Akhir yang Dinanti

judizia
Chapter #2

Satu.

Kematian memang tak ada yang tahu, hanya Tuhan selaku Sang Pencipta yang mengetahui kapan dan bagaimana kematian yang dialami makhluk hidup itu terjadi atau berlangsung. Namun, apa jadinya jika salah satu dari makhluk tersebut memilih mendahului ketentuan yang sudah digariskan Tuhan pada takdir kematian mereka? Apa Tuhan terlalu lengah hingga kematian itu terjadi dan membiarkannya saja? Atau mungkin Tuhan sedang menguji apakah makhluk itu bisa melalui cobaan yang diberikan Tuhan dan tidak malah memilih mengakhiri karena keputusasaan yang di derita? 

Mia tak tahu. Dia tak bisa memikirkan apa pun dikala pertanyaan-pertanyaan lain dalam otaknya malah terasa menerus muncul, di tambah lagi dengan pertanyaan yang di berikan pria paruh baya yang mengatakan sebagai detektif itu. Kepala Mia terasa penuh, penuh dengan informasi yang dirinya terima sekaligus lihat mengenai kejadian setengah jam lalu. Apalagi saat kembali mengingat seonggok tubuh bergelantungan di atas kepalanya tadi. Mia merasa kalau dia tengah di dalam mimpi paling buruk yang tak berujung. Sebuah mimpi yang jelas menangkapnya kembali kedalam kejadian dulu.

“Nak Amia, bisa dengar saya?”

“Ya.”

Mia menjawab walau tidak benar-benar fokus dengan pertanyaan yang akan dilontarkan dektekti itu padanya. Setidaknya Mia berusaha menghargai kehadiran detektif paruh baya itu.

“Saya akan mengajukan pertanyaan lagi,” katanya entah untuk yang berapa kali. “Apa kamu mengenal soudara Luna? Dan apa yang kamu tahu tentang dia. Bisa-“

Pandangan Luna lagi-lagi bergerak, menatap kearah dimana Wina berada. Perempuan itu terlihat terus menerus menangis sejak pertama kali mereka di temukan. Kini dia terlihat sesenggukan di dalam pelukan salah satu pengurus asrama putri yang Mia tak salah ingat bernama Umi Jihan. Di depan mereka berdua terdapat satu detektif perempuan, yang Mia tebak mungkin berusia akhir dua puluhan itu, terlihat sekali berusaha bersabar untuk menunggu keterangan Wina. Hal yang sama dengan sosok di depan Mia.

“Amia, saya butuh keterangan kamu. Bisa kamu coba untuk lebih fokus dulu?” pintanya dengan senyum setengah. “Saya tahu perasaan kamu, Nak. Pasti rasanya sulit saat kembali dihadapkan pada situasi yang sama. Itu jelas nggak akan mudah. Saya tahu. Tapi sekarang, saya butuh keterangan kamu, selaku salah satu saksi dalam kasus kematian ini. Mohon kerja samanya ya, agar kasus ini segera mendapat titik terang dan almarhum bisa tenang.”

Mia terdiam, mendengar satu demi satu kata yang dilontarkan oleh detektif depannya itu. Dia pandangi tanda pengenal yang pria paruh baya itu kalungkan di leher, lalu membacanya tanpa sadar.

Wirata Ardan’ 

Nama yang Mia hafal di luar kelapa, seakan berusaha untuk membuat Mia kembali diingatkan lagi kalau mereka pernah terlibat dalam hal yang hampir mirip kisahnya. Walau tak ada alasan bagus mengingat pertemuan yang jelas hanya membuat Mia tersalut amarah. Jadi, dia pilih untuk menghembuskan nafas sejenak sebelum berbicara.

“Sudah saya katakan di awal. Kalau saya memang mengenal Luna, satu minggu setelah saya pindah. Hanya perkenalan biasa, kami saling mengenal nama, itu saja. Nggak ada yang istimewa,” atau belum, lanjut Mia dalam hatinya.

Kepala Wira terlihat mengangguk-angguk pelan, seakan mengerti dengan apa yang tengah Mia katakan. Namun tidak dengan raut wajahnya yang tampak tidak puas dengan jawaban Mia. Dia terlihat bergumam pelan di sela menulis keterangan Mia pada buku catatan kecil di tangan. Kemudian kepalanya kembali bergerak, menatap Mia yang masih memandanginya dengan ekspresi datar yang sama. 

Lihat selengkapnya