“Aduh-duh, badanku pegel-pegel semua.” Esa menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa ruang tamu. Setelah sepatu jinjitnya terlepas dari kakinya, dia menaikkan alat gerak itu ke atas meja kayu di depannya. Kepalanya dia gerakkan ke atas, ke bawah berulang kali. Hal itu selalu dia lakukan sepulangnya dari bekerja.
Sebelum dia terbuai oleh kenyamanan sofa, Esa segera menjauhinya. Dia mengganti baju di kamar secepat mungkin agar tidak tergoda oleh kasur dan bantalnya. Dia harus mengerjakan pekerjaan rumah yang belum sempat dia kerjakan.
“Assalamu’alaikum, Bun!” Esa baru mau pergi ke dapur, tapi suara dari depan rumah lebih penting untuk dia ladeni. Dia berjalan ke depan dengan terus menduga siapa yang datang. Sudah satu setengah tahun dia tinggal di rumah suaminya seorang diri. Anaknya yang tinggal di indekos tidak pernah mengunjunginya selain pada hari libur. Lalu siapa yang memanggilnya “bun”?
Seorang remaja laki-laki berdiri di depan pintu rumah. Dia membawa koper hitam berukuran besar dan satu tas gendong. Wajahnya terlihat lelah, tapi senyumnya mengembang. Wanita di depannya tidak berkutik, remaja itu langsung memeluknya erat.
“Abil?” Esa melepas paksa pelukan itu. “Kok kamu udah datang? Bunda kan udah bilang nanti malam Bunda jemput.” Esa menarik koper Abil ke dalam rumah. Abil mengekor di belakangnya lalu mereka duduk di sofa.
“Semalam Mr. Iron pingsan lagi, Bun. Aku nggak enak sama beliau. Jadi aku putuskan pergi lebih cepat. Maaf aku nggak kabar-kabar dulu. Kebetulan pulsa sama kuotaku habis.” Abil meringis. Esa mengacak rambut Abil lalu memeluknya sama eratnya dengan pelukan Abil tadi. Esa tidak akan melepaskan pelukan itu andai dia tidak ingat pekerjaan rumah dan kantor yang minta segera diselesaikan.
Esa pergi ke dapur. Abil pergi ke kamarnya. Sudah sepuluh hari yang lalu dia mengunjungi rumah ini untuk terakhir kali, tapi kebersihan dan kerapian kamarnya tidak berkurang sama sekali. Betapa dia bangga memiliki ibu yang giat bekerja seperti bundanya. Abil mengambil handuk untuk mandi, sayangnya perutnya berbunyi minta diisi.
Dia melihat bundanya sedang menyetrika baju. Rasanya tidak enak jika dia ganggu. Abil memutuskan pergi ke dapur, mencari telur yang bisa dia sulap menjadi telur goreng. Sayangnya di lemari dapur hanya ada beras, mi instan, minyak, terigu, dan lain-lain, tapi tidak ada telur. Abil mengintip kulkas, di sana hanya ada sayur-sayuran dan es batu. Dia hanya bisa menggoreng telur dan tidak mau makan mi instan.
“Bun, di sekitar sini ada yang jual makanan, nggak?” tanya Abil.
“Kamu lapar? Bunda buatin dulu, ya?”
“Jangan. Aku udah lapar banget. Bunda juga lagi setrika. Aku beli aja kalau di sekitar sini ada yang jualan.”
Abil menatap Esa yang terlihat berpikir. “Ada, Bil. Di belakang rumah kita ada. Kamu lewat gang rumah, nanti sampai di jalan beraspal, jalan Triono dua, kamu jalan ke barat lewatin dua rumah habis itu nyebrang, udah sampai. Warungnya di halaman rumah tradisional gitu.” Esa lanjut menyetrika baju.
Abil yang langsung paham segera mengambil uang di dompetnya lalu bergegas ke luar ruma. Dia berjalan mengikuti intruksi bundanya. Tidak lebih dari dua menit, dia sampai di jalan Triono nomor dua. Dia berjalan ke barat, melewati dua rumah dan semakin mendekat ke jalan raya yang ada di barat. Dia tadi melewati jalan besar itu untuk sampai di rumahnya. Kini Abil melihat warung itu tepat berada di depannya. Lokasi warung itu berada tepat di samping belokan menuju jalan raya. Dia memastikan dulu kalau tidak ada kendaraan dari arah barat yang akan berbelok ke jalan di depannya. Sepertinya tidak ada. Abil menyeberangi jalan dengan percaya diri.