Dia menciumku dengan sangat lembut dan selalu membuatku merasa melayang. Perutku yang tadi bergejolak kini sudah kembali tenang, berganti dengan debaran di dada yang kian mengguncang.
Aku memperhatikan wajahnya dengan takjub saat bibirnya melepas bibirku. Mata kami bertemu dan bibirku mengembang tanpa disadari.
"Kamu bahagia dengan kehamilan ini, Mas?"
"Tentu saja, Nin." Bibirnya tersenyum. Mengecupku kembali. "Apa yang membuatmu berpikir sebaliknya."
Aku mundur untuk memuaskan mataku memandangnya. Sekaligus, mencari sirat kebohongan yang mungkin hadir di raut wajahnya. Namun, lampu di atas kap mobil sedikit menyilaukan. Pandanganku terasa bias. Tak ada yang bisa kubaca dari sorot matanya.
Kini kami berada di area pinggir kota--tepatnya di area hutan kota yang jauh dari pemukiman. Kami beberapa kali menghabiskan malam liar di sini. Di dalam mobil, saat dia berkata bosan untuk selalu berada di hotel atau di rumah kontrakan. Dia memang suka bereksperimen.
"Bagaimana dengan kamu sendiri? Apa kehadiran bayi itu tidak akan merepotkanmu?"
Aku terkekeh, tidak ingin menjawabnya. Bagaimana mungkin bayi ini merepotkan, sedang aku terbiasa mengurus dua anak sebelumnya sendiri. Tanpa ada yang membantu.
"Asal kebutuhan hidup selalu terpenuhi, aku tidak akan khawatir."