"Emang nggak ada hati nih temen-temen. Kalau nggak gitu hatinya udah dipenuhi gebetan, pacar, lengkap sama selingkuhannya buat sepuluh tahun ke depan. Nggak mikir apa, gimana baiknya Rima ke mereka? Giliran dimintai iuran buat jenguk dia aja banyak alasan. Ya kalau mau ikut jenguk masih mending, nyatanya nggak!" Asly mengomel dengan perasaan dongkol begitu keluar dari koperasi sekolah. Dia berhenti sebentar untuk mengecek kelengkapan barang belanjaannya.
Kakinya melangkah lagi, belanjaannya sudah terbeli semua. Parkiran sekolah adalah tujuan langkahnya. Berita kecelakaan Rima menyebar dengan sangat cepat di sekolah yang luas itu. Juki sebagai ketua kelas yang sangat peduli dengan anggota kelasnya menyusun rencana penjengukan Rima ketika istirahat tadi.
Dia menyuruh teman-teman sekelas menetap sebentar di kelas. Begitu dia selesai menjelaskan rencananya, sorakan kecewa langsung menggema di ruang kelas 11 IPS 1. Mereka kecewa dengan dalih Juki sudah membuang waktu mereka untuk hal yang tidak berguna sedikit pun. Mereka meninggalkan kelas sambil mengatakan alasan mereka tidak bisa dimintai iuran atau setidaknya ikut menjenguk Rima. Walaupun Asly hanya memiliki dua telinga, tapi dia bisa mendengar alasan dua puluh delapan teman sekelasnya. Juki dan Rima tidak termasuk. "Aku nggak ada uang lebih hari ini, terus udah ada janji sepulang sekolah nanti." Lalu yang lainnya menyahut, "Aku juga!"
Asly sungguh muak mengingat jawaban klise itu. Dia juga muak dengan temannya yang belum tercium bau badannya di parkiran yang hampir kosong. Sial, dia sudah berusaha cepat agar mereka tidak menunggu lama, tapi niat baiknya malah berakhir seperti ini; dia yang menunggu mereka.
Dia menunggu di atas motor Juki. Tidak hanya diam menunggu, Asly berusaha menelepon ketua kelasnya dan empat temannya yang bisa ikut menjenguk Rima.
"Kau jangan sampai melupakannya!" Asly batal menghubungi Jian yang menjadi sasaran terakhir yang akan dia hubungi. Suara dingin itu memberi kode bagi matanya untuk mencari sumbernya. Belum sampai dia menemukannya, suara langkah kaki dari arah depan telah menarik perhatian matanya untuk melihat ke arah itu.
Perasaannya sedikit plong karena satu temannya sudah datang. Jian menyapanya dengan wajah tanpa dosa, padahal Asly kesal sekali dibuat menunggu seperti ini. Ajaibnya, kedatangan Jian mendatangkan teman-temannya yang lain. Asly mencibir pikirannya sendiri. Hal seperti itu terasa ajaib karena dia sudah lelah menunggu. Dia tidak mengomel atas keterlambatan mereka, mereka juga tidak bertanya apa pun pada Asly, kecuali kelengkapan makanan yang akan mereka bawa ke rumah sakit.
***
Sore kedua Rima berbaring di atas ranjang rumah sakit. Dia mengeluh karena mendengar keputusan dokter baru saja. Luka bakar itu sungguh tidak parah sampai memerlukan perawatan selama dua hari di tempat umum itu.
Dia merasa sangat bosan berada di kamar yang dihuni beberapa pasien itu. Meski terhalang tirai, dia yakin semua pasien di sini bersama keluarganya. Hanya dia yang sendiri. Ayah dan ibunya tidak bisa meninggalkan restoran, Sana juga harus mengikuti bimbingan belajar.