Hari ini Safira pindah ke rumah kos yang baru. Mobil yang membawa barang-barangnya sudah sampai di depan sebuah rumah sederhana bercat hijau.
“Fir, ayok turun. Malah bengong aja.”
Seseorang menepuk pundak gadis berjilbab biru itu saat ketahuan bengong. Sebenarnya yang membuatnya bengong adalah pemandangan di samping rumah kos barunya itu, beberapa cowok seusianya dan teman-temannya sedang berdiri, seperti sedang menanti kedatangannya.
Selama berada di perantauan, Safira kos bersama tiga orang lainnya, yaitu Nita, Siska, dan Rina. Mereka tidak berasal dari daerah yang sama. Mereka bertemu saat registrasi fisik dan kebetulan saat itu sedang mencari kos. Siska mengajak mereka untuk mencari kos bersama karena kebetulan letak kampus mereka tidak saling berjauhan. Mereka semua akhirnya setuju.
“Ini yang bakal bantuin kita?” ucap Rina setengah berbisik.
“Iya kali,” timpal Siska.
“Mbak, pintunya sudah ibu bukain. Nanti mas-mas ini yang bantuin ngangkat barang yang berat,” ucap ibu paruh baya yang tiba-tiba muncul di tengah kerumunan cowok yang berdiri di depan kos. Ibu paruh baya tersebut adalah ibu kos mereka, Bu Ani.
“Baik, Bu. Terima kasih,” ucap Safira. Sopir yang mengantar mereka dan barang-barang mereka hanya menurunkan barang saja karena ada jadwal mengantar barang lagi. Padahal mereka sudah melobi untuk sekaligus membantu memasukkan barang ke dalam rumah. Tetapi apa daya, di musim menjelang liburan seperti ini biasanya malah banyak yang pindah kos agar saat tahun ajaran baru langsung menempati kos baru.
Sebagian besar barang yang berukuran besar dan berat sudah masuk ke dalam rumah dengan arahan Nita. Meski begitu, mereka para gadis tidak hanya berdiam berpangku tangan. Mereka juga ikut mengangkut barang-barang yang kecil dan ringan.
“Ini yang ngangkut barang nanti gimana ya, Bu?” tanya Safira mendekati ibu kos.
“Maksudnya?” tanya Bu Ani seakan tak mengerti.
“Ininya, Bu. Hehe,” ucap Safira sembari menunjukkan jari-jarinya. Ibu kos langsung mengerti.
“Ngga usah. Mereka juga anak kos ibu juga, kok. Mereka ikhlas bantuin,” jawab ibu kos.
“Beneran?” tanya Safira memastikan.
“Udah nggakpapa. Oiya mbak, Ibu pamit dulu, ya. Mau ada pengajian.”
Safira bingung mendengar ibu kos memberi jawaban seperti itu. Biasanya orang yang membantu orang pindahan itu dibayar karena barang pindahan itu banyak. Masa kali ini enggak?
“Gimana, Fir?” tanya Nita mendekati Safira. Sepertinya dia sudah tau apa yang tadi ditanyakan ke ibu kos.
“Katanya ngga usah, Nit,” jawab Safira apa adanya.
Nita juga kebingungan dengan jawaban “tidak usah” milik ibu kos. Apalagi sedari tadi Nita yang memberi arahan untuk meletakkan barang apa di tempat yang mana. Tentu saja ia tahu barang mereka tidak sedikit.
“Ngga enaklah kalo gitu,” timpal Nita lagi.
“Aku juga mikir gitu,” jawab Safira
Beberapa hari yang lalu mereka mengalami kesulitan mencari jasa pindahan kos karena kebanyakan sudah full booking untuk pindahan kos dan untuk membawa barang-barang anak yang mau progam KKN. Mereka mencoba mencari bantuan kepada ibu kos barangkali ada kenalannya yang bisa membantu. Ibu kos akhirnya mengatakan bisa membantu. Ternyata yang bisa membantu yaitu para cowok ini.
Mungkin kalau bapak-bapak tidak akan membuat kesulitan menanyakan ongkosnya. Tetapi kalau mas-mas yang juga sepertinya masih mahasiswa seperti mereka sulit untuk menanyakannya.
“Apa aku pesen minum di burjo yang di depan jalan tadi dulu aja ya, Nit? Yang penting kasih minum dulu lah daripada bengong. Udah mau selesei juga,” ucap Safira mencetuskan sebuah ide. Nita mengangguk setuju. Safira berjalan sekitar tiga puluh meter. Seingatnya, di pertigaan jalan yang tadi mereka lewati ada burjo. Tebakannya tidak salah, ada burjo yang untungnya siang-siang begini sudah buka. Biasanya burjo buka mulai sore hingga tengah malam.
“Pak, pesen es teh 8 gelas dibungkus, ya,” ucap Safira pada seorang bapak-bapak yang ditaksir usianya sekitar 50 tahun.
“Oke,” jawab si bapak dengan gaya ala anak muda.