Jimi mulai menurunkan posisi duduknya agar kepalanya bisa bersandar di kursi teater yang busanya terasa cukup empuk. Ia berniat untuk memejamkan matanya mumpung bisa menikmati dinginnya AC teater yang didukung oleh gelapnya ruangan di kala pertunjukkan drama sedang berlangsung.
Bukannya Jimi tidak menghargai sebuah pentas seni yang diperankan oleh para juniornya maupun uang yang ia keluarkan untuk mendapatkan hak duduk di dalam teater, tetapi problem utama yang Jimi rasakan sedari semester satu menonton teater yang diadakan drama club Bu Lulu maupun mata kuliah resmi Theatre Production adalah ketidakseimbangannya kemampuan dalam melafalkan dialog di antara aktor. Dan perlu diketahui, para aktor ini tidak menggunakan bantuan pengeras suara elektronik. Hal ini membuat Jimi tidak dapat mengikuti dengan jelas cerita lengkap dari sebuah pentas drama. Seperti membeli sekeping DVD bajakan yang kita tonton tiba-tiba muncul glitch di beberapa bagian cerita. Belum lagi diperkeruh dengan kualitas pendengaran Jimi yang sudah menurun, budeg kalau kata sobatnya, akibat dari kegemarannya mendengarkan musik keras dengan volume melebihi batas pendengaran manusia selama hampir 20 tahun dan hobi nge-band sejak SMP yang selalu tak jelas juntrungannya.
Sesekali Jimi melirik ke dua tangan Ratmi di sebelahnya yang sedang memegang ponselnya dengan tingkat cahaya yang cukup redup agar tidak menarik perhatian usher yang tidak segan untuk menegur. Terlihat ia berselancar melihat-lihat toko online yang menjual tas hingga pakaian dalam wanita dengan model-model berukuran plus-size maupun yang tidak termasuk dalam kategori cantik menurut standar televisi. Semakin menarik saja, pikir Jimi, dunia perdagangan di dunia maya yang bebas mendobrak standar-standar menyebalkan yang sudah lama dimonopoli oleh korporasi-korporasi pertelevisian.
Tiba-tiba Ratmi menghantamkan lutut kirinya ke lutut kanan Jimi yang secepat kilat menyadarkannya dari kegelapan yang terasa sangat singkat, "Hayu cabut Jim, mumpung baru beres banget." Cahaya lampu teater sudah menyala semua. Dengan keadaan mata yang kaget oleh silaunya cahaya lampu, Jimi pun berdiri mengikuti Carla, Ruby, dan Ratmi berjalan ke arah pintu keluar. Terdengar panggilan dari teman-teman satu tongkrongan Jimi yang bertanya mau ke mana. Mereka masih terjebak duduk di bagian tengah kursi teater, segan untuk langsung meninggalkan teater karena sebaris dengan beberapa dosen. Jimi hanya menunjuk-nunjuk ke arah Ratmi dan mereka pun mengerti dengan mengacungkan jempol. Ajakan setan juga nih pasti pikir Jimi.
Jimi dan ketiga mahasiswi yang paras dan rupanya pasti memikat dalam pergaulan metropolis masa kini ini bergegas memasuki lift lantai 8 menuju parkiran B1. Celoteh ramai yang disertai dengan cekikikan terpecah ketika pintu lift tertutup menggunjingkan penampilan para pemeran drama. Mulai dari konyolnya tata rias tebal yang dapat menajamkan dan menegaskan ekspresi wajah mereka di kala tersorot lampu panggung yang sakit menyilaukan, hingga malangnya teman seangkatan mereka yang selalu dapat peran minor di drama club Bu Lulu maupun kelas Theatre Production. Dengan sigap mereka menurunkan volume pergunjingan ketika pintu lift terbuka. Berjalan santai menanggung dosa pergunjingan ke arah mobil Ratmi. Sebuah city car berwarna hitam produksi Jepang yang memang selalu menjadi pilihan bagi pemuda-pemudi gaul nusantara.
Ratmi pun langsung memberikan kunci mobilnya ke Jimi yang langsung diresponsnya dengan candaan sarkastik, "Siap, Bu!". Semerbak aroma jok kulit asli yang dikombinasikan dengan harumnya pewangi mobil kaum menak beraroma strawberry menyeruak ketika mereka memasuki mobil. Aroma ini cukup mengganggu penciuman Jimi yang mungkin memang bukan target pasar dari perusahaan pengharum mobil tersebut. Ditemani dengan irama musik elektronik generasi masa kini yang anehnya terasa berjarak bagi Jimi yang juga menggemari musik elektronik 80-an hingga awal dekade 2000, pergunjingan pun mereka lanjutkan.
"Anjir, Mi, untung aing udah resign dari drama club Bu Lulu." Ujar Carla sembari memperhatikan ruko-ruko yang terlewati.
"Drama apa lagi nih Bu Lulu?"
"Jadi drama yang tadi tuh latiannya kacau banget, Bu Lulu lepas tangan gitu," Carla bercerita dengan semangat pergunjingannya. "Dia milih si Resti 17 jadi yang in-charge nya selama latian."
"Wah, denger-denger tuh anak rese kan, makin seneng dong doi dapet kuasa gitu." Jimi menimpali.
"Heueuh, Jim. Untung aing ga ikutan di situ, bisa aing tampol tuh anak berani-berani rese ke aing." Balas Carla dengan nada senioritas yang disambut tawa oleh ketiganya.
Ruby pun mengamini kekacauan latihan drama tersebut, "Iya ih, si Andrew 18 kan se-kostan sama aing, dia baliknya malem terus selama latian, mukanya cape kesel gitu setiap balik. Pantes aja kerasa hambar sih dramanya tadi."
"Emang si Bu Lulu lagi sibuk apa sih, Car? Ratmi bertanya, "biasanya kan beliau perfeksionis sama anak-anak dramanya."
"Katanya sih urusan akreditasi, but you know lah soal gosip-gosip yang ono."
"Ah iya denger dari anak 17 soal itu, dari dulu emang sering kan urusan pribadinya dibawa ke kampus," Ujar Ratmi, "Untung lu udah quit, Car. Ga kebayang pusingnya lu sambil ngerjain skripsi."
"Heueuh, udah pengen cepet-cepet cabut aing dari ini kampus. Capelah sama drama di dalemnya." Balas Carla kesal namun penuh harapan.
Pergunjingan dalam perjalanan pun berlanjut hingga akhirnya mereka sampai di sebuah daerah komplek perumahan mewah jadul yang pelafalannya sulit untuk disebutkan oleh orang luar Bandung, bahkan orang Bandung sendiri: Ciumbuleuit. Sudah menjadi trend di Bandung saat ini dengan menjamurnya cafe atau bar di kawasan perumahan-perumahan jadul. Alasan estetika sudah pasti menjadi yang paling utama karena kebiasaan orang-orang sekarang kumpul-kumpul bareng keluarga atau teman-teman tidak hanya sekedar makan dan ngobrol saja, tetapi dperkaya juga dengan mengabadikan momen kumpul menggunakan kamera ponsel entah itu foto atau video. Selain untuk kenangan pribadi, kebiasaan ini juga menjadi ajang pameran sosial yang, mungkin, menunjukkan status, hingga membuat cemas seorang teman yang tidak ikut yang mereka beri istilah FOMO atau fear of missing out. Belum lagi drama-drama mencengangkan yang terjadi akibat dari kebiasaan ini yang terlalu panjang jika diceritakan.
Seorang juru parkir gundul berperawakan gemuk namun berotot, mengarahkan Jimi untuk parkir di salah satu spot sebrang Scarlet. Parkiran di halaman bar yang cukup luas tersebut sudah penuh. Ketika keempat mahasiswa ini turun, sang juru parkir mendekati Jimi, "Bayar di depan ya, Bos. Dua puluh rebu." Terpaksa Jimi membayarnya dulu karena ketiga temannya sudah berjalan menuju bar yang memiliki tampilan depan klasik minimalis berwarna hitam dan abu gelap dengan desain logo nama yang pas sesuai dengan tema bangunan dan pasti langsung terlihat di dinding dekat pintu masuknya. Jimi pun pasrah apabila ketiga temannya lupa patungan perhitungan gaib biaya parkir ini. Pasrah yang diakibatkan oleh rasa gengsi sebenarnya.
Suasana rumah klasik dengan arsitektur Belanda yang menonjolkan detail-detail kusen dan pintu kayu tua tetap dipertahankan di bar ini. Memberikan kesan yang cukup eksklusif dan rumahan bagi para pengunjung yang ingin melepas penat dan ngobrol tanpa harus meninggikan volume suara mereka. Diiringi dengan alunan musik elektronik santai yang tetap saja terasa asing bagi Jimi, mereka berjalan menuju tempat duduk yang sudah dibooking oleh Ratmi sebelumnya.
“Wah, asik nih musiknya, pas ama suasana bar-nya.” Komen Jimi sembari mereka duduk masing-masing di kursi kayu berwarna gelap panjang dengan senderan yang cukup untuk tiga sampai empat orang. Carla dan Ruby, Ratmi dan Jimi.
“Emang lu dengerin juga musik kaya gini, Jim?” tanya Ratmi yang dilanjut dengan sindiran, “yang aing tau kan lu suka musik-musik setan kaya band-band di kaos yang suka lu pake.”
“Eh gua mah dengerin musik apa aja, kali. Nah, kalo beli kaos band mah emang harus band-band metal karena gua metalhead. Keras kepala gua.” Canda Jimi.
“Ih aing jadi tau judul-judul lagu RnB yang suka aing denger pas SD juga berkat si Jimi” Ruby ikut komentar yang dibalas Jimi dengan raut wajah bangga.
“Ah itu mah si Jimi seneng aja liat video klip-nya banyak cewe-cewe seksi pada nge-dance” ejek Ratmi.
“Ya, kan sambil menyelam minum aer, bu” Jawab Jimi.
Lalu datang sang pramusaji membagikan booklet menu kepada masing-masing mahasiswa tersebut. Mata Jimi langsung tertuju ke tulisan beverages mencari bir favoritnya sebagai pemanasan setiap kali ia mau mabuk-mabukan, “Bir botol gede satu ya, mba.”