Akhir yang Dinanti

judizia
Chapter #3

Dua.

Mia memutuskan untuk kembali masuk ke dalam kamar saat langit sudah berubah jauh lebih gelap dari pada sebelumnya. Dia bersyukur saat mendapati tak ada siapa pun yang Mia lihat berada di sana. Dengan begitu dia bisa leluasa merenung memikirkan segala hal yang menimpanya hari ini. 

Mia memilih merebahkan tubuhnya di atas ranjangnya yang masih terlihat rapi sejak terakhir kali dia keluar kamar. Pandangannya bergerak, menatap kosong kearah langit-langit kamar asrama yang di cat dengan warna putih tulang. Kepala Mia semakin terasa berat setiap kali memikirkan segalah hal yang telah terjadi sejak pagi menjelang. Dia jadi ingat percakapannya dengan sang detektif yang berujung gagal. Tak ada alasan bagi detektif paruh baya itu mempercayai pengakuan Mia yang mungkin menurutnya mengada-ngada, di tambah lagi saat anggota kepolisian kemudian menemukan surat wasiat Luna yang tersimpan di dalam sarung bantal milik perempuan itu. Mia tak tahu harus merasa lega atau tidak mengenai penemuan surat tersebut. Karena dengan begitu asumsinya mengenai perundungan yang Luna terima keliruan Mia semata.

Mia hanya bisa mendesah pelan, merasa buntu dan tak tahu harus melakukan apa. Dia masih tak yakin dengan apa yang terjadi mengenai penemuan bukti surat wasiat itu. Mengingat dalam isi surat wasiat Luna tak lebih dari permohonan maaf pada keluarga serta permasalahan cintanya yang tak bisa dia tanggung selama ini. Hanya itu, tak ada isi yang menjerumus mengenai pembulian atau apa pun.

“Assalamualaikum.”

Kepala Mia sontak terangkat, dia lalu memilih untuk beranjak duduk saat melihat Wina memasuki kamar. Wajah teman satu kamarnya itu terlihat lesu sekali, kedua matanya bahkan sampai sembam saking banyaknya Wina menangis. Walau begitu, Wina terlihat berusaha tersenyum saat mendapati kehadiran Mia setelah menjawab salamnya.

“Gimana perasaan kamu sekarang?” tanya Mia saat melihat Wina yang berjalan dan duduk di samping Mia.

“Sudah jauh lebih baik, walau nggak kayak dulu,” kata Wina terdengar lesu. Kepalanya kemudian menunduk, menata kearah dua tangannya yang saling bertautan. “Rasanya masih kayak mimpi, Mia. Dan aku pengen cepat bangun dan anggap semua hal yang terjadi hanya lah ilusi.”

"Aku nggak nyangka kalau Luna akan memilih mengakhiri hidupnya dengan cara ini. Rasanya kayak bukan Luna, Mia. Dia yang aku tahu nggak akan milih jalan biadap ini.”

Lihat selengkapnya