Lomba puisi berakhir. Meskipun gue dan Siska nggak meraih gelar juara, tapi setidaknya sekolah gue berhasil masuk lima besar. Ya, kami berdua berhasil meraih juara harapan pertama. Tapi biarpun cuma sekedar juara harapan, gue dan Siska disambut layaknya pahlawan perang sewaktu upacara bendera.
Buat gue gelar juara yang gagal diraih nggak terlalu penting. Yang penting adalah, harapan gue untuk bisa lebih dekat sama Siska semakin nyata. Kita jadi sering makan di kantin bareng, duduk di lapangan bareng, sampe kalo mau pulang pun kita selalu bareng. Tapi cuma sampe gerbang aja, dia gak pernah ngijinin gue buat pulang bareng. Karena dia tau jarak rumah gue sama dia, berjauhan. Itu pun taunya waktu sehabis mengantar dia pulang, gue gak masuk sekolah karena sakit.
Selama masa PDKT, secara diam-diam gue belajar main gitar. Tapi ini beneran gitar, bukan Guitar Hero yang di game itu.
Sebenarnya ini sindiran dari teman-teman sekelas gue. Mereka bilang kalau mau diterima pas nembak itu, harus istimewa. Mainin lagu paling romantis di depan dia, pasti peluang bakalan diterima semakin besar.
Kata-kata mereka terus terngiang di telinga gue, membuat gue jadi semangat dan lebih sering buka-buka internet cuma buat belajar mainin lagu yang menurut gue romantis.
Akhirnya di suatu malam Minggu yang cerah karena bulan terlihat dengan terang, gue datang ke rumah Siska dengan modal nekat.
Karena sebenarnya gue belom jago banget main gitar, tapi tekad gue udah bulat buat mainin lagu More Than Words di depan dia langsung.
Malam itu kebetulan rumahnya lagi sepi. Orang tuanya sedang menghadiri acara ramah tamah dengan manajer baru di tempat kolega ayahnya, yang konon katanya ada menteri juga hadir di acara itu.
Dengan gitar yang gue pinjam dari teman gue semasa kecil sampe sekarang, gue mulai memetik senar sehingga muncul suara-suara merdu musik pembuka lagu More Than Words.
“Saying I love you, is not the words I want to hear from you…” Waktu lagi asik-asiknya gue nyanyi, tiba-tiba pintu dibuka. Detak jantung gue yang udah sedari tadi berdebar cepat, semakin bertambah cepat. Apalagi ketika gue lihat ada yang keluar dari pintu.
“Maaf, Mas. Dilarang ngamen di sini, atau saya laporkan Pak RT nih!” kata pemilik suara itu. Seorang wanita dengan logat jawa yang kental, usianya kira-kira empat puluh tahunan, yang ternyata itu adalah asisten rumah tangganya Siska.
“Waduh, saya bukan mau ngamen…” Gue berusaha menjelaskan sambil menghentikan alunan suara gitar. “Saya cuma mau nyanyiin lagu buat Siska.”
“Oalaaah, bilang dong kalo nyari non Siska. Sebentar yah mas, saya panggilin dulu non Siskanya.” Kemudian wanita itu masuk ke dalam rumahnya lagi.
Tidak berselang lama, Siska keluar dengan wajah yang lugu. Rambutnya yang panjang sedang dikuncir dua, berbalut kaos tanpa lengan dan juga celana yang sangat pendek.
Melihat Siska berpakaian seperti itu, gue malah jadi gugup dan tidak bisa berkata apa-apa. Boro-boro main gitar, buat ngomong aja susah. Tapi dengan menguatkan hati, iman dan niat. Perlahan gue kumpulin keberanian dalam hati buat memainkan lagu buat Siska.
Tapi bukannya benar, lagunya malah berantakan. Dia pun hanya tertawa kecil, lalu mengajak gue buat masuk ke dalam rumahnya.
“Kamu tuh bisa main gitar nggak sih, Tom?” tembaknya. Pelan sih, tapi kan tetep aja. Dalem.
“Se--Sedikit sih. Soalnya baru belajar, khusus buat kamu.”