Bulan Januari tepatnya tanggal sebelas pada 21 tahun yang lalu, seorang anak laki-laki lahir dan hidup bahagia di dunia ini.
Dikaruniai dua orang kakak perempuan yang cantik. Lahir dari pasangan beda generasi yang sangat kontras sifatnya. Bapak yang pendiam, sedang Ibuk yang cerewetnya luar biasa.
Anak laki-laki berambut lurus berponi datar. Tubuh cungkring. Kecil. Berkulit... Yah, anggap aja sawo matang—tapi nggak dekil kok. Mata bulat dengan alis tipis. Kebanggaannya cuman satu; bulu mata—yang panjang dan tebal sampai-sampai bisa nahan 3 buah batang korek api. Amazing? Nggak kok, biasa aja!
Seperti yang terlihat di foto itu. Itulah aku, Narendra, yang berdiri sejajar dengan dua kakakku. Mira pada urutan pertama, Nuri berada diantara kami, dan aku urutan terakhir paling pendek dan paling ceria gayanya. Untungnya gigi susuku rapih dan utuh, jadi sedikit bangga seenggaknya di masa kecilku aku nggak ompong!
Foto lama. Mungkin saat itu aku masih umur tiga tahunan. Sekitar tahun 2002, Tasya belum lahir waktu itu.
Sekarang, sudah lewat 21 tahun berlalu. Tepatnya bulan Agustus di tahun 2020 ini. Anak kecil bergigi susu rapih, berponi datar, pendek, cungkring, dan berkulit gelap itu kini sudah bermetamorfosis menjadi perjaka yang tampan, rupawan, menawan, mempesona luar dalam!
Narendra yang dulu bukan Narendra yang sekarang. Nggak ada lagi tuh, Narendra cungkring, Narendra ceper, apalagi Narendra item dekil. Yeh, semuanya sudah terhapuskan. Berganti dengan Narendra yang badannya sixpack, tinggi mengesankan, dan kulit putih bak porselen. Oke, ngaku, itu hoax. Aslinya—plis, jangan bilang-bilang ke yang lain apalagi Embun—aku bertubuh biasa, nggak sixpack tapi... Sebenernya otot dadaku sudah terbentuk, tadinya, tapi gara-gara dietku gagal akhirnya balik lagi ke onepack alias perut (sedikit) membuncit. Tenaaang, mulai bulan depan aku fitness kok jadi nggak perlu khawatir onepack itu bakalan bertahan lama.
Bagian kulit yang putih bak porselen, sebenernya itu juga hoax. Sama kayak kecil dulu, kulitku nggak pernah berubah. Masih kecoklatan, sawo matang tapi nggak dekil yaaa! Kalo kata Ibuk sih kulitku ini kulit seksi yang bikin cewek-cewek klepek-klepek, tapi nggak berlaku kalau cuman si Mbok Iyem—tukang jamu langganan Ibuk—yang naksir daku. Alamak, yakali ditaksir janda lima anak yang anaknya hampir lulus sekolah semuaa!
Sudahlah.
Kembali lagi padaku. Pada kenyataan yang ada di diriku. Yah, dari sekian banyak kekurangan ada satu hal lain selain bulu mataku yang bisa aku banggakan, yaitu: tinggi badan. Tinggiku saat ini sudah mencapai 179 senti nyaris 180 senti. Bukankah itu angka yang fantastis mengingat rata-rata pria indonesia hanya mencapai 170-an saja? Hehe.
Kalau soal otak, nggak usah diragukan. Aku sangat pintar (dalam bidangnya). Banyak keahlian yang aku bisa. Aku ahli dalam berbagai macam olahraga seperti; basket, futsal, tenis, renang, dan bulu tangkis. Aku pun ahli dalam menggambar, memasak, dan satu hal lagi—membuat orang yang kucinta bahagia! Asoy~
Siapa yang kucinta? Ini selain Tuhan dan keluargaku yaa.
Dialah...
"Edha, anterin gas!"
Aku menghela napas. Suara Ibuk bener-bener tak bisa tertahan. Menggema. Menggetarkan alam dunia. Lebih lagi alam sadarku.
Seperti biasa, Ibuk dengan matanya yang melotot saat mendapatiku nggak langsung sigap saat disuruh. Aku mengkeret. Meski sudah hidup lebih dari 21 tahun di bawah pengawasan Ibuk, tapi tetap saja saat Ibuk melotot begitu aku... Ngeri!
Akhirnya aku berdiri. Menghampiri Ibuk yang duduk santai di belakang meja yang biasanya menjadi tempat pembayaran. "Ke mana?"
"Bu Arifin, blok G7 No. 11 yang rumahnya cat pink itu loh,"
Aku mengangguk paham. Dalam hati tersenyum senang luar biasa. Akhirnya tiba juga saat aku ketemu dia.