Satu menit yang lalu Tia mengetuk pintu ruang kepala sekolahnya. Ada hal yang perlu dia katakan. Setelah dipersilakan masuk, dia disuruh menunggu kepala sekolahnya selesai menandatangani beberapa dokumen. Tia meremas-remas sepuluh jari tangannya untuk menghilangkan rasa ragu untuk mengatakan hal itu. Sesekali dia menundukkan kepala, lalu bermonolog dengan batinnya.
"Nah, selesai juga." Pak Harno menutup map berwarna hijau lalu menumpuknya di atas map lain. Dia meneguk air putih lalu menatap Tia. "Jadi apa yang mau kamu bicarakan, Tia?"
Tia menegakkan punggungnya. Dia memaksa tubuhnya untuk tidak gugup, paling tidak, dia tidak terlihat gugup. Dia pura-pura batuk lalu menarik napas panjang. Cara itu tidak sedikit berhasil menenangkannya.
"Saya mau pindah sekolah, Pak." Tia rasa suaranya tidak terdengar meragukan. Sayangnya Tia tidak bisa mengukur apakah ucapannya terdengar meyakinkan di telinga Pak Harno. Tia menunduk sebentar untuk merapalkan harapan, semoga perkataan yang keluar dari mulutnya terdengar meyakinkan. Ketika dia kembali mendongak, wajah Pak Harno telah maju beberapa senti dengan dahi mengerut.
"Apa alasan kamu, Tia? Kamu tinggal menyelesaikan satu semester di sini."
"Saya tahu, Pak. Tapi saya harus pindah kota. Alhamdulillah Bapak saya dapat pekerjaan yang lebih baik di kota itu. Saya harus ikut beliau buat urus adik. Ibu kan sudah nggak ada." Tia meremas jari-jarinya lagi. "Lagian Bapak saya mulai kesulitan buat biayain transportasi saya dari rumah ke sini, Pak."
Pak Harno mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjuknya, berpikir untuk mencari solusi. "Apa sudah kamu pikirkan betul-betul keputusanmu? Mungkin kamu melewatkan jalan keluar lain, seperti tinggal bersama adikmu saja? Sangat disayangkan kalau kamu pindah, Tia. "
"Adik saya benar-benar nggak bisa pisah dari Bapak ataupun saya, Pak. Manja banget dia." Tia terkekeh. "Jadi tolong, Pak, bantu saya mengurusi surat-surat perpindahan saya."
Helaan napas begitu berat keluar dari lubang hidung Pak Harno. Baru pertama kali Tia melihat laki-laki tua itu berwajah kusut. Tia sedih melihatnya, tapi bukankah eskpresi itu mengartikan kalau kebohonganya terdengar nyata? Dia menghela napas lega karena berhasil bersandiwara.
Pak Harno sangat menyayangkan perpindahan itu bukan hanya karena masa sekolah Tia yang tinggal satu semester, tapi juga karena SMA Insan Cendekia lagi-lagi kehilangan murid berprestasi. Tia adalah siswa ketujuh yang pindah sekolah tahun ini dengan alasan harus ikut orang tua pindah tempat tinggal.
Tia mengucapkan terima kasih setelah percakapan itu tiba di ujung. Walaupun berat, Pak Harno tidak bisa tidak menyanggupi. Tia mencium punggung tangan Pak Harno dengan penuh rasa hormat. Kakinya melangkah cepat menuju luar ruangan.
Sinar matahari menyelimuti tubuh Tia yang berdiri di teras ruang kepala sekolah. Dari situ gerbang sekolahnya yang megah begitu dekat. Tia hanya perlu menganmbil sepuluh langkah lebar untuk sampai di depan gerbang. Suasana halaman utama sekolah tidak seramai tadi ketika bel istirahat baru dibunyikan. Suasana tenang itu mengingatkan Tia pada kejadian tiga tahun lalu di tempat itu.
Gerbang sekolahnya adalah awal segalanya. Pertama kali dia melewatinya bersama bapaknya sambil membawa map bermotif batik yang berisi syarat-syarat pendaftaran program beasiswa di sekolah ini. Banyak prestasi yang diraih Tia sejak SD, baik prestasi akademik ataupun non-akademik. Nilai rapor SMP-nya juga memuaskan.
Tia menutup wajahnya dengan tangan sebelum air matanya keluar. Dia tidak mengira masa SMA-nya akan berakhir dengan kebohongan.
Matanya kembali menatap sekitar lalu memejamkannya dengan kuat. Senyumnya terpaksa, tapi langkah semangatnya menuju kelasnya bukanlah sebuah kepura-puraan. Semalam dia sudah berjanji dengan dirinya, kalau dia tidak boleh bersedih hati hari ini. Cepat atau lambat dia akan keluar dari sekolah ini. Dia tidak boleh menjalani sisa masa-masa itu dengan kesedihan.
Kedua tangannya mendorong pintu kelas. Masih ada empat kursi yang belum diisi penghuninya. Seharusnya kursinya termasuk kursi kelima yang masih kosong, tapi dia melihat seseorang menduduki benda itu.
"Rima!" Tia menutup pintu kelas. Ternyata adik kelasnyalah yang duduk di atas kursinya. Dia mengobrol dengan Septi, teman sebangkunya. Rima langsung berdiri begitu tahu pemilik kursi datang. Tia mempercepat langkahnya dan langsung menjabat tangan Rima. "Selamat ya, kemarin menangin lomba pidato."