Aku rasa dia profesional. Terutama berselingkuh di belakang istrinya.
Hermawan terlihat cuek dan seakan tidak memandangku sama sekali ketika istrinya berada di sekitarnya. Selalu terlihat sibuk sendiri, memandang istri dan anaknya dengan tatapan memuja, menyelesaikan pekerjaannya. Apa saja. Selain melirikkan matanya ke arahku.
Ketika istrinya berada di rumah adalah hal teraman bagiku.
Sikapnya tentu berbeda jauh ketika istrinya tidak ada di rumah. Bahkan, dalam waktu kerjanya saja, aku selalu was-was dibuatnya. Takut dia tiba-tiba pulang. Dan selama hampir sebulan aku bekerja di sini, berapa kali dia tiba-tiba muncul di jam-jam kerja. Perut dan dadaku selalu bergolak setiap kali melihat wajahnya muncul.
Aku memang tidak bisa pergi begitu saja. Bagaimana pun, waktuku tidak boleh terbuang sia-sia hanya karena mengundurkan diri sebelum mendapat gaji pertama. Aku sangat membutuhkan uang gaji itu, demi anak-anakku.
Hari ini, tepat sebulan aku bekerja. Aku benar-benar sudah tidak tahan lagi.
Setiap saat sepertinya aku memperhatikan jam di dinding. Berharap jarum jam cepat bergulir ke sore hari, saat aku mendapatkan gaji.
Gaji pertama dan terakhir yang akan aku terima.
Tutup panci baru saja kuletakan ketika aku mendengar suara deru mobil. Tubuhku menegang. Darah seperti menyirap hingga ke kepala. Aku berdoa itu bukan mobil Hermawan. Ya, Tuhan, mohon kabulkan.
"Lagi ngapain, Nin?" tanya seseorang di balik punggungku lima menit kemudian.
Doaku tertolak.
Suara berat yang kukenal itu memenuhi isi kepala.
"Habis masak sop ayam, Pak." Aku rasa suaraku bergetar.
"Enak tuh, bisa disiapkan?" tanya Hermawan. Dia masih berdiri di ambang pintu.
Semoga saja doaku lainnya terkabul. Dia hanya mampir sebentar untuk makan siang. Lalu pergi dan kembali ke kantornya.
Aku mengangguk lambat. "Baik, Pak."
"Kalau begitu, aku mau lihat Kumala dulu," ujar Hermawan. Kepalanya menengok ke samping, seolah matanya mengarah ke kamar anaknya. "Dia tidak tidur, kan?"
"Sebentar lagi jam tidurnya, Pak."
Hermawan membalik tubuhnya dan melangkah pergi dari ruang makan. Aku langsung meraup udara yang beberapa saat lalu terasa menipis di ruangan ini.
Lima belas menit kemudian, semua hidangan sudah tertata rapi di meja makan. Walaupun enggan, aku mulai berjalan keluar ruang makan. Memperhatikan keadaanku dan mengancing kemeja biru polos yang ku kenakan hari ini hingga leher. Hanya untuk berjaga-jaga.
Aku melewati ruang keluarga untuk mencari lelaki bertahi lalat di ujung mata itu, tetapi tidak ada. Ruang tamu, tidak ada. Ruang kerja, tidak ada. Kamar Kumala juga tidak ada. Hanya satu ruangan yang tersisa.
Tiba-tiba saja degup jantungku berdetak cepat. Rasa dingin merayapi tengkuk.
Tanganku terulur ragu saat mengetuk pintu kamar Hermawan hingga suaranya terdengar lemah. Tak ada suara dari dalam, ocehan Kumala pun tidak ada.
Aku mengetuk sekali lagi dengan disertai embusan napas kuat. Entah mengapa, aku berharap pintu itu tidak terbuka. Aku punya firasat tidak enak yang membuat dadaku berdebar tidak karuan.
Suara langkah terdengar dari dalam kamar, membuatku harus menahan napas. Refleks kedua tanganku saling bertaut dan meremas. Semakin mendekat langkah itu, semakin kegugupan merajai hatiku.
“Apa sudah siap?” Pintu terbuka dan memperlihatkan wajah Hermawan.
Aku mengangguk. “Iya, Pak.”
Aku menyingkirkan tubuhku untuk memberikan keleluasaan untuk Hermawan lewat. Aku terus menunduk, tidak ingin melihat wajahnya. Rasa takut masih menggerayangi tubuhku saat harus berduaan saja dengan lelaki itu di rumah ini. Kumala tentu saja tidak bisa dihitung, dia hanya batita kecil yang tidak punya daya membela jika terjadi apa-apa.
“Kamu tidak ikut makan?”
Pertanyaan Hermawan membuatku mengangkat kepala. Lelaki itu berdiri tak jauh dariku dengan tubuh setengah menghadap ke belakang. Rupanya tadi dia harus berhenti berjalan untuk melihat ke arahku.
“Nggak Pak. Saya nanti saja,” jawabku. Aku berusaha untuk tidak membuat suaraku gugup.
“Aku tidak ingin makan sendirian. Bisa temani aku?”
Hermawan melambaikan tangan agar aku mengikutinya. Aku ingin menolak, tetapi merasa tidak punya alasan tepat. Lagipula, lelaki itu langsung berbalik lagi dan berjalan mendahului. Membuatku mau tidak mau harus mengikutinya.
Dengan menunduk, aku berjalan di belakangnya. Menjaga jarak hingga sepuluh langkah. Meremas-remas tepi kemeja berwarna merah marun yang aku kenakan hari ini. Telapak tanganku terasa basah.
Kalut dengan kecamuk pikiranku sendiri, tanpa sadar aku menabrak sesuatu kokoh di hadapanku. Mataku terbelalak tiba-tiba, seakan dari tadi hanya terpejam. Lebih-lebih, aku melihat sepasang kaki tanpa alas di bawah sana.
Jantungku kian berdetak cepat. Menderu-deru dan seakan menampar-nampar dinding dada.