”

Aku memandang wajah Farah yang terlihat sedih mengingat pengalaman masa lalunya yang pahit. Namun karena memiliki iman yang kuat, dia bisa melewati semua.

“Semua pasti akan berlalu, Fan. Pasti,” ucapku. “kami antar kamu pulang ya. Badanmu terlalu lemas untuk perjalanan pulang. Atau kamu mau tidur di rumahku saja?”

Fani menegakkan badannya lalu mengeleng pelan. Sungguh tidak tega melihatnya begitu lemas dan pucat. Tatapan matanya tampak kosong dan lesu.

“Aku mau di rumah saja,” kata Fani dengan nada lemah.

“Aku khawatir orangtuamu nanti malah ikut sedih melihatmu seperti ini,” tukas Farah.

“Tidak apa-apa,” jawab Fani.

“Yang penting selalu ingat untuk berdoa, Fan,” kataku.

Fani hanya mengangguk dengan lesu.

*****

Aku menengadah, menatap ke langit yang di hiasi kerlap-kerlip bintang bercahaya. Bau udara yang bercampur tanah karena habis di guyur hujan yang tidak terlalu deras sangat dominan. Aku paling senang menikmati suasana malam ini di balkon kamarku. Untung saja, pria gila itu sudah tidak berkeliaran di sekitar sini.

Sudah 3 hari ini, aku tidak bertemu Fani. Aku belum memahami seberapa hancur perasaannya, seberapa sakit hatinya. Hanya yang kutahu, rasanya menyakitkan namun entah berapa banyak.

Sesedih apapun, aku merasa tidak percaya bisa melihat raut wajah putus asa, begitu lemah menghadapi hidup pada diri Fani yang aku kenal sabar dan sangat percaya akan Tuhan.

Aku bahkan merasa khawatir Fani akan melakukan hal-hal yang di luar logika karena putus asa. Aku berkali-kali mengirimnya sms dan menelfonnya, namun jawaban Fani hanya singkat melalui sms. Dia ingin sendiri dulu. Benar- benar mengkhawatirkan, namun aku hanya bisa berdoa semoga Fani tetap kuat.

Bunyi lagu Some Old Brand New You dari A1 terdengar mengema di kamarku. Nada dering dari hpku. Aku segera masuk ke kamar dan mengambil hp yang aku letakkan di tempat tidurku. Anti yang menelfon.

“Hallo," kataku.

“Hallo, Ar. Bisa keluar tidak malam ini?”

“Kemana?” tanyaku sambil melirik jam di dinding. Jam setengah delapan malam.

“Pokoknya kamu harus datang. Kita makan malam bareng.”

Perasaanku tidak enak.

“Dengan siapa?”

“Aku dan Rully. Ada Deca juga. Sebentar saja kok.” Nada suara Anti terdengar bersemangat dan gembira. Seolah dia sedang memberiku kabar gembira.

Aku hanya diam. Bingung. Sebenarnya malas untuk pergi. Apalagi menurutku ini benar- benar acara yang konyol karena ada Deca. Aku menimbang-nimbang sesaat, kurang lebih aku sudah bisa menebak yang akan terjadi. Sangat menyebalkan harus di jodoh-jodohkan seperti ini. Tapi aku bisa apa? Aku tidak suka menyakiti perasaan Anti.

Lihat selengkapnya