Kosong. Itulah pikiranku saat ini.
Baru saja aku keluar dari ATM dan mentransfer sejumlah uang kontrak rumah untuk satu tahun ke depan. Jumlahnya 15 juta, dan tabungan kami yang tersisa hanya lima juta lagi. Entah berapa lama uang itu akan bertahan.
Sejak empat bulan lalu Mas Arman di PHK, kami hidup dengan mengandalkan tabungan. Bulan pertama dan kedua Mas Arman masih semangat untuk melamar kerja sana-sini. Namun, menginjak bulan ketiga dan tak ada satupun panggilan dia terima, dia seperti putus asa.
Aku berusaha membantunya dengan bekerja apa saja. Menjadi pelayan di sebuah warung, tetapi hasilnya tidak seberapa. Tetap saja, kami harus merogoh tabungan sisa uang pesangon Mas Arman.
Aku sudah berusaha untuk menekan pengeluaran, mengubah pola hidup kami dan tentu saja, pola makan. Maksudku, bukan berarti aku memangkas kebutuhan gizi anak-anakku, tetapi macam masakan saja yang aku sediakan setiap hari kian berkurang.
Aku mendesah sambil mendorong pintu ATM. Hampir saja ujung pintu, menabrak wajah wanita yang berwajah cemberut. Dia langsung mendelik ke arahku dan aku menyambutnya dengan kata maaf tanpa suara.
Sejenak aku berdiri dan memandangi keadaan halaman bank yang legang. Matahari di ufuk barat udah semakin turun. Burung-burung beterbangan di langit secara berkelompok. Angin berhembus sedikit kencang, tetapi terasa gerah menyentuh kulitku.
Rasanya aku tidak ingin pulang. Ingin mencari tempat sunyi dan berteriak sekuatnya.
Hari ini aku dipecat dari pekerjaanku. Memang kelalaianku, memecahkan setumpuk piring akibat terpeleset lantai yang basah. Haruskah aku sedikit bersyukur, karena pemilik warung masih memberiku separuh gaji.
"Aku masih kasihan sama anak-anakmu, Nin," kata wanita berambut setengah kelabu yang diikatnya secara asal, Bu Wati, pemilik warung. "Jadi, gajimu aku berikan separuh. Separuh gajimu kutahan. Bahkan, separuh gajimu tidak bisa menutupi barang-barang yang telah kamu pecahkan "
"Kalau kasihan sama anak-anak, jangan pecat aku, Bu." Aku mencoba memohon. "Aku butuh pekerjaan ini."
"Ini bukan pertama kali kamu memecahkan barang-barang, Nin." Bu Wati bertahan. Tangannya kini dilipatnya di atas dada. Matanya memandangku tajam. "Kamu sering melamun kalau kerja. Kalau pikiranmu di rumah, seharusnya kamu tetap berada di sana."
"Aku tau, aku salah, Bu. Berikan aku kesempatan lagi."
"Sudah beberapa kali aku memberikan kesempatan, tapi kamu gak berubah."
"Beri aku satu kesempatan lagi."
Bu Wati menggeleng. Desahan napas dalam terdengar.
"Sudah cukup, Nin. Kamu bisa cari kerja di tempat lain."
Aku membuka mulut ingin memohon lagi, tetapi Bu Wati seakan paham dengan gerakanku. Dia mengangkat tangan, untuk menahanku berbicara.
Pundakku menurun dan terasa berat, seakan ada gunung yang diletakkan disana secara kasar. Tanganku bergetar dan perutku terasa melilit. Ingin rasanya aku menangis saat ini juga, tetapi kutahan. Mataku sudah mulai basah, jadi aku menunduk dan mengerjap-ngerjap beberapa kali.
Setelah mengucapkan terima kasih dengan suara lirih, aku mengambil amplop yang ada di atas meja. Berdiri dan berlalu tanpa mengangkat kepala.
***