Aisyah Humaira. Dia gadis berparas cantik dengan rambut panjang bergelombang yang tertutup di balik hijab panjang menutupi dadanya. Lekukan tubuhnya sangat indah, namun hal itu dia sembunyikan di balik baju yang selalu tampak kelonggaran di tubuhnya.
Dia bukan putri Abu Bakar atau istri Rasulullah seperti di lagu yang sedang booming sekarang. Dia hanya gadis desa yang tengah menjalani profesinya sebagai seorang pelayan restoran di desanya.
Sebuah pulau kecil yang dikelilingi lautan dan sebuah desa yang masih sarat budaya serta keindahan altar ciptaan Tuhan yang belum terjamah jaman. Pulau asri nan teduh yang biasa disebut sebagai pulau garam.
Madura, pulau kecil dengan sejarah panjang yang sarat seni dan pengaruh Islam yang kuat. Di pulau dengan empat kabupaten itu Sampang, Bangkalan, Pamekasan dan Sumenep. Terdapat sebuah desa di kabupaten Sumenep yang mencipta sejarah bagi Aisyah.
Aish panggilan keluarga untuknya, dia terlahir menjadi anak pertama sepasang suami dari keluarga sederhana. Dia memiliki dua saudara kandung, laki-laki dan perempuan. Sementara bapaknya telah meninggal sepulang mengantar Aish ke kampus.
Sejak itulah gelombang dan badai kehidupan merajai takdirnya, Aish yang sebelumnya seorang mahasiswi di Fakultas PBA. Dia melepas status yang sejak lama diimpikannya demi mengalah pada adiknya, Zahra.
Aish berhenti kuliah, demi mendukung adik perempuannya yang bercita-cita menjadi dokter. Bagi Aish, kesuksesan Zahra adalah kesuksesan dirinya dan keluarga. Bagaimana tidak, jika dibandingkan dengan Zahra kecerdasan Aish masih jauh di bawahnya, sehingga dia memutuskan berhenti kuliah dan turut membantu biaya adiknya. Terlebih setelah bapaknya meninggal, perekonomian mereka naik turun tidak stabil.
Zahra sendiri tidak memaksa untuk masuk di fakultas itu, baginya selama dia tetap melanjutkan sekolahnya itu sudah cukup, sebab dia sadar mereka orang kampung dengan keterbatasan ekonomi. Sudah bisa kuliah adalah sebuah kebanggaan untuknya. Namun tidak bagi Aish, Zahra harus masuk di bidang yang diinginkannya. Menurutnya, segala sesuatu yang dilakukan tanpa cinta akan berat dan membosankan untuk dijalaninya.
Aish sangat mendukung mimpi mulia sang adik, menurutnya Zahra dengan kemampuannya pasti bisa meraih apa yang dia inginkan. Sebab itulah, Aish mengalah dan dia menanggung semua biaya kuliah Zahra di Surabaya.
Sementara adik laki-lakinya, Zafran memilih merantau ke kota dan tidak meneruskan sekolahnya. Setamatnya dari SMA di kampungnya, Zafran memaksa untuk diizinkan merantau ke Jakarta. Meski sebelumnya, sang emak melarang, namun pada akhirnya beliau mengalah dan memberikan restu pada anak lelakinya yang cukup keras kemauannya itu.
Dua tahun setelah melepas Zafran dan membekalinya do'a, putra bungsu dengan ketampanan yang nyaris sempurna itu pulang kampung. Dia membawa seorang perempuan cantik dengan penampilan yang nyaris menyamai artis-artis di TV.
"Ma kenalin, Ini Renata."
"Ma?" sejak kapan lelaki tambun ini memanggil emaknya dengan sebutan Mama.
"Hai Tante, aku Rena." Gadis berkulit putih dengan lekukan tubuh yang sengaja diperlihatkan itu menyalami emak.
"Silahkan masuk!" Emak yang selalu sopan dengan siapapun mempersilahkan masuk.