Oktober, 2019
Sabtu pukul dua belas siang bangku dan meja yang dipenuhi oleh anak muda, mulai dari sepasang kekasih yang begitu romantis, berasa dunia milik berdua, dan ada juga yang serupa dengan Aisha dan teman-temannya berkumpul dengan teman sepermainannya, mereka asik menikmati santapan dan musik di Cafe Koba Co. Canda tawa menggema di kepala. Wajah-wajah bahagia yang sangat jujur, meskipun tidak tahu ada berapa dan siapa di antara mereka yang sedang berbohong menutupi lukanya. Aisha yakin pasti ada, sebab ia pun merasakan hal yang sama. Tertawa sampai tak bisa berhenti di samping kelima teman-temanku hanyalah dusta. Kebohongan yang ia lakukan bukan semata-mata karena ia menjaga hati mereka, dan tak ingin membebani pikiran mereka lagi, tetapi karena ia sudah muak dengan dirinya sendiri. Apalagi saat Ali mulai membuka topik pembicaraan tentang kelanjutan hidup mereka masing-masing yang sudah resmi menjadi sarjana sastra pada dua bulan lalu.
“Eh, nggak kerasa ya udah lama kita jadi penganggur. Rencana kalian mau kerja di mana nih?”
“Ya, kan kita baru revisian dan ngambil ijazah, jadi wajarlah masih nganggur.”ujar Bella yang sibuk mengunyah.
“Yeee... jangan malah keenakan kamu teh, Bel!”timpal Hilman menatap sinis ke Bella.
“Ya, biasa aja atuh ngomongnya Hilman! Kamu coba udah ada rencana ngelamar kerja di mana?”tungkas Bella dengan nada tinggi.
“Yeee... aku mah udah masukin lamaran ke Radar Bogor.”ucap Hilman semakin meninggikan suaranya.
“Udah atuh eh, ribut mulu kalian berdua mah. Jodohin juga nih lama-lama.”seru Hani melerai Bella dan Hilman.
“Guys! Do’ain aku ya besok aku mau interview di sekolah daerah Tajur.”sambung Silla yang sedari tenang menyantap nasi goreng.
“Hah? kamu jadi guru? Ih kok kamu baru bilang?!”
Silla memang yang paling pendiam dan tertutup dibanding yang lainnya, ia jarang menceritakan masalah hidupnya pada kami. Kejutan yang diberikan Silla tentu membuat mereka ikut bahagia, akhirnya salah satu dari mereka sudah bisa menentukan jalan hidupnya. Aisha dan teman-teman bertanya banyak hal pada Silla perihal pekerjaannya, ia ditawari siapa, dan alasannya menerima tawaran tersebut.
Sampai akhirnya pembicaraan mereka dalam membuat ide-ide yang masih hangat bermunculan di kepala masing-masing itu tercurahkan. “Ah, aku mau mencoba mewujudkan mimpi aku, bisa kerja di Korea.” Mimpi, satu kata yang terlontar dari mulut Ali membuat kepala Aisha tiba-tiba berisik dengan setumpuk pertanyaan “Apakah aku masih memiliki mimpi?” aku mulai menelan ludah ketika Hani yang sangat menggemari boy band Korea itu pun melayangkan kedua tangannya ke tangan Ali yang ikut menyambut “Ayo, kita wujudkan!” Bella yang sedari tadi terdiam, ia yang ada di sampingku melirikku sembari tersenyum, kemudian ia mulai mengeluarkan suaranya “Karena aku senang bertanya dan ingin tahu setiap permasalahan di negeri kita tercinta ini, aku mau menjadi wartawan.” Kata pujian terdengar semakin keras di telinga Aisha. Bagaikan orang asing Aisha hanya terdiam menatap mereka yang mengutarakan mimpi-mimpinya. Lirikan mata Hilman mengarah kepadanya, Hilman pun memerintahkan semuanya diam, lalu bertanya pada Aisha. “Kalau kamu punya mimpi apa?”