Akhir Dimana Semuanya Bermula

Lyla Iswara
Chapter #5

Arman - Masa Sekarang

Wajahnya yang berdarah-darah tiba-tiba muncul di depanku. Aku melonjak kaget dan mundur beberapa langkah. Wajahnya memuakkan dan saat melihat senyumnya yang meremehkan, membuat aku murka. Kuabaikan wajahnya yang mengerikan, karena luka-lukanya mengeluarkan belatung. Aku maju sambil mengepalkan tangan kuat. Aku sudah mengumpulkan seluruh tenaga di kepalan.

Buk. Buk. Buk.

Sekuat tenaga aku menghantamkan tinjuan ke wajahnya. Setiap pukulan yang kulontarkan meninggalkan suara. Begitu memekkan telinga.

Setiap pukulanku seperti tidak menimbulkan reaksi apa-apa. Tidak ada teriakan kesakitan. Wajahnya malah semakin mengejekku, seolah menantangku untuk terus melakukannya.

Aku lelah.

Keringat sudah membanjiri tubuhku. Tanganku juga terasa sakit. Tenagaku meloyo dan aku berhenti. Namun, ejekannya memenuhi pikiran, hingga aku merasa bunyi pukulan terus terdengar.

Aku menghela napas yang ngos-ngosan. Membuka mata. Bunyi pukulan tetap terdengar.

Kudapati diriku berada di dalam kamar. Melihat langit-langit plafon yang sudah berwarna kusam. Wajahnya sudah tidak ada. Hanya meninggalkanku dalam kesendirian.

Ternyata hanya mimpi.

Suara pukulan tetap terdengar. Ternyata suara itu menyelusup mimpiku. Berasal dari arah luar.

"Arman!" teriak suara perempuan.

Aku bangun dengan perasaan lelah. Bangkit dan berdiri mengambil langkah. Menuju asal suara yang tidak sabar.

Aku mendapati wajah mertua saat membuka pintu. Bibirnya cemburut di tengah wajahnya yang mulai mengeriput. 

"Ada apa, Bu?" tanyaku berusaha sopan. Menahan mulut yang ingin menguap. "Anak-anak baik saja, kan?"

"Nindia pulang ke sini malam tadi?" tanyanya sambil memanjangkan leher untuk melihat ke dalam rumah.

Aku menggeleng. 

"Bukannya dia di rumah Ibu?" 

Wajah cemberut mertuaku berubah gelisah. Dia menggeleng. Bahunya menurun.

"Dia tidak pulang semalam. Anak-anak mencarinya."

Perasaan tidak nyaman berdebar di hatiku. Aku membayangkan Nindia sedang mendekap kedua anakku di rumah ibunya. Rumah yang selama dua minggu ini ditempatinya setelah terjadi pertengkaran hebat denganku. Hari dimana aku mendapati pesan mesranya dengan seorang lelaki.

"Sudah menelpon teman-temannya?" tanyaku untuk meredakan kegelisahan mertuaku itu.

"Belum," jawab mertuaku yang bernama Halimah. "Aku kira dia di sini. Kalian sudah berbaikan."

"Nanti aku cari Nindia, Bu. Nelponin teman-temannya. Mungkin dia nginap di tempat mereka."

Ibu mertuaku mengangguk ragu. Dia mendesah pelan.

"Kamu sarapan aja di rumah kalau gak ada makanan. Kamu antar Ahmad juga sekolah."

Lihat selengkapnya