Dikamar yang luas dengan interior mewah, seorang gadis masih bergeming di kasur empuknya. Jendela yang tertutup gorden membuat cahaya tidak bisa membias masuk. Kamar itu tidak seperti biasanya, tidak ada lagi dering panggilan juga dering pesan, bahkan suara gelak tawa tidak lagi menghiasi kamar dengan sentuhan warna biru di dindingnya. Bahkan tiada maid yang diperbolehkan masuk untuk membangunkan nona mereka.
Gadis itu masih menutupi dirinya dengan selimut tebal berbulu, hanya rambut coklat bergelombangnya saja yang terlihat, dan itu sangat berantakan. Bahkan pendengarannya menolak perduli dengan panggilan para maid yang masih setia mengetuk pintu nonanya itu, termasuk Bila yang sangat cemas terhadap kondisi sang nona. Kelopaknya yang bengkak juga sungkan untuk membuka. Tangisannya semalam sudah membuat wajahnya kusut juga berantakan dan itu berhasil membuat kakinya malas untuk melangkah. Semalam adalah hari yang tidak akan pernah dia lupakan, pertama kalinya dia dipatahkan sepatah-patahnya, oleh orang yang selalu dia cintai dan perjuangkan. Mungkin inilah waktu bagi Ciara untuk beristirahat dari perjuangan yang hanya membuahkan rasa sakit di hatinya.
"Menyebalkan!" Teriaknya sembari merubah posisi menjadi duduk.
Para maid yang mendengar teriakan itu hanya bisa menarik alisnya terkejut, tanpa bisa berbuat apapun. Tiba-tiba seseorang menepuk pundak Bila, hingga Bila terpaksa menoleh.
Beberapa detik diam terduduk, tangannya menyambar bantal berbentuk doraemon dan melemparkannya jauh-jauh. Satu cairan bening itu merembes keluar dari kelopaknya, bibirnya mengerucut, tangannya beralih menjambak rambut coklatnya. "Hei Cira...buka pintunya sahabat kamu ini sudah di depan pintu!" Teriak seseorang dari balik pintu coklat megah.
Ciara benar-benar kenal suara itu, maniknya memicing tak suka. Saat ini dia sedang tidak ingin bicara dengan sahabat anehnya, bisa saja dia akan mendapat ceramah panjang bahkan juga kata-kata yang terangkai indah. Ciara bersikukuh untuk tidak membuka pintu juga tidak ingin melangkah ke arahnya, bahkan mulutnya tak bersedia mengeluarkan suara.
Seseorang dibalik pintu mulai tidak sabar, namun hembusan napas panjang berhasil menenangkannya. Dia menanti beberapa menit sebelum melakukan rencana yang baru saja muncul di otaknya. Seringai menyeramkan mulai terukir di wajah kuning langsat itu. Mulutnya mulai menghitung mundur, bersamaan dengan langkahnya yang pelan-pelan mundur. Para maid yang tadi masih menunggu, ikut mundur karena mendapat arahan darinya. Dan tepat pada hitungan ke satu, tubuhnya dia tabrakkan pada pintu coklat itu. Seperti yang ada di kepalanya, pintu itu terbuka memperlihatkan Ciara dengan mulut menganga. Sedangkan dia mulai tersenyum menang, kakinya mulai melangkah lebar ke arah kasur Ciara. Ciara kembali menormalkan raut wajahnya, bergegas tangannya menarik selimut ingin menutup diri. Namun, Ciara mengurungkan keinginannya ketika tangan kurusnya digenggam oleh seseorang yang sudah duduk di sisi kasur.
"Sudah gue bilang, dia bukan laki-laki baik, lo terlalu mencintainya sampai lo nggak bisa melihat kenyataan itu. Dan sekarang lo ngurung diri, lo bener-bener bego. Harusnya lo tunjukin ke dia kalo lo bisa tanpa dia! Ngerti nggak!" Jelasnya sembari memegang sepasang bahu Ciara.
Ciara hanya menatapnya malas tanpa ingin membuka mulut. "Lo bener-bener deh, nyebelin, dikasih tau tuh makasih kek, malah diem kayak mayat hidup aja." Ucapnya marah, tatapannya mengerling ke arah pintu dengan tangan terlipat di depan dada.
Ciara tersenyum paksa, "makasih nona Adella. Lagi pula aku nutup pintu , biar bisa tidur lebih lama tanpa gangguan Bila! Kamu mikirnya yang kejauhan, kamu kira aku lemah apa?" Ucap Ciara dengan nada kesal.
Adella melirik Ciara yang mulai kembali ke alam mimpinya. Adella hanya bisa berdecak kesal tanpa bisa berbuat apa-apa. Tiba-tiba seseorang berlari kecil memasuki kamar Ciara, seketika dia menghempaskan tubuhnya tepat di samping Ciara berbaring. Sontak tubuh Ciara sedikit melayang membuat kelopaknya terpaksa terbelalak.
"Ciara...astaga jangan sedih lagi ya, dia tuh emang gak pantas buat kamu, kamu tuh terlalu imut, sama kayak Lusy, chubby." Ucapnya dengan nada polos seraya mencubit gemas pipi Ciara.
"Apaan si lo, jijik gue dengernya." Keluh Adella dengan manik mengerling.
"Apa ha? Dasar tomboy!" Ejeknya tidak mau kalah, mulutnya mengerucut, tatapan tajam tertuju pada Adella.
Adella mengernyit tak suka. Maniknya menatap tajam gadis lebay di samping Ciara. "Heh, lo tu ganggu aja tau gak? Suara cempreng lo itu melukai pendengaran gue!" Nada marah itu mengundang tatapan jengkel dari lawan bicaranya.
"Melukai, kamu kira suara gue pisau apa, Bisa lukain orang?" Pandangannya berputar, tetapi otaknya sedang memikirkan apakah suaranya benar-benar seburuk itu.
Ciara yang berada di tengah-tengah mereka hanya bisa memijat pelipisnya. Namun, pendengarannya tidak sengaja menemukan dering handphone yang sangat dia kenal. Sontak maniknya melirik ke arah handphone di atas nakas. Dia masih belum percaya dengan apa yang dia dengar, namun dia juga yakin tidak salah dengar. Dering pesan yang sama selama empat bulan berturut-turut. Dering yang berbeda dari dering pesan lainnya. Dering yang selalu menjadi prioritasnya, bahkan menjadi dering favoritnya. Tetapi ingatan pada sore itu menyadarkannya pada rangkaian kata perpisahan. Kalimat penghancur harapan, harapan yang telah dia bangun bertahun-tahun.