Akhir yang Dinanti

judizia
Chapter #1

Prolog

Dulu, dia di sebut tunas emas yang baru akan mekar bagi cabang olahraga karate di kotanya. Dulu, namanya di sambut banyak orang yang begitu berharap pada kemenangannya setelah penantian yang mereka lakukan sejak lama. Dulu, karate merupakan mimpinya, seperti bintang yang dia idamkan untuk diraih dan membawanya pulang. Namun sekarang, tidak lagi. Mimpinya sudah bukan karate. Sudah bukan mendapat mendali emas yang selalu dia tunjukan pada orang lain. Kini, dia hanya menjalani hidupnya sendiri, sambil memeluk luka lama yang tak tahu kapan sembuh.

“Nak Amia?”

Panggilan itu berhasil membuat fokus Mia teralih. Dia pandangi pria paruh baya itu sejenak, sebelum kepalanya menggeleng mengikuti perintah otaknya.

“Sekali lagi saya minta maaf, Ustad. Sesuai perkataan saya di awal. Saya masih belum siap untuk kembali melanjutkannya.”

Mia bukannya bermaksud tak sopan saat terus menerus menolak permintaan dari wakil pemimpin dari pesantren barunya, yang menginginkan Mia untuk kembali berpartisipasi dalam seni bela diri karate yang hampir setengah tahun ini dia tinggalkan. Mia hanya tak sanggup kalau harus mengingat tragedi yang coba dirinya lupakan.

Setelah melihat keputusan Mia yang terlihat bulat. Ustadz Amar hanya bisa menghembuskan nafas pasrah, sebelum mempersilakan Mia untuk kembali ke asrama. Dan wakil pemimpin pesantren itu juga berpesan pada Mia untuk tidak ragu bertanya pada pembimbing atau santriwati lain jika ada hal yang belum dirinya mengerti atau ketahui. Dia juga mendapat pesan tambahan yaitu berupa salam dari wakil pemimpin pesantrennya untuk kedua orang tua Mia yang batal datang, di karenakan kesibukan yang lagi-lagi menyita waktu mereka untuk mengunjunginya. Mia sebenarnya tak mempermasalahkan itu, toh dia masih bisa bertukar kabar saat ponselnya dinyalakan nanti.

“Kalau begitu saya permisi, Ustad.”

Setelah mendapat persetujuan, Mia benar-benar beranjak pergi dari ruangan itu. Dia beruntung, karena hari ini tak ada jadwal yang perlu Mia ikuti. Dia masih bisa istirahat sebelum memulai kembali jadwalnya beberapa jam kedepan. Kalau saja pertemuan ini dilaksanakan pada hari biasa, mungkin dia tak akan bisa berkonsentrasi mengikuti pembelajaran yang menurutnya masih terbilang baru ini. Di tambah lagi Mia juga tak yakin kalau harus terus belajar di kala suasana hatinya yang kurang baik, apalagi semenjak tahu kalau ternyata kedua orang tuanya juga ikut adil membujuknya bersama ustadz Amar berharap Mia mau kembali berpartisipasi lagi di dalam turnamen karate yang beberapa bulan nanti akan digelar. Dan memang pesantrennya ini juga merupakan salah satu peserta.

Hembusan nafas lelah Mia keluarkan, berharap rasa sesak di dadanya bisa segera hilang. Dia kemudian menyalakan ponsel di genggamannya untuk melihat sebanyak apa pesan yang diberikan oleh kedua orang tuanya.

Sayangnya hanya ada tiga pesan. Satu dari ayahnya dan dua lagi dari ibu Mia. Inti pesan mereka sama, meminta maaf karena batal memenuhi janji untuk mengunjunginya. Mia sebenarnya tak masalah, hanya saja dia cukup kesal saat membaca pesan terakhir dari kedua orang tuanya terutama sang ayah yang meminta Mia untuk memikirkan lagi mengenai karir atlet yang sudah dia asah sejak lama. Dia tahu, ayahnya ingin Mia kembali seperti dulu, yang begitu bahagia saat bisa meneruskan impian dari sang ayah yang merupakan mantan atlet karate juga. Mia kemudian memilih menutup aplikasi pesan itu tanpa berkeinginan untuk membalas pesan mereka.

Lihat selengkapnya