Hari demi hari terus berlalu, Ciara masih saja menyimpan perasaan cintanya untuk Arion. Dia yakin Arion akan kembali lagi ke sisinya. Baginya Arion adalah cinta pertama yang tidak akan pernah terlupakan. Dan dia tidak perduli seperti apa perasaan Arion untuknya. Sekarang yang paling penting adalah datang ke sekolah tepat waktu. Sekolah adalah tempat dimana dia bisa bertemu teman-temannya, juga karena dia kesepian dirumah.
Peralatan sekolahnya selalu siap tanpa pernah tertinggal. Bahkan para guru selalu menyukai Ciara. Ciara memiliki nama baik di sekolahnya, tentunya karena dia menjadi murid patuh juga rajin. Tetapi ada satu hal yang tidak pernah dia sorot. Rata-rata murid laki-laki di sekolahnya menjadikan Ciara sebagai tipe ideal mereka. Jika saja dia mencoba membuka hatinya, mungkin saja ada banyak laki-laki yang mengejar-ngejarnya. Namun, itu akan sulit karena mata hatinya sudah tertutup oleh pesona Arion.
"Cira...tidak menyangka lo datang ke sekolah, gue kira lo masih mau nangis. Tadinya gue dan si tomboy mau bolos, lo mau ikut?." Tanyanya bersemangat. Manik hijau itu selalu menenangkan Ciara, tetapi bibir itu yang membuatnya terusik.
Tidak lama Adella menyusul dari arah belakangnya, masih menggendong ransel hitam dibahunya. "Cira mana mau bolos, dia kan anak rajin. Lagipula siapa yang mau ikutan bolos sama lo? Gue sih ogah!" Ejeknya. Tangannya melambai lembut di depan wajah Lusy, membuat empunya merasa kesal.
"Jadi kamu sudah nggak mau bolos lagi? Biasanya kan kamu suka bolos, apalagi sama para jantan itu." Ucapan Ciara berhasil membuatnya kaget. Ciara sedikit menyungging senyum disana. Dia sangat mengenal bagaimana Adella, tetapi Adella bisa menjaga dirinya sendiri, walaupun terkadang Ciara masih khawatir.
"Aduh Cira, gimana ya? Aku gak bisa kalo dalam sehari nggak bolos. Lagi pula ngapain bolos ngikut dia, yang ada malah berisik." Kesalnya. Telunjuk itu mengarah tepat di depan wajah Lusy lagi.
"Huh. Kalian menyebalkan!" Mata itu memicing tajam menatap dua wajah dengan tawa terbahak disana. Tangannya terlipat di depan dada, bibir tipis itu melengkung melihat kedua sahabatnya kembali tertawa, tanpa ada yang terluka.
"Ouh iya, kenapa kita masih disini coba? Bentar lagi bel masuk bunyi, lebih baik kita jalan ke kelas." ujar Ciara, seraya merangkul kedua bahu sahabatnya.
"Hari ini nggak Upacara emangnya?" Lusy berujar.
"Engga, lapangankan lagi diperbaiki." Jawab Ciara.
Dengan langkah santai, mereka menuju kelasnya.
Tiba-tiba suara seseorang dari arah belakang menghentikan langkah mereka. "Itu bukannya suara bu Derna ya?" Tanya Lusy berbisik.
Ciara dan Adella mengangguk mengiyakan. Serentak mereka menengok ke arah belakang. Disana sudah berdiri seorang wanita kurus. Di Wajahnya terdapat sedikit kerutan dan jika saja dia tidak memakai hijab, mungkin saja beberapa rambut putih itu akan nampak terlihat. Matanya yang sendu berhasil membuatnya dihormati oleh murid disana. Sudah lama Bu Derna mengajar di sekolah ini, dan tepat tahun depan dia akan pensiun dari pekerjaan mulianya. Mungkin murid-murid disekolah akan sangat sulit melepaskan seorang guru yang jarang memberi tugas rumah atau bisa dibilang tidak pernah.
"Ya bu, ada yang bisa kami bantu?" Tanya Ciara sopan. Hanya dia yang bisa bicara sopan di antara dua sahabatnya, karena itulah jika ada masalah menyangkut BP maka mereka akan menyeret Ciara juga untuk meminta bantuan pada bibirnya yang manis. Tentu itu tidak gratis untuk seseorang seperti Ciara. Mereka harus membayar Ciara dengan mengajarkannya MATEMATIKA.