Pernikahanku dengan Mas Arman karena cinta.
Setelah bersama selama lebih dari dua tahun kami berpacaran, dia melamarku. Aku menjadi wanita yang paling bahagia saat itu, karena mendapatkan kekasih hati. Apalagi impian wanita yang sedang jatuh cinta selain bersama dengan orang yang selalu dirindukannya?
Kami merencanakan banyak hal tentang bagaimana kami ingin menjalankan mahligai pernikahan ini. Di awal yang langsung kami sepakati adalah memiliki rumah sendiri. Tak peduli itu membeli rumah kecil atau sekedar kontrak. Yang pasti, tidak ada campur tangan dari keluarga.
Sebelum menikah, aku bekerja di sebuah toko elektronik. Menjadi pramuniaga. Pekerjaan yang bisa kudapatkan hanya dengan bermodalkan ijazah SMA. Keluargaku memang tidak mampu untuk membiayai kuliahku. Meski Ayah bersikeras untuk menggadaikan rumah dan tanah hasil warisan orang tuanya, aku sadar diri tidak ingin merepotkannya lagi.
Aku sudah dewasa dan harus berjuang untuk diriku sendiri. Jika ada lebih, aku pun ingin memberi. Sekedar untuk melihat Ayah dan Ibu tersenyum dari jerih payahku. Lagi pula, masih ada dua orang adik yang masih sekolah dan harus dibiayai.
Arman memang memintaku berhenti bekerja setelah kami menikah. Dia waktu itu sudah bekerja di perusahaan tambang sebagai seorang mekanik. Adik terakhirku, Nina, saat itu menjelang kelulusan SMA-nya. Dia menjamin akan membiayai Nina hingga lulus sekolah sebagai jaminan aku berhenti bekerja. Arman menginginkan aku hanya mengurus rumah dan keluarga kecil kami.
Aku menikah dengan Arman saat aku berusia 25 tahun. Setahun kemudian, anak pertama kami hadir dan itu kebahagiaan terbesar buat kami. Ahmad begitu lucu dan selalu menjadi pelepas lelah bagi Arman setelah pulang bekerja.
Tak ada kekhawatiran masalah keuangan di awal-awal pernikahan kami. Hingga memasuki usia keenam pernikahan.
Siapa yang menyangka, harga batu bara anjlok dan membuat banyak karyawan dirumahkan. Termasuk juga Arman. Semuanya bermula dari sana.
"Arman belum dapat kerja juga, Nin?" tanya Ibu. Sore itu aku sedang mendatangi rumah Ibu untuk menjemput Dita.
Setelah setengah bulan menganggur, aku mendapatkan pekerjaan baru sebagai pembantu rumah tangga. Bos baruku pasangan muda yang sama-sama bekerja sebagai PNS. Mereka memiliki satu orang anak yang masih berusia tiga tahun. Selain mengurus rumah, aku juga menjaga anak mereka sampai mereka pulang. Mendapat jatah libur setiap hari minggu.
Ironi memang. Padahal aku sendiri memiliki seorang anak berusia dua tahun, tetapi malah mengurus anak orang lain. Namun, apa hendak dikata, keadaan yang memaksa.
"Belum, Bu," jawabku dengan perasaan tidak enak. Kuambil Dita dari gendongan Ibu. Menciumi pipi cubby Dita dengan perasaan rindu yang begitu dalam. Wangi bedak bayi memenuhi penciumanku. "Tambang sekarang banyak yang tutup. Perusahaan yang masih jalan belum ada menerima karyawan baru."
"Kerja yang lain, kan, bisa." Ibu memandangku dengan iba. "Arman kan, bisa nyupir. Bisa juga kerja di bengkel. Kerja apa saja, yang penting dapur kalian tetap ngebul."
Aku mengangguk. Tersenyum kecut. "Iya, ini juga dia sambil nyari-nyari."
"Gak usah ngarap gaji tinggi. Yang penting bisa mencukupi." Ibu menepuk-nepuk bahuku. "Bentar lagi Ahmad masuk sekolah, perlu biaya banyak. Takutnya, gaji kamu gak mencukupi. Daripada Arman cuma di rumah saja."
"Nanti aku sampaikan sama dia, Bu." Aku berusaha memantapkan suaraku biar Ibu tenang.
Arman tidak ingin mengambil pekerjaan seperti yang ibu sebutkan. Katanya malu. Merasa turun derajatnya.
Sudah sering aku mengucapkan hal yang sama seperti yang Ibu bilang pada Arman. Bahkan, sebelum Ibu mengatakannya hari ini. Namun, selalu ditolak oleh Arman.
Awalnya penolakan itu diucapkan Arman tanpa emosi, tetapi setelah beberapa kali aku sering mengucapkannya di sela kami duduk bersantai, sering berujung pertengkaran.
Terakhir, pertengkaran terjadi bulan lalu. Jadi, aku berusaha meredam lagi perasaanku.
***