Panggil saja, Embun.
Atau lengkapnya: Embun Pagi Musim Semi. Nama yang agak aneh sebenarnya, tapi menjadi unik begitu aku sadari. Akhirnya nama itu yang berhasil mengambil separuh perhatianku sejak bertahun-tahun yang lalu hingga kini.
Dialah cinta perdanaku!
Gadis itu cantik. Dan memang sejak kecil dia sudah cantik. Kulitnya kuning langsat, putihnya khas gadis Asia. Rambut ikal tanpa poni. Mata biji almond. Hidung yang cukup—nggak mancung atau juga pesek—sedang-sedang saja lah. Bibirnya tipis berwarna merah natural. Kentara, aslinya dia emang cerewet tapi nggak banget kok.
Cerewet macam Ibuk, tapi wajahnya imut bak peri. Dan itu yang malah bikin aku gemas sama dia!
Oke. Aku akan cerita. Titik semuanya bermula.
Berawal dari...
Kira-kira di pertengahan Oktober, 2007.
Musim hujan sudah dimulai sejak beberapa bulan lalu. Iklim makin nggak menentu akibat adanya efek rumah kaca atau global warming. Sekolah juga sudah mulai melakukan penyuluhan dengan mempelajari hal itu yang telah dimasukan menjadi bagian dari materi IPA.
Aku masih SD, baru saja naik kelas 6 Juli kemarin. Tau-tau sekarang udah sibuk UTS aja.
Mumet aku denger ocehan Ibuk soal belajar, belajar dan belajar. Katanya biar pintar tapi buatku kalau kebanyakan belajar kayak gitu malah bikin otakku mengkeret. Akhirnya aku jadi bodoh, nggak bisa jawab soal!
Sekarang aku lebih pilih lari bermain bersama teman-teman. Main futsal ditengah-tengah hujan dan lapangan yang becek.
Seruuu! Karena nggak ada buku lagi di depanku. Gumoh aku, kalo terus-terusan dijejali buku begitu. Nggak perlu lah belajar terus, nanti otaknya gosong loh!
"Eh, ada Embun tuh!" suara Aan mengintrupsi. Membuat perhatian kami teralihkan pada sosok anak perempuan yang sedang berteduh di bawah pohon rimbun yang cukup dekat dengan lapangan.
Seragam merah putihnya sudah basah kena curahan air hujan. Kaos kaki putih tingginya juga sudah berubah warna kecoklatan akibat noda-noda air kubangan di jalanan.
Rambut kepang duanya yang tertutup topi SD itu juga sudah berubah lepek. Kalau sudah begitu, kenapa nggak hujan-hujanan aja sekalian? Kenapa malah pilih berteduh yang bisa meningkatkan resiko masuk angin??
"EH, EMBUN PAGI MUSIM HUJAN NGAPAIN LU??" suara Aan menggema. Ditengah-tengah luasnya lapangan dia berteriak-teriak. Tanpa peduli mulutnya yang bercuap-cuap itu akan kemasukan air hujan yang bercampur polusi.
Semua anak tertawa. Terbahak. Termasuk aku akibat ulah Aan. Atau lebih karena seruan yang dipanggil Aan. Yakali aja, embun pagi musim hujan? Hahaha.
Anak perempuan itu menatap kami dengan mata memicing tajam. Aan berdiri tepat di sebelahku, membuatku merasa ikut-ikutan ditatap tajam olehnya.
"MUSIM SEMI TAU, BUKAN MUSIM HUJAN!!" dia berseru keras-keras meralat panggilan Aan padanya.
Baru kusadari kalau panggilan Aan pada dia tadi adalah semacam bentuk ejekan. Untuk kali kedua aku nggak mau tertawa lagi.
"SEKARANG MUSIM HUJAN KALI," balas Aan nggak mau kalah.